[Nusantara] Reiza D. Dienaputra : Penelusuran Kembali Peristiwa G30S 1965
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 06:36:28 2002
Penelusuran Kembali Peristiwa G30S 1965
Oleh REIZA D. DIENAPUTRA
PENTAS politik Indonesia dalam empat tahun terakhir diwarnai oleh
terjadinya
berbagai perubahan besar, yang sebagian di antaranya bisa dikatakan
merupakan perubahan yang sangat tidak terduga. Jiwa zaman (zeit
geist) yang
sebelumnya ditandai oleh kuatnya budaya politik parokial dan kaula
kini
telah diganti oleh zaman baru yang diwarnai oleh semakin
berkembangnya
budaya politik partisipan. Dalam kaitan itu, seiring dengan runtuhnya
kekuasaan Soeharto, muncul tuntutan-tuntutan untuk merevisi sejarah
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sepak terjang Orba,
termasuk
sepak terjang para tokoh Orba. Adapun satu di antara kisah perjalanan
sejarah Orba yang kini banyak digugat kembali adalah peristiwa
Gerakan 30
September 1965 (G30S).
Pada dasarnya ada empat alasan yang membuat suatu peristiwa sejarah
perlu
ditelusuri kembali. Pertama, adanya ketidakpuasan terhadap sejarah
yang ada.
Kedua, adanya penemuan sumber baru. Ketiga, adanya reinterpretasi
sumber
lama. Keempat, adanya perubahan sikap dan pandangan terhadap masa
lalu.
Berpijak pada keempat alasan tersebut, jelaslah bahwa pengkajian
kembali
suatu peristiwa sejarah akan selalu terbuka dan bisa dilakukan
setiap saat
bila kondisi-kondisi sebagaimana dikemukakan di atas muncul ke
permukaan.
Bila penelusuran kembali peristiwa sejarah dilakukan tidak hanya akan
membuka peluang bagi lahirnya "versi" baru tentang sebuah peristiwa
sejarah,
tetapi juga bisa jadi akan membuka peran sesungguhnya dari para aktor
sejarah.
Era Demokrasi Terpimpin yang dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden
5 Juli
1959 ditandai oleh munculnya kembali Soekarno sebagai kepala
pemerintahan
yang memiliki kekuasaan hampir tak terbatas atau diwarnai oleh
pemusatan
kekuasaan politik di tangan presiden. Di luar itu, era Demokrasi
Terpimpin
juga ditandai oleh munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai
partai
politik yang paling dominan serta tampilnya TNI-AD sebagai kekuatan
Hankam
dan sosial politik yang secara langsung maupun tidak langsung
berfungsi
sebagai pengimbang kekuatan PKI. Dengan demikian, era Demokrasi
Terpimpin
pada dasarnya hanya memunculkan tiga kekuatan politik utama:
Soekarno, PKI,
dan TNI-AD.
Dalam perkembangannya kemudian, salah satu dari tiga pilar politik
tersebut,
yakni PKI, setelah merasa kuat secara politik maupun militer,
kemudian
mempersiapkan langkah-langkah penting untuk merebut pusat kekuasaan.
Untuk
itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Staf Badan
Pusat
Intelijen Brigjen Polisi Soetarto, DN Aidit kemudian menyebarkan isu
tentang
adanya Dewan Jenderal, sebagai sebuah dewan yang terdiri dari para
jenderal
yang memiliki tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Menurut
isu
yang dikembangkan PKI ini, Dewan Jenderal diperkirakan akan merebut
kekuasaan dari tangan Soekarno menjelang peringatan hari ulang tahun
ABRI
tanggal 5 Oktober 1965. Kondisi Soekarno yang tengah mengalami
gangguan
kesehatan serius memberi keyakinan kuat pada PKI tentang kebenaran
rencana
Dewan Jenderal ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi rencana kudeta
Dewan
Jenderal ini, hanya ada dua pilihan bagi PKI, mendahului rencana
gerakan
Dewan Jenderal atau membiarkan rencana tersebut. Pilihan mendahului
gerakan
Dewan Jenderal pada akhirnya menjadi keputusan yang diambil PKI.
