[Nusantara] Benny G. Setiono : G-30-S dan Etnis Tionghoa
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 07:01:01 2002
SUARA PEMBARUAN DAILY
G-30-S dan Etnis Tionghoa
Oleh Benny G Setiono
Selama hampir sepuluh tahun pada masa pemerintahan Orde Baru, setiap
tanggal
29 September malam kita disuguhi film Pengkhianatan G30-S/PKI yang
disutradarai almarhum Arifin C. Noer. Mudah-mudahan tahun ini
menjadi tahun
kelima film tersebut
absen dari layar kaca seluruh televisi di Indonesia. Selama puluhan
tahun
rakyat Indonesia dicekoki propaganda penguasa Orde Baru akan bahaya
laten
komunis, padahal negara-negara kubu komunis telah runtuh
bergelimpangan.
Demi menjaga kelangsungan hidup pemerintahan otoriternya, Presiden
Soeharto
yang terkenal sebagai ahli strategi ternyata telah salah menebak
arah angin
bertiup sehingga ia harus rela dilengserkan oleh aksi para mahasiswa
yang
pada tahun 1966 digunakannya untuk menjatuhkan Presiden Sukarno.
Inilah yang
disebut senjata makan tuan!
Setelah lengsernya Presiden Soeharto, kini bermunculan berbagai buku
dan
artikel yang mengulas apa yang sesungguhnya terjadi dengan G-30-S.
Peranan
CIA dan MI-6 mulai terbongkar dan ternyata Jenderal Soeharto
menggunakan
G-30-S untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno.
Pada masa pemerintahan Sukarno hubungan antara Pemerintah Indonesia
dengan
Pemerintah RRT boleh dikatakan berlangsung dengan penuh persahabatan,
walaupun pernah dinodai dengan insiden PP-10 dan Peristiwa 10 Mei
1963. Kita
masih ingat bagaimana pengaruh dan kharisma PM Chou En Lai ketika
menghadiri
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Demikian juga
hubungan
antara etnis Tionghoa baik yang WNI maupun yang asing dengan
penduduk yang
disebut "pribumi". Dalam setiap acara nasional seperti acara 17
Agustusan,
etnis Tionghoa aktif mengambil bagian dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan di kampung-kampung atau pemukiman-pemukiman.
Dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri maupun Tahun Baru Imlek, etnis
Tionghoa
dan para tetangga dan kenalannya yang disebut "pribumi" saling
bertukar
bingkisan dan bersilaturahmi, menunjukkan keakraban dan upaya saling
menghargai. Acara Pasar Malam dan Cap Go Meh untuk menyambut Imlek
dirayakan
secara meriah bukan saja oleh orang-orang Tionghoa tetapi oleh
seluruh
penduduk Jakarta yang menjadikannya semacam festival tahunan.
Mobilisasi Massal
Pada saat Trikora dan Dwikora diadakan mobilisasi massal untuk
merekrut
sukarelawan, tidak sedikit pemuda Tionghoa yang turut mengambil
bagian, baik
untuk menjadi prajurit maupun dokter militer. Demikian juga para
mahasiswa
termasuk yang berasal dari etnis Tionghoa harus menjadi anggota
Resimen
Mahadjaja. Setiap malam diadakan ronda malam semacam siskamling di
kampung-kampung dan setiap rumah tidak perduli kaya atau miskin,
pribumi
atau pun keturunan harus turut serta mengambil bagian.
Jelas pada masa itu hubungan antarkomponen bangsa berlangsung dengan
harmonis, bukan saja antara penduduk pribumi dengan keturunan tetapi
juga
hubungan antaretnis dan suku bangsa serta antaragama. Agama Khonghucu
sebagai agamanya mayoritas etnis Tionghoa pada masa itu diterima
sebagai
suatu kenyataan.
Memang pada masa demokrasi parlementer ada usaha-usaha dari orang-
orang
tertentu untuk menerbitkan peraturan-peraturan yang rasis dan
diskriminatif
seperti "benteng importir", pembatasan penggilingan padi dan
perusahaan
ekspedisi/angkutan, namun usaha-usaha tersebut ditentang habis-
habisan oleh
Siauw Giok Tjhan dengan dukungan fraksi-fraksi lainnya di parlemen.
Akhirnya
peraturan-peraturan tersebut satu per satu berguguran.
Pada masa demokrasi terpimpin ada usaha dari golongan reaksioner yang
didukung Amerika untuk merusak hubungan RI dengan RRT dengan
menerbitkan
PP-10 dan aksi-aksi anarkis "10 Mei 1963" semasa kunjungan Presiden
Liu
Shiao Chi, tetapi selebihnya boleh dikatakan hubungan persahabatan
antara RI
dan RRT serta hubungan antara penduduk Tionghoa dengan penduduk
lainnya
berjalan dengan baik.
