[Nusantara] Wajah Damai Islam
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:37:01 2002
Wajah Damai Islam
Prof Dr KH Said Aqil, Rois Syuriah PBNU
PADA awal abad ke-21 ini Islam menjadi perbincangan
masyarakat dunia. Islam sebagai agama 'damai' kembali
dipertanyakan, benarkah dalam Islam terdapat doktrin
radikalisme yang pada perkembangan selanjutnya
menimbulkan gerakan terorisme? Apakah di kalangan umat
Islam terdapat ajaran radikalisme yang mengesahkan
tindakan terorisme?
Pada dasarnya misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw
adalah li-itmam makarim al-akhlaq yaitu untuk
menyempurnakan etika yang mulia atau membangun manusia
yang bermoral. Agama Islam juga diarahkan sebagai
rahmatan lil 'aalamin, menjadi rahmat bagi alam
semesta. Dari dua hal ini, Islam dapat dipahami
sebagai sebuah ajaran yang bersifat universal, untuk
seluruh umat manusia.
Manusia, dalam terminologi Arab disebut insan yang
secara lughawi berasal dari anas (adjective:
anis/anisah) yang berarti harmoni, akrab, atau intim.
Artinya, semenjak eksisnya di muka bumi hingga mati,
manusia diidealkan untuk selalu menjaga harmonitas
hidup. Hanya saja di sisi lain, manusia juga memiliki
dua karakter negatif yang dapat membahayakan; yaitu
ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di
muka bumi) dan safk al-dima' (potensi konflik
antarsesama manusia).
Dua karakter negatif ini sebagaimana firman Allah
ketika mendeskripsikan ungkapan protes para malaikat
atas penciptaan manusia sebagai khalifah (mandataris
Tuhan) di bumi, qaaluu ataj 'alu fitha man yufsidu
fiiha wa yasfikud-dima'? (QS Al-Baqarah:30). Kemudian
Tuhan menjawab bahwa untuk meluluhkan dua karakter
negatif manusia tersebut adalah dengan menurunkan
ajaran agama.
Maka kehadiran agama tidak lain untuk mengikis sikap
arogansi manusia yang cenderung berbuat kerusakan dan
memicu konflik antarsesama. Karena itu, semua
pribadatan dalam Islam sebenarnya diproyeksikan untuk
menjaga harmonitas manusia. Agama Islam menuntut
pemeluknya agar tetap dalam koridor sifat kemanusiaan
(humanisme) yang harmonis.
Hakikat ibadah (beragama) bukanlah terletak pada
aktivitas ritual keagamaan yang bersifat seremonial.
Maka seseorang yang telah menjalankan aktivitas
keagamaan tetapi belum menemukan harmonitas hidup
berarti ia masih belum sampai pada esensi ibadah.
Ibadah salat misalnya, jika kita cermati sejak awal
hingga akhir akan terasakan pesan harmonitas kehidupan
manusia.
Pembuka salat yang berupa kalimat takbir Allahu Akbar,
Allah Maha Besar, menunjukkan sifat absolut bagi
Allah. Allah tidak memandang perbedaan ras, suku,
bangsa, bahasa, agama, dan pengotak-ngotakan lainnya,
karena selain Allah adalah makhluk. Kemudian dalam
bacaan surat Al-Fatihah ayat kedua, al-hamdulillahi
rabbil 'aalamin, segala puji bagi Allah, Tuhan alam
semesta. Ayat singkat ini merupakan ungkapan rasa
syukur manusia kepada Allah yang telah menciptakan
alam semesta. Artinya, kita harus selalu memandang
positif terhadap semua makhluk di alam semesta,
berlaku baik terhadap alam semesta.
Pesan salat lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah
pada bagian penutup ibadah salat. Yaitu ucapan
assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
keselamatan, rahmat, serta berkah Tuhan selalu untuk
kalian. Kata al-salam itu sendiri merupakan salah satu
asma Allah yang mengandung makna 'Mahadamai'. Hal ini
memberikan indikasi bahwa setiap orang yang telah
menunaikan salat secara otomatis dia telah berjanji
setia kepada Allah untuk selalu berbuat salam
(perdamaian) di muka bumi.
***
Ibadah zakat juga memunyai kandungan makna yang sangat
mendalam bagi pembentukan manusia yang humanis. Konsep
zakat merupakan wujud solidaritas manusia dengan
sesamanya. Melalui distribusi zakat, manusia akan
menyadari betapa pentingnya sikap ta'awun (saling
membantu) dan kesadaran hidup bersama.
Semangat zakat adalah kebersamaan hidup antarsesama
umat manusia, baik antara si miskin dengan si kaya,
atau yang lainnya. Puasa dalam Ramadan yang diwajibkan
bagi seluruh umat Islam juga tidak lepas dari
nilai-nilai humanis. Di bulan ini, Islam lebih
mengarahkan pemeluknya untuk semakin meningkatkan rasa
kepeduliannya terhadap orang di sekitarnya.
Tidak bisa disangkal, bahwa puasa Ramadan dapat
mempersempit jarak antara orang kuat dan orang lemah.