Sesuai dengan "skenario", dinihari tanggal 1 Oktober 1965
dilancarkanlah
operasi penculikan terhadap para anggota Dewan Jenderal. Hampir
bersamaan
dengan dilancarkannya operasi penculikan, dilakukan pula operasi
perebutan
gedung-gedung vital. Satu di antara gedung vital yang menjadi target
penguasaan adalah gedung RRI Pusat di Jakarta. Setelah berhasil
dikuasai,
tepat pukul 07.20 WIB tanggal 1 Oktober 1965, melalui RRI
disiarkanlah
pengumuman tentang adanya sebuah gerakan yang bernama "Gerakan 30
September"
di bawah komandan, Letkol Untung, yang juga merupakan Komandan
Batalyon I
Resimen Cakrabirawa. Pengumuman yang sama kemudian diulang lagi
pukul 08.15
WIB. Dalam penjelasannya, Komando Gerakan 30 September mengatakan
bahwa
gerakan tersebut semata-mata merupakan gerakan dalam tubuh Angkatan
Darat
yang ditujukan kepada Dewan Jenderal, yang kini anggota-anggotanya
telah
ditangkap, sedangkan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat.
Untuk lebih mempertegas keberadaannya, tepat pukul 14.00 WIB, Komando
Gerakan 30 September kembali mengeluarkan sebuah pengumuman berupa
Dekrit
No. 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Setelah
mengeluarkan
Dekrit No. 1, Gerakan 30 September selanjutnya menyiarkan dua buah
keputusan
penting. Pertama, Keputusan No. 1 tentang Susunan Dewan Revolusi
Indonesia.
Kedua, Keputusan No. 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat. Di
samping
komandan dan para wakil komandan Gerakan 30 September, dalam Dewan
Revolusi
Indonesia yang anggotanya berjumlah 45 orang tercantum pula nama-nama
seperti Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Machmud, Subandrio, J.
Leimena,
Surachman (Golongan Nasionalis), Fatah Jasin (Golongan Agama), K.H.
Siradjuddin Abbas (Golongan Agama), Tjugito (Golongan Komunis), dan
Mayjen
Umar Wirahadikusumah.
Pernyataan politik yang dikeluarkan Gerakan 30 September 1965 dalam
perkembangannya kemudian menjadi awal munculnya aksi-aksi perlawanan
untuk
menumpas gerakan tersebut. Dalam aksi perlawanan ini setidaknya
muncul dua
pola aksi perlawanan. Aksi perlawanan pertama berupa aksi perlawanan
yang
bersifat fisik, yakni berupa gerakan penumpasan yang dilakukan oleh
kalangan
militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen Soeharto. Bersamaan
dengan
digelarnya aksi-aksi penumpasan ini, Soeharto pun kemudian
memperkenalkan
"teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang Gerakan 30
September.
Pada tahap awal, setidaknya ada dua hal penting yang dijadikan dasar
oleh
Soeharto untuk mengembangkan teorinya tersebut. Pertama, keberadaan
Ketua CC
PKI D.N. Aidit bersama Letkol Untung di sekitar Halim Perdanakusumah
saat
aksi penumpasan Gerakan 30 September berlangsung. Kedua, keberadaan
pusat
gerakan di sekitar Halim Perdanakusumah yang diindikasikan Soeharto
dijadikan tempat latihan para sukarelawan yang berasal dari Pemuda
Rakyat
dan Gerwani.
Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama Gerakan 30 September yang
dikembangkan Soeharto ternyata mampu menumbuhkan simpati dan
dukungan kuat
masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang dipimpin Soeharto. Oleh
karenaitu, tidak mengherankan, bila dalam waktu relatif singkat,
gerakan
penumpasan oleh Soeharto ini segera diikuti oleh aksi-aksi
demonstrasi yang
mengutuk PKI. Bahkan, lewat pernyataannya yang sangat berani, hampir
bersamaan dengan saat berlangsungnya upacara pemakaman para jenderal
korban
penculikan pada tanggal 5 Oktober 1965, NU mengeluarkan tuntutan
pembubaran
PKI. Tuntutan pembubaran PKI ini kemudian disuarakan lebih tegas
lagi oleh
Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) dalam
rapat
umum keduanya pada tanggal 8 Oktober 1965. Lebih dari itu, KAP-
Gestapu juga
menuntut pula pembersihan kabinet, parlemen, MPRS, dan semua lembaga-
lembaga
negara dari unsur-unsur komunis dan simpatisannya.