Orang Tionghoa tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis tetapi
juga
memasuki bidang-bidang lainnya. Banyak di antaranya yang menjadi
dokter,
pengacara, hakim, jaksa, polisi, notaris, apoteker, tentara, artis,
seniman,
olahragawan, dan jurnalis.
Di bidang politik banyak politikus Tionghoa yang aktif di berbagai
partai
politik baik yang berideologi nasionalis (PNI, Partindo), agama
(Katolik,
Kristen maupun Islam) dan Komunis (PKI, Murba). Demikian juga banyak
yang
aktif di organisasi-organisasi massa seperti Baperki dan LPKB maupun
organisasi-organisasi lainnya.
Tetapi apa yang terjadi setelah Peristiwa G-30-S? Ternyata Jenderal
Soeharto
dalam usahanya menggulingkan Presiden Sukarno, dengan dukungan CIA
dan MI-6
merusak hubungan persahabatan RI-RRT dan memojokkan etnis Tionghoa di
Indonesia. Setelah menggunakan para mahasiswa dan pelajar untuk
melakukan
demonstrasi dan merusak Kedutaan Besar RRT dan menutup seluruh
sekolah-sekolah Tionghoa, hubungan diplomatik kedua negara sahabat
tersebut
dibekukan. Sebelumnya Uni-versitas Res Publica milik Baperki dijarah
dan
dibakar, kemudian diambil alih Jenderal Nasution yang memerintahkan
LPKB
untuk membentuk Yayasan Trisakti dan berkat bantuan pemerintah
Kerajaan
Belanda berhasil di-bangun kembali.
Ironisnya pada saat ini terjadi konflik internal antara Yayasan
Trisakti
pimpinan K. Sindhunatha dan Senat Universitas, Trisakti pimpinan
Prof Thoby
Muthis.
Memojokkan
Setumpuk peraturan yang bertujuan memojokkan dan merendahkan etnis
Tionghoa
diterbitkan pemerintahan Orde Baru, antara lain perubahan sebutan
Tiongkok
dan Tionghoa menjadi Cina. Disusul pelarangan seluruh upacara
keagamaan,
tradisi dan budaya Tionghoa dilakukan di tempat terbuka. Seluruh
terbitan
dan barang-barang cetakan berbahasa Tionghoa dilarang. Agama
Khonghucu tidak
diakui oleh Departemen Agama, akibatnya orang Tionghoa beramai-ramai
masuk
agama Kristen, Katolik dan Buddha. Berbagai peraturan yang
diskriminatif
seperti keharusan memiliki SBKRI dan KI bagi orang-orang keturunan
masih
berdampak sampai sekarang. Untuk mengurus paspor dan akte perkawinan,
kelahiran, pendirian perusahaan dan jual beli properti, etnis
Tionghoa
diharuskan menunjukkan SBKRI sampai ke kakek neneknya. (Lihat Suara
Pembaca
Suara Pembaruan edisi 20 September 2002 berjudul "Diskriminasi
Keturunan
Tionghoa Terus Berlangsung" dan tulisan "Pejuang Antidiskriminasi pun
Terdiskriminasi" serta tulisan "Biaya Pembuatan Akte Kelahiran" di
harian
Sinar Harapan edisi 23 dan 24 September 2002).
Pada masa penumpasan G-30-S bukan hanya orang-orang PKI yang dikejar-
kejar
untuk dipenjarakan tetapi banyak orang Tionghoa yang ditangkap dengan
tuduhan Baperki untuk kemudian diperas uangnya. Hal inilah yang
menyebabkan
orang-orang Tionghoa menghindari wilayah politik.
Baperki telah menjadi stigma yang ampuh untuk menakut-nakuti etnis
Tionghoa
agar menghindari kegiatan-kegiatan yang berbau politik. Etnis
Tionghoa hanya
diberi ruang gerak di bidang bisnis dan ironisnya secuil dari mereka
dijadikan kroni para penguasa untuk melakukan KKN dalam mengumpulkan
kekayaan.
Akibatnya etnis Tionghoa menjadi sasaran kebencian rakyat Indonesia
yang
mencapnya sebagai monster yang rakus dan menjijikkan serta tidak
perduli
pada masyarakat sekelilingnya.
Demikianlah, penumpasan G-30-S telah menimbulkan dampak yang sangat
negatif
terhadap etnis Tionghoa. Di masa reformasi ini demi kemajuan dan
persatuan
bangsa, sudah seharusnya seluruh peraturan yang diskriminatif dan
rasis
dicabut. Sebaliknya etnis Tionghoa diharapkan agar segera
mencampakkan
seluruh stigma yang selama ini melekat di dirinya dengan mengubah
perilaku
yang selama ini dipaksakan oleh pemerintahan otoriter Orde Baru.
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
Last modified: 30/9/2002
--- End forwarded message ---