[Nusantara] Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S (Bagian III)

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:17 2002


Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S 
(Bagian III) 
  
Artinya bahwa Suharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 
Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 
tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau 
Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam 
peristiwa 30 S! 

Jadi, sekarang telah jelas bahwa Suharto terlibat oleh karena 
mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa 
ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. 

Suharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih 
dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting 
sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta. 
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup 
bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir 
baik PKI maupun Sukarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa 
yang sedikit mendalam. 

Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. 
Barangkali Sukarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu. 
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi 
membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut 
pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa 
jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu 
berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief 
dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, 
melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. 

Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya 
pada malam itu dan diantarkan ke Halim. Rupanya pada saat itu ia 
punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu 
peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di 
Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-
perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan 
Presiden Sukarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh 
tanpa proses, kami tidak punya 
keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam 
yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas 
perintah Aidit. Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 
Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi 
perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu 
dibawa ke Lubang Buaya - tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu 
juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk 
memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat 
hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang 
perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui 
bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. 

Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Suharto tidak berguna untuk dia 
pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono 
dan Bono. 

Agak jelas bahwa pada malam 30 September dua-dua, Sukarno dan Aidit 
yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu 
berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. 
Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa 
Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 
Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi 
Dewan Jenderal itu dan rencana mereka. 

Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal 
itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik 
mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu 
benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 
memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan 
Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang 
mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada 
cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Sukarno. 

Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas 
Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan 
tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang 
ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front 
Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat 
orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari 
N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua 
dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan 
rencana Dewan Jenderal. 

Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang 
diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer 
di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor 
S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 
Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito 
dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai 
menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas 
diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon 
perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani 
diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, 
Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa 
agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal 
Sukendro. 

Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang 
Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan 
terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, 
yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. 
Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Sukarno; 
dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung 
dan KOTRAR. 

Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah 
muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu 
pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup 
Untung, pimpinan PKI dan Presiden Sukarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, 
bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai 
kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan 
dari Sukarno dan kabinetnya. Dengan tipu muslihat ini, yang 
sebenarnya suatu provokasi, baik Sukarno maupun pimpinan PKI, 
termasuk Aidit, didorongi supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan 
Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! 

Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang 
merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam 
atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi 
jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini 
barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk 
mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang 
menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa 
Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam 
hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi 
dari angkatan udara, seperiti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan 
sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa 
seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling 
bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh 
aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam 
dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang 
sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh 
jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang 
Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. 

Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa 
penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" 
pada tahun 1979. Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan 
bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. 

Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata 
barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military 
intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah 
menjadi pembantu dari Sukendro. 

Presiden Sukarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu 
ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' 
pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya 
ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, 
dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". 

Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, 
kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Sukarno bahwa ada 
dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika 
Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan 
dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act 
dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri 
Subardjo dari 
kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan 
AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya 
waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu 
menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, 
menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam 
tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan 
lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow 
of Sukarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan 
oleh Indonesia Media). 

Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal 
namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. 
sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau 
dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita 
sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan 
A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar 
berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - 
supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau 
korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? 

Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: 
Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 
(yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-
1980"), bahwa semua bahan dari kedutaan A.S. di Jakarta dan dari 
State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan 
SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh 
diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah 
dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bawha ia tidak kenal 
suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup 
dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang 
sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan 
bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-
moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di 
Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh 
suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan 
memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi 
tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-
classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan 
dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal 
Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang 
tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat 
komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan 
nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim 
barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, 
hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke Washington 
dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65. 

Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada 
badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin 
berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Sukarno: misalnya Pemerintah 
Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara 
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan 
lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon 
dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya 
ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Suharto 
dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak 
mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.