[Nusantara] Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S (Bagian IV-Ha
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:25 2002
Surat Lama Prof. Wertheim, Menguak Keterlibatan Soeharto pada G30S
(Bagian IV-Habis)
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada
badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin
berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Sukarno: misalnya Pemerintah
Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia.
Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon
dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya
ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Suharto
dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak
mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.
Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun
1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam
pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O.
Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-
Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana
rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang
pembunuhan massal antas perintah Stalin:
50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000
prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu
memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran
Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak
negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman
Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan
dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi
sejarah".
Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu
agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang
perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia
itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan
massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Suharto bukanlah
suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga
akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun
pembunuhan sesudah 1965, Suharto tidak pernah memperlihatkan
penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa
itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang
durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes
Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI
dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar
mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara
pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian
massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa
yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri
dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali
tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena
mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI!
Juga di dalam otobiografinya, Suharto sama sekali tidak menunjukkan
tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak
setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-
prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya
dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober
1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Suharto, yaitu bahwa ia
telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan
jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang
pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat
menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru
dihadiahi Suharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam
hal ini tentu saja Suharto sendirilah yang bertanggungjawab. Karena
pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima
perintah dari Suharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu
semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh
rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti
yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru,
seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang
pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani
Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka
dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar,
ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam
peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani
di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7
orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di
Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi
jelas, bahwa sejak semula Suharto telah berketetapan hati untuk
menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub
atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau
simpatisan PKI 'terlibat dalam peristiwa G30S-PKI'. Dalih demikian
pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa
pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang
sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya
selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara
tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah yang terlibat
langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang
paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah
Jenderal Suharto sendiri.
Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali
sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.
Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah
terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil
terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di
daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup
bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara
mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan
jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula
menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh
sebagian besar mereka itu.
Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka
pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh 'terlibat
persitiwa G30S/PKI'. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa
membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh
sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya
hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya
mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati,
semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari
pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan
massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-
pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung
tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada
empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar
Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali
bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan
jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan
Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran
sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan
seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya.
Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk
perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula
penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling
keji dan tak tahu malu. Melaui media pers bertahun-tahun disiarkan,
seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan
upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa
jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh,
dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam
perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal itu sebelum mereka
tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah
bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur,
jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada
suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang
saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup'
dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka
gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang
perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profeosr Benedict
Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan
resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu
sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan
resmi para dokter ini pun telah diumumkanoleh Sukarno di depan
sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat
itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah
dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak
mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan,
bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji
matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh.
Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil
itu. Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat
aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti
diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk
kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri,
dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan
mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu.
Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah
disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI
terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama
orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah
PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak
selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan
manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat
itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus
dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada
justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan
oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Suharto yang memuat ribuan nama
komunis Indonesia yang harus dibunuh!
Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap
Maling!"
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI
merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal
yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia
Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan
bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti
ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang
dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah,
bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak
bisa bertahan dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi
rezim Suharto. Rezim Suharto pada hakikatnya juga merupakan suatu
sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka.
Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di
Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa
oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh
kekuatan anti komunis luar negeri.
Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi
keadaan xbaru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan
kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya
otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut
ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu,
yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan
bangga diri.
Terima kasih!