[Nusantara] SH : Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S-1965

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 07:00:19 2002


Sinar Harapan
30/9/2002

Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S-1965

Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi ladang operasi 
intelejen dari
berbagai negara. Jaringan yang cukup berpengaruh adalah M-16 dari 
Inggris
dan CIA dari AS di samping intelejen RRC dan KGB-nya Uni Soviet.
Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang pengawasan, pengaruh,
pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di tahun 1965 
dari
Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu 
kepentingan yang
pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah kudeta 
1965.
Kelanjutannya adalah pembantaian massal, pelarangan ideologi komunis,
soekarnois dan PKI, dan semua partai maupun organisasi masyarakat 
yang dekat
dengan Soekarno.
Bagaimanapun, kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai 
presiden
pertama RI tetap merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa
setelah kejatuhan Soekarno membuktikan peristiwa tersebut terencana 
sangat
matang dan canggih.
Sebuah dokumen operasi Intelejen CIA 1964 - 1966 yang lengkap dari 
Amerika
Serikat telah dibuka pada publik internasional. Dokumen tersebut 
telah
diterjemahkan dan diterbitkan sebagai salah satu bahan untuk 
meluruskan
sejarah yang selama ini terdistorsi kepentingan Orde Baru.
Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno memainkan peranan penting 
dalam
kancah perang dingin antara blok Barat yang dipimpin AS dan blok 
Timur yang
terdiri dari negara-negara sosialis. Kepemimpinan Indonesia terlihat 
dalam
menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia-Afrika dan 
Gerakan
Non-Blok maupun NEFO (New Emerging Forces) sebagai garis politiknya 
untuk
menghadapi imperialisme dengan OLDEFO.
Dokumen CIA yang sebelumnya merupakan dokumen rahasia yang berisi 
sejumlah
informasi penting seputar peristiwa tersebut kini telah terbuka untuk
publik. Penerbit Hasta Mitra yang dipimpin Joesoef Isak dan selama 
ini
dikenal sebagai penerbit karya-karya Pramudya Ananta Toer, 
menerbitkan
terjemahaan dokumen CIA itu dalam sebuah buku yang berjudul Dokumen 
CIA,
Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965.
Mengomentari buku ini, Letjen (purn) Agus Widjojo mengatakan 
kekuatannya
terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan dokumen otentik yang
menggambarkan kepentingan negara adidaya dalam situasi Perang 
Dingin. "Pada
masa itu ideologi adalah panglima, sehingga dinamikanya antara Barat 
dan
Timur. Namun, faktor intern dalam negerilah yang menentukan 
terjadinya
peristiwa 1965," ujar putra almarhum Jenderal Soetojo, yang menjadi 
salah
seorang korban peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Agus menegaskan secara umum teori pertentangan antara sipil yang 
dipimpin
Soekarno dan PKI berhadapan dengan sebagian TNI-AD adalah faktor 
internal
yang menjadi titik lemah