Tuntutan bagi pembubaran PKI serta pembersihan kabinet dan lembaga-
lembaga
negara dari unsur-unsur komunis dan para simpatisannya, dalam
perkembangan
selanjutnya semakin sering terdengar, terlebih sejak Kesatuan Aksi
Mahasiswa
Indonesia (KAMI) dibentuk dan menggelar aksi-aksi demonstrasinya.
Memasuki
tahun 1966, dua tuntutan "produk" KAP Gestapu menjadi lebih nyaring
lagi
terdengar setelah KAMI berhasil memformulasikannya dalam format baru
yang
lebih "membumi" yang dikenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),
yang
terdiri dari tuntutan pembubaran PKI, pembersihan kabinet, dan
penurunan
harga-harga kebutuhan pokok. Aksi-aksi massa yang menyuarakan
Tritura yang
dilaksanakan secara lebih intens sepanjang awal tahun 1966 pada
akhirnya
menjadi salah satu daya dorong penting yang mengakibatkan Presiden
Soekarno
mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Sama halnya dengan apa yang terjadi di Jakarta, sentimen anti-PKI
juga
tampak secara jelas di daerah-daerah, seperti Aceh, Sumatera, Jawa
Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Bahkan, berbeda dengan apa yang terjadi
di ibu
kota, sentimen anti-PKI di daerah-daerah tidak hanya ditandai oleh
adanya
aksi-aksi demonstrasi, tetapi lebih dari itu diwarnai pula oleh
banyaknya
aksi pembantaian terhadap mereka yang diindikasikan menjadi anggota
atau
simpatisan PKI. Begitu mengerikannya aksi-aksi pembantaian tersebut.
Tidaklah mengherankan kalau Kolonel Sarwo Edhi Wibowo ketika berada
di Solo
merasa perlu untuk mengingatkan rakyat dengan mengatakan, "Kita
tidak boleh
menjawab teror dengan teror karena Alquran sendiri memperingatkan
kita untuk
tidak melampaui batas. Kita semua adalah manusia yang percaya kepada
Tuhan,
perikemanusiaan, dan kelima sila (Pancasila). Oleh sebab itu,
tidaklah baik
jika kita membalas kejahatan dengan kejahatan."
Berpijak pada deskripsi singkat perjalanan Gerakan 30 September 1965
sebagaimana yang telah dikenal luas selama ini, secara implisit
terlihat
adanya dua jenis fakta sejarah yang muncul ke permukaan. Pertama,
fakta
lunak (soft fact), yakni berupa fakta sejarah yang kebenarannya masih
terbuka untuk diperdebatkan. Kedua, fakta keras (hard fact), yakni
fakta
sejarah yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi karena telah
menjadi
pengetahuan umum serta didukung oleh sumber-sumber primer, baik
lisan,
tulisan, maupun benda.
Peristiwa di seputar Gerakan 30 September yang telah merupakan fakta
keras
di antaranya adalah, pertama, realita bahwa Gerakan 30 September
1965 memang
benar adanya pernah terjadi dalam pentas sejarah Indonesia. Dengan
demikian,
Gerakan 30 September ini bukanlah merupakan sebuah imajinasi sejarah
sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi menyangkut ada tidaknya
peristiwa
tersebut. Kedua, kenyataan bahwa Gerakan 30 September 1965 merupakan
sebuah
gerakan yang didominasi oleh unsur-unsur militer yang ditujukan pada
kelompok kekuatan militer lainnya. Ketiga, Gerakan 30 September 1965
merupakan sebuah gerakan pemberontakan yang bertujuan untuk
menggulingkan
pemerintah yang sah. Kenyataan bahwa Gerakan 30 September 1965
merupakan
sebuah upaya kudeta tampak jelas dalam pengumuman radio yang
dikeluarkan
oleh Komando Gerakan 30 September melalui RRI, termasuk dokumen
tertulis
berupa Dekrit No. 1 tentang Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia,
Keputusan
No. 1 tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia, dan Keputusan No. 2
tentang
Penurunan dan Penaikan Pangkat.