Puasa Ramadan juga menjadikan manusia agar lebih
menghayati hakikat kehidupan. Manusia tersadarkan
bahwa daya dan kekuatan hanya milik Allah. Sedangkan
manusia tidak mampu berbuat apa-apa, sangat lemah dan
kecil di hadapan-Nya. Kalaupun di antara manusia ada
yang sombong dan tidak menghargai sesama manusia, hal
itu cermin dari sosok yang tidak memiliki sifat malu
di hadapan Allah.
Islam yang harmoni dapat dibuktikan dari peristiwa
fath Makkah (pembebasan Kota Mekah) yang dilakukan
oleh umat Islam pada Ramadan. Mekah perlu dibebaskan
setelah sekitar 21 tahun dijadikan markas orang-orang
musyrik. Saat umat Islam mengalami euforia atas
keberhasilannya, ada sekelompok kecil sahabat Nabi
Muhammad saw yang berpawai dengan meneriakkan slogan
al-yaum yaumul mal-hamah, hari ini adalah hari
penumpahan darah. Slogan ini dimaksudkan sebagai upaya
balas dendam mereka atas kekejaman orang musyrik Mekah
kepada umat Islam.
Gejala tidak sehat ini dengan cepat diantisipasi oleh
Nabi Muhammad dengan melarang beredarnya slogan
tersebut dan menggantinya dengan, al-yaum yaumul
marhamah, hari ini adalah hari kasih sayang. Akhirnya,
peristiwa pembebasan Kota Mekah dapat terwujud tanpa
insiden berdarah. Ibadah haji juga memiliki sisi
humanisme yang tak kalah penting. Haji dilaksanakan
dengan pakaian, doa, waktu, dan tempat yang sama.
Sejarah mencatat, ketika melaksanakan haji Wada'
(perpisahan), Nabi Muhammad saw memberikan khotbah
yang berbunyi, Ya ayyuha al-nas, Inna dimaa'akum wa
amwaalakum wa a'radlakum haramun, 'alaikum kahurmati
yaumikum hadza fi syahrikum hadza fi baladikum
hadza... ''hai manusia, sesungguhnya nyawa, harta, dan
kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana
mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Zulhijah) dan
negeri ini (Mekah).''
Khotbah Nabi Muhammad tersebut merupakan ajakan kepada
umat manusia (termasuk Islam) untuk menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta bersikap harmonis. Nabi
Muhammad bahkan menekankan bahwa barang siapa yang
melanggar hak asasi manusia berarti ia telah
menginjak-injak kemuliaan hari Arafah, bulan Zulhijah,
dan Kota Mekah. Maka tidak sangsi lagi bahwa Islam
adalah rahmat bagi semua makhluk Tuhan.
***
Sebenarnya radikalisme terjadi di semua agama di
dunia. Dalan setiap agama selalu terdapat kelompok
minoritas, militan, ekstrem dan radikal. Sedangkan
dalam Islam, gejala kemunculan radikalisme telah
disinyalir semenjak Rasulullah saw masih hidup.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim,
dikisahkan ketika Rasulullah saw membagi fai' (harta
rampasan perang) di daerah Thaif dan sekitarnya,
tiba-tiba seorang sahabat yang bernama
Dzul-Khuwaishirah (Bani Tamim) melayangkan protes
kepada Nabi Muhammad dengan mengatakan, ''bersikaplah
adil wahai Muhammad.'' Nabi Muhammad menjawab,
''Celaka kamu, tidak ada orang yang lebih adil dari
aku, karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk
Allah.
Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad saw
bersabda, Sayakunu ba'di min ummati qaumun yaqra'unal
Qur'an, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul
khalq wal khaliiqah.'' Suatu saat nanti akan muncul
sekelompok kecil dari umatku yang membaca Alquran,
namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu
sejelek-jeleknya makhluk. (lihat: Shahih Muslim, hal.
650).
Hadis sahih di atas kemudian terbukti pasca-Nabi
Muhammad saw seperempat abad kemudian. Pada tahun 35
H, Khalifah Utsman terbunuh secara mengenaskan oleh
sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini
kemudian terulang pada masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari
umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguhpun
pada mulanya bernuansa politis, tetapi perkembangan
selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal
dengan paham Khawarij.
Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib
masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat
memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
dasar kesalahan beliau dalam arbitrase. Karena bagi
Khawarij, laa hukma illa Allah, arbitrase itu hanya
dari Allah. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun menangkis
diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, ''untaian
kata yang benar, namun tendensius.'' Maka gelombang
umat Islam radikal yang berkembang saat ini memang
harus diakui eksistensinya. Mereka sebenarnya
terpengaruh pola-pola Khawarij pada masa umat Islam
periode awal.
Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya
menggelisahkan kalangan nonmuslim, tetapi umat Islam
pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi tanggung
jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman
mereka atas agama Islam. Sikap mereka yang ingin
menempuh jalan apa saja, menyalahkan siapa saja yang
tak sama pemahamannya merupakan cuatan dari pemahaman
mereka yang sathiyyah (setengah-setengah), rigid dan
belum tuntas terhadap ajaran Islam.
Walhasil, kita patut prihatin atas stigma umat Islam
akhir-akhir ini hanya karena perbuatan segelintir umat
Islam yang sangat dangkal pemahamannya atas ajaran
agama. Umat Islam tidaklah dalam posisi vis-a-vis
dengan nonmuslim. Umat Islam harus hidup di
tengah-tengah masyarakat plural dengan damai.***
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com