[Nusantara] Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S (Bagian II)

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:14 2002


Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S 
(Bagian II) 
 
"Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 
tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami 
dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman 
menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga 
berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat 
Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan 
kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya.

Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang 
sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah 
sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK 
MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia 
dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan 
anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam 
dan kemudian pulang ke rumah". 

Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan 
Suharto. 

Untuk saya pengakuan ini dari Suharto, bahwa ia bertemu dengan 
Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal 
mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing link 
dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan 
Suharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965. 

Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit 
Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 
jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Suharto tentang 
rencana mereka - tetapi sukar membuktikan itu selama Suharto 
berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal 
yang kurang terang. Mengapa Suharto menceritakan pada Brackman 
tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan 
kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Suharto merasa 
perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau 
periksa apakah Suharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia 
tak mungkin bertindak pada esok harinya! 

Pengakuan Suharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk 
mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 
Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Suharto 
in de nacht van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang 
diperbuat Suharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya 
menguraikan segala petunjuk bahwa Suharto benar terlibat di dalam 
peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Suharto 
datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal 
samasekali. 

Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di 
dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, 
dengan judul: "Suharto and the Untung Coup: The Missing Link". 

Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa 
dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Suharto sekali 
lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali 
ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam 
mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. 
Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Suharto tidak termasuk 
daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Suharto 
yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup 
itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak 
akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani 
melakukannya di tempat umum." Masa, heran - seolah-olah Kolonel 
Latief ada rencana untuk membunuh Suharto, 4 jam sebelum aksi 
terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat 
seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Suharto itu suatu bukti 
lagi bahwa Suharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk 
luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! 

Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal 
Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan 
diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak 
diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-
sakitan' dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa 
ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di 
penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang 
sebagai saksi atau terdakwa. 

Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam 
eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, 
bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Suharto dengan 
dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga 
menceritakan bahwa ia mengunjungi Suharto pada malam 30 September di 
Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan 
Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga 
pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, 
berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan 
untuk malam itu juga menemui Suharto, untuk memperoleh dukungannya 
dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga 
menghadap Suharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya 
mengutus Latief oleh karena ia 
yang paling dekat dengan Suharto. Untung dan Supardjo masih punya 
urusan lain yang penting. 

Latief telah menjadi bawahan dari Suharto waktu Jogya diduduki 
Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam 
eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, 
dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Suharto 
yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief 
pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Suharto bersama 
ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah 
komando Suharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di 
Makasar. 

Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia 
bertemu dengan Suharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya 
seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Suharto 
dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: 
tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. 

Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi 
tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah 
saya lapor kepada Jenderal Suharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor 
pula mengenai Gerakan, Jenderal Suharto menyetujuinya dan tidak 
pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan 
Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam 
pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Suharto 
itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan. 

Yang paling mencolok mata, yaitu bahwa Latief tidak dapat hukuman 
mati, walaupun ia tokoh no. 2 dalam komplotan menculik jenderal. Ia 
hanya dapat hukuman penjara selama hidup. Mengapa begitu? Untuk saya 
dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi 
disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya 
lantas diumumkan kalau Laatief akan dibunuh! Suharto agaknya takut 
kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! 
Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia 
bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat 
dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama 
Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa 
sudi percaya? 

Juga aneh sekali bahwa Suharto, menurut keterangannya sendiri, jam 
12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba 
memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang 
dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, 
melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! 

Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam 
telah meminta pada Suharto supaya hukumannya dikurangi. Dalam Far 
Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) 
diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di 
mana. 

Jadi, telah agak tentu bahwa Suharto terlibat dalam peristiwa 65 
dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib 
bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat 
termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya 
dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih 
dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang 
berwajib. Jadi, Suharto pada malam itu seharusnya mesti melapor 
paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal 
Nasution. 

Artinya bahwa Suharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 
Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 
tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau 
Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam 
peristiwa 30 S!