Selanjutnya, bila dicermati lebih mendalam, jelas terdapat pula
bagian-bagian dari peristiwa Gerakan 30 September ini yang masih
terbuka
untuk diperdebatkan. Yang paling mendasar adalah menyangkut dalang
peristiwa
Gerakan 30 September 1965, sekaligus tentang benar tidaknya PKI
sebagai
dalang G30S. Permasalahan kedua, menyangkut jumlah korban aksi-aksi
pembantaian di berbagai daerah.
Sejarah nasional versi Orba yang berkembang selama ini menempatkan
PKI
sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sementara di
luar itu,
telah lama berkembang versi-versi lain yang hampir kesemuanya
kontradiktif
dengan versi sejarah yang dikembangkan Orba. B.R.O.G. Anderson dan
Ruth
McVey dari Cornell University, Amerika Serikat, dalam tulisannya yang
berjudul, "A Preliminary Analysis of The October 1, 1965: Coup in
Indonesia", serta Harold Crouch dalam bukunya, "The Army and
Politics In
Indonesia" (1978), secara tegas mengatakan bahwa Gerakan 30
September 1965
merupakan puncak dari konflik intern di dalam TNI-AD. Dengan kata
lain, PKI
hanyalah sekadar kambing hitam yang digunakan untuk mengaburkan
dalang
sebenarnya.
Pendapat lain yang lebih kontroversial dikembangkan Wertheim dalam
bukunya,
"Whose Plot? New Light on The 1965 Events" (1979). Menurut Wertheim,
penempatan PKI sebagai dalang G30S sangat tidak beralasan. Kalaupun
PKI
terlibat di dalamnya, perannya bisa dipastikan sangatlah kecil dan
hal
itupun lebih merupakan sebuah rekayasa. Dengan demikian, menurut
Wertheim,
sulit untuk terbantahkan bahwa dalang peristiwa Gerakan 30 September
1965
tidak lain adalah Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad. Untuk mendukung argumennya, Wertheim mengemukakan
adanya dua
buah kejanggalan yang menyertai G30S.
Pertama, terbitnya koran "Harian Rakjat" edisi 2 Oktober 1965 yang
memuat
dukungan terhadap Gerakan 30 September 1965. Padahal menurut
Wertheim pada
tanggal tersebut secara jelas G30S telah gagal. Kedua, pada hari itu
ada
larangan untuk memuat berita tentang G30S.
Analisis Wertheim tentang keberadaan Soeharto sebagai dalang G30S
ternyata
mendapat dukungan dari beberapa cendekiawan lainnya. Bahkan, di
samping
argumen yang dikembangkan Wertheim, setidaknya masih ada dua hal
lainnya
yang memperkuat "teori" bahwa Soeharto dalang peristiwa G30S.
Pertama, tidak
masuknya Soeharto dalam daftar jenderal yang harus diamankan G30S,
padahal
saat itu ia memegang posisi strategis sebagai Pangkostrad. Kedua,
Soeharto
mengenal secara baik dan dikenal juga secara baik oleh Letkol Untung
dan
Kolonel Latief karena kedua perwira tersebut merupakan mantan anak
buah
Soeharto di Divisi Dipenogoro. Ketiga, pertemuan Soeharto dengan
Kolonel
Latief pada malam hari tanggal 30 September 1965 di RSPAD. Menurut
para
analis, maksud Latief menemui Soeharto pada malam tersebut tidak
lain untuk
melaporkan Gerakan 30 September. Sementara itu, Soeharto sendiri
berargumen
bahwa pertemuan tersebut lebih merupakan upaya Latief untuk
memastikan bahwa
Soeharto ada di rumah sakit dan tengah diliputi duka besar atas
musibah yang
menimpa puteranya.
Versi lain seputar G30S menempatkan Presiden Soekarno sebagai dalang
peristiwa G30S. Analis yang berpendapat Soekarno sebagai dalangnya
adalah
John Hughes dalam bukunya, "The End of Sukarno" (1967). Menurut
Hughes,
tindakan Untung menggelar G30S telah mendapat restu Soekarno sehingga
Soekarno tampak tidak memperlihatkan reaksi istimewa ketika Brigjen
Soepardjo yang melaporkan terbunuhnya para jenderal TNI-AD. Pendapat
yang
sejalan dengan Hughes, dikemukakan pula oleh Anthonie CA Dake dalam
bukunya,
"The Spirit of Red Banteng" (1973). Menurut Dake, G30S terpaksa
digelar
Soekarno karena ia sudah tidak sabar dengan sikap oposan yang
diperlihatkan
dua perwira tinggi TNI-AD, yakni Jenderal A.H. Nasution dan Letjen
Ahmad
Yani. D.N. Aidit sendiri baru tahu perintah tersebut dalam rapat
Politibiro
tanggal 7 Agustus 1965. Mengingat ketergantungan PKI yang sangat
besar
terhadap Soekarno, PKI mau tidak mau kemudian melibatkan diri di
dalamnya.
