[Nusantara] Diplomasi, Nasionalisme, dan Terorisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:56 2002


Diplomasi, Nasionalisme, dan Terorisme 

Pada hari Kamis, 21 November, Deputi Menhan AS, Dr
Paul Wolfowitz, mengundang tiga wartawan Australia dan
lima wartawan Indonesia untuk diskusi terbatas. Saya
hanya mengajukan satu pertanyaan, mengapa tidak
terjadi suatu aliansi strategis AS-RI dalam perang
melawan terorisme. 

Barangkali Indonesia memang tidak sestrategis Pakistan
dalam kasus Afghanistan, atau Turki, dalam kasus Irak.
Memang secara fisik dan militer Pakistan dan Turki
punya peranan strategis dalam gebrakan terhadap
Taliban dan Saddam. Tetapi di bidang public relations,
seharusnya bisa terjadi suatu aliansi strategis
antiteror karena keduanya merupakan korban terorisme. 

Wolfowitz menjawab, sebagai mantan Dubes AS untuk RI
dia sangat "mencintai" RI, tetapi dia juga sangat
kecewa dengan sikap ekstrem anti-AS, yang terbukti
dari persentase tertinggi responden Indonesia yang
membenci AS dan mempercayai teori konspirasi Yahudi
dalam teror WTC. Bercinta memang perlu dua belah
pihak, tidak bisa sepihak. Hubungan AS-RI memang
memerlukan elite yang waras dan berwawasan, karena
banyak sikap preman, sok jago, sok jawara, yang
menghasut konfrontasi AS-RI secara tidak bertanggung
jawab.

Sebagian massa memang punya naluri emosional,
sentimental, dan gampang dihasut apalagi bila dibayari
untuk demo anti-AS, anti-Barat dan antimodern secara
membabi-buta. Anggota DPR RI dari PDI-P Subagyo Anam
yang mampir ke Washington DC sepulang dari konferensi
IPU di New York, menanyakan kenapa Indonesia sulit
memperoleh kepercayaan AS, khususnya dalam soal
bantuan militer? 

Sebetulnya dalam banyak hal, Presiden Bush sangat
mengandalkan Paul Wolfowitz untuk masalah Indonesia,
dan Wolfowitz sendiri selalu proaktif mendukung
normalisasi hubungan militer, untuk mempercepat
reformasi dalam tubuh militer Indonesia. Ia selalu
mengutip dan memuji Letjen Yunus Yosfiah, alumnus Fort
Leavenworth, yang mencabut perizinan pers dan
menciptakan pers bebas yang vital bagi demokrasi. 

Jadi harus dibedakan antara oknum militer yang suka
melanggar HAM dan petentangan mengandalkan fungsi
tukang pukul, dengan jenderal model Yunus Yosfiah yang
bisa mengikuti jejak Colin Powell, jenderal yang jadi
diplomat dan mencapai puncak karier sebagai Menlu AS,
tanpa perlu pakai doktrin dwifungsi. Masalah bagi
Indonesia ialah pembajakan kepemimpinan nasional dan
ummat Islam, oleh kaum ekstremis, jihadist, yang telah
mengorbankan kepentingan nasional demi kepentingan
segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Para pendukung teroris yang bersimpati kepada Taliban,
Osama, termasuk mereka yang melontarkan teori CIA di
belakang bom Bali, sebetulnya merupakan oknum-oknum
yang melakukan bunuh diri politik, terhadap
kepentingan nasional Indonesia. Bob Woodward dalam
buku terbaru Bush at War, misalnya, mengutip Hamzah
Haz di halaman 149 dengan kalimat: "The current vice
president had said the 9/11 attacks could help America
'cleanse its sins'". 

Dalam indeks buku, Indonesia muncul tujuh kali, semua
dalam kaitan ancaman terhadap AS dan semangat anti-AS
serta pro-Taliban. Tidak disinggung satu kali pun
pertemuan Megawati-Bush yang dilakukan seminggu
setelah 9/11. Buku itu memang sudah siap cetak ketika
Bali dibom, tetapi dilihat dari intensitas strategi
perang dan diplomasi AS, memang Indonesia tidak
dimasukkan dalam kerangka prioritas. Karena dianggap
tidak bisa dipercaya sebagai sekutu dalam perang
melawan teror dan cenderung anti-AS, anti-Barat dan
pro-Taliban. 

Hari Minggu kemarin Fox TV menyiarkan wawancara dengan
Reza Pahlevi, putra mendiang Shah Iran yang baru saja
mengedarkan buku Winds of Change. Rezim mullah Iran
sedang menghadapi masa sulit karena generasi muda yang
lahir setelah tumbangnya Shah Iran, sekarang muak
dengan kegagalan dan penindasan rezim mullah. 

Sejak Sabtu media massa AS heboh dengan berita aliran
dana oleh Princess Haifa al-Faisal, putri almarhum
Raja Faisal yang juga istri Dubes Arab Saudi untuk AS,
Pangeran Bandar bin Sultan. Wartawan Newsweek Michael
Ishikoff mengungkapkan, cek yang dikeluarkan Haifa,
diperuntukkan dua warga Arab Saudi yang telah
dideportasi, Omar al Bayoumi dan Osama Bassnan, yang
menampung dua pembajak 9/11, Khalid Almidhar dan Nawaf
Alhazmi. Bassnan menerima US$ 15.000 pada 1998, dan
selanjutnya semacam dana bulanan US$ 2.000 dengan
alasan perawatan istri Bassnan. 

Condoleeza Rice, National Security Adviser,
menghindari pers ketika dikejar tentang kasus Haifa.
Buku Bob Woodward mengungkapkan perbedaan pandangan
antara Menhan Donald Rumsfeld dan Menlu Colin Powell.
Juga disebut peranan Paul Wolfowitz dan Richard
Armitage serta direktur CIA, George Tenet. Dalam
serangan terhadap Taliban, CIA mengedrop dana sekitar
US$ 70 juta untuk kelompok Northern Alliance. 

Sekarang dalam kasus Saddam, AS akan mengedrop hingga
US$ 200 juta untuk koalisi oposisi Irak yang akan
diproyeksikan menjadi Hamid Karzai mengganti "Mullah
Saddam". Dalam diplomasi strategis antiterorisme,
Indonesia memang ketinggalan karena keburu dibajak
oleh ekstremis proteroris, pro-Taliban, anti-AS. Sulit
sekali memperoleh kepercayaan dari AS yang menderita
dua kali. Sudah sedih ditimpa kemalangan korban WTC,
malah difitnah dengan teori konspirasi, dan jadi
bulan-bulanan serangan serampangan oleh oknum
ekstremis di Indonesia. 

Menyedihkan, negara Pancasila, yang mengklaim sebagai
negara toleran, pluralis, moderat, telah terjebak pada
ekstremitas yang di negara asalnya (Timur Tengah)
justru sudah mulai mengalami modifikasi. Jika Irak
mengalami pergantian rezim disusul Iran, Suriah,
Libya, dan terutama Saudi Arabia, maka nasib Indonesia
yang "dibajak" oleh oknum ekstremis pro-Taliban, tentu
akan semakin terpuruk. 

Presiden Megawati seharusnya melihat tanda-tanda zaman
dan kembali kepada semangat Hadisubeno, yang
mengatakan segerbong jenderal tidak dapat mengalahkan
satu Bung Karno. Hadisubeno juga berani mengatakan,
Pancasila yang sekuler tetapi menjamin kehidupan
beragama, menghadapi tantangan dari kaum yang
berambisi men-syariat-kan Indonesia. Sekarang kaum
ekstremis itu terang-terangan berani mengebom Bali dan
membawa Indonesia terjun ke dalam lumpur paria kubu
teroris. 

Celakanya, barangkali ada segerbong oknum jenderal dan
sejumlah oknum tertentu lainnya yang sengaja ingin
membawa Indonesia kepada bunuh diri nasional, dengan
bersikap lebih "Taliban dari Taliban" dan sok mau jadi
"Osama Indonesia". Padahal di seluruh Timur Tengah,
seluruh rezim fasis teroris akan segera gulung tikar,
bukan karena diserbu AS melainkan karena rakyat Arab
sendiri sudah muak dengan tingkah laku korup, fasis
diktator dan penguasa yang sudah puluhan tahun dan
turun-temurun menindas rakyatnya secara bengis, kejam
dan membiarkan rakyat melarat terus sementara penguasa
kaya raya bermewah diri. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com