[Nusantara] Wawasan Multikulturalisme Indonesia Masih Rendah
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:28 2002
Wawasan Multikulturalisme Indonesia Masih Rendah
KESADARAN multikultur sebenarnya sudah muncul sejak
negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde
Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan
dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian
ditekankan. Alhasil sampai saat ini, wawasan
multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat
rendah. Hal itu terungkap dalam diskusi
"Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society di
Indonesia" yang diselenggarakan oleh Indonesian
Institute for Civil Society (INCIS) di Jakarta
baru-baru ini.
Diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara yakni
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UI, Dr Melani Budianta dan
Dosen Pascasarjana Antropologi UI Dr Ahmad Fedyani
Saifuddin. Menurut Melani, masyarakat Indonesia sering
tersesat pada persepsi keliru tentang multikultur atau
keberagaman budaya. Totemisme justru dikembangkan. Di
Indonesia, multikultur kerap hanya dilihat dari
perspektif suku Jawa.
Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai
eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang
mempertegas batas identitas antarindividu. Bahkan ada
yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.
Multikultur, kata Melani, adalah wacana yang
mengandung berbagai macam kepentingan hubungan
kekuasaan. Wacana tersebut kemudian dikembangkan dan
didukung oleh media.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang
awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada
penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada
kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata
bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat. "Singkatnya, multikultur adalah wacana
yang mengkritik wacana yang dilupakan dalam demokrasi.
Agar multikultur tidak menjadi sekadar jargon, orang
harus tahu definisinya. Tetapi contoh konsep
multikultur yang ada di Amerika dan Prancis punya
kepentingan yang bebeda di tempat lain," kata Melani.
Melani mengatakan, di negara-negara yang menerapkan
sistem demokrasi, tuntutan multikultur justru muncul
dari lapisan bawah. Hak-hak minoritas diharapkan dapat
sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota
masyarakat mempunyai hak untuk mengelola identitasnya.
Jadi, paham multikultur lebih akomodatif terhadap
kelompok dominan, maupun pada kelompok yang minoritas.
"Keberagaman di Indonesia itu sudah lama ada. Tetapi
multikultur adalah soal bagaimana memahami kebudayaan
itu sendiri. Saat ini, orang masih menganut totemisme
dan perbedaan dinilai bukan hal yang menyenangkan.
Setiap kelompok lalu mulai membuat teritorial,"
tambahnya.
Melani mengatakan, jika bahasa Indonesia saja bisa
lintas batas, seharusnya konstruksi budaya juga
demikian. Identitas semestinya sebuah konstruksi yang
dipegang sebagai hal pribadi. "Orang tidak perlu
menjadi asli untuk bisa mencintai Indonesia. Tetapi
solidaritas dan toleransi dan keterbukaan sebenarnya
sudah ditampilkan tanpa gagasan multikultur.
Contoh-contoh empiris tersebut sudah nyata di
lapangan," kata Melani.
Disintegrasi Sementara itu, Ahmad Fedyani Saifuddin
mengatakan, pendekatan multikultur relatif baru
dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen. Hal itu makin dirasakan terutama pada masa
otonomi dan desentralisasi. Tanpa pendekatan
multikultur, disintegrasi bangsa yang semula dianggap
ancaman mungkin akan menjadi kenyataan. Dikatakan,
pendekatan multikultur sangat cocok dan sejalan dengan
pengembangan demokrasi yang mulai dijalankan.
Multikultur juga menjadi counter yang baik terhadap
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam
pendekatan multikultur, titik pusat perhatian dan
upaya manusia adalah mengembangkan integrasi
kebudayaan dalam pengertian ideal, jadi bukan
integrasi sosial yang mudah goyah. Negara-negara yang
menjalankan konsep demokrasi seperti Amerika Serikat
dan Kanada sudah lama menerapkan multikultur.
Pendekatan tersebut dilakukan dalam upaya melenyapkan
diskriminasi rasial antara orang kulit putih dengan
orang kulit hitam. Tujuannya ialah memajukan dan
memelihara integrasi nasional dalam demokrasi. Untuk
mengoperasikan konsep multikultur itu, berbagai model
telah diintegrasikan ke dalam kebijakan pendidikan di
sekolah-sekolah dasar Amerika Serikat dan hasilnya
dievaluasi. Ahmad berpendapat, demokrasi dan
masyarakat madani memiliki hubungan kausal yang
terikat satu sama lain.
Multikulturalisme adalah proses yang terjadi di antara
kedua konsep tersebut yang mewujudkan cita-cita
demokrasi menjadi kenyataan. Konsep multikultur berada
pada posisi semiempirik yang mengandung potensi untuk
diterapkan dalam kebijakan dan program penelitian dan
implementasi. "Pendidikan merupakan lapangan yang
sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan
multikullturalisme, sehingga menjadi kenyataan
perilaku. Agar gagasan multikultur terserap luas dan
efektif, pendekatannya harus disebarkan, dikelola dan
diwujudkan secara konsisten dalam pendidikan nasional.
Konsekuensinya, sistem pendidikan kita masih harus
dikelola dengan baik, konsisten, kuat secara nasional
dan barangkali terpusat," kata Ahmad. Berbeda dari
integrasi nasional yang selama ini lebih terfokus pada
integrasi sosial. Multikultur justru memberi dampak
pada integrasi kebudayaan. Upaya mewujudkan integrasi
nasional harus berpusat pada pengembangan integrasi
kebudayaan secara nasional. Dalam hal ini, pendidikan
multikultur memegang peranan kunci.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com