Berkenaan dengan aksi pembantaian terhadap mereka yang diindikasikan
anggota
dan simpatisan PKI, permasalahan yang muncul berada di seputar
keakuratan
jumlah korban pembantaian. Robert Cribb memperkirakan jumlah korban
berkisar
antara 78.000 jiwa hingga 2 juta jiwa. John Hughes, dalam bukunya
"Indonesian Upheaval" (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga
400.000
orang. Donald Hindley, dalam tulisannya, "Political Power and the
October
1965 Coup in Indonesia" (1967), memperkirakan sekira setengah juta
orang.
Guy J. Pauker, dalam tulisannya, Toward A New Order in Indonesia"
(1967),
memperkirakan sekira 200.000 orang, sedangkan Yahya Muhaimin, dalam
bukunya,
"Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966" (1982),
memprediksikan sekira 100.000 orang. Khusus untuk Jawa Barat, tanpa
menyebut
angka, Ulf Sundhaussen, dalam bukunya, "The Road to Power: Indonesian
Military Politics 1945-1967" (1982), mengatakan bahwa dari seluruh
anggota
komunis yang dibunuh di Jawa Barat, bisa jadi hampir seluruhnya
dibantai di
Subang.
Begitu beragamnya versi yang berbicara tentang dalang G30S serta
jumlah
korban pembantaian jelas menjadikan peristiwa G30S menjadi demikian
menarik
untuk dikaji kembali. Terbukanya akses untuk menggali sumber dari
aktor-aktor sejarah yang selama ini menjadi "terpidana" hendaknya
mampu
disikapi secara arif sebagai peluang berharga untuk mengungkap
peristiwa
G30S secara transparan sehingga setiap pelaku sejarah dapat
ditempatkan
sesuai dengan peran sejarah yang dimainkannya. Sikap emosional dan
membabi
buta dalam upaya pengkajian atau penelusuran kembali peristiwa G30S
bukan
saja hanya akan menjadikan peristiwa tersebut tetap tidak jelas dan
penuh
rekayasa, tetapi juga akan membuat karya sejarah yang dilahirkan
nanti tidak
ada bedanya dengan karya sejarah yang dilahirkan pemerintah Orba,
yakni
sejarah yang sarat dengan kepentingan sesaat atau kepentingan
subjektif para
tokoh atau penguasa. Bila demikian, apa gunanya membaca dan
mempelajari
karya sejarah. Dalam kaitan itu pula, penggunaan istilah pelurusan
sejarah
hendaklah dihindari dan akan terasa lebih tepat bila yang digunakan
adalah
istilah penelusuran kembali peristiwa sejarah atau pengkajian kembali
peristiwa sejarah.
Berpijak pada konsep pemikiran itu pula, jelaslah bahwa selama
rekonstruksi
sejarah didasarkan atas fakta-fakta sejarah tidak ada satupun karya
sejarah
yang bisa dikategorikan sebagai sebuah manipulasi sejarah atau
kebohongan
sejarah. Oleh karena itu, perkembangan bangsa ini ke depan yang perlu
dikembangkan dalam melahirkan kajian-kajian terhadap peristiwa
sejarah
adalah melakukan penjarakan (distansiasi) terhadap peristiwa sejarah
yang
tengah diteliti. Terlebih lagi terhadap kepentingan penguasa atau
kepentingan pihak-pihak yang tengah memegang kekuasaan. Hal lain
yang tidak
kalah penting, bahwa sejarah sebagai hasil rekonstruksi membuka
peluang yang
seluas-luasnya bagi terjadinya perbedaan pendapat selama perbedaan
pendapat
tersebut didasarkan atas fakta dan interpretasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.***
--- End forwarded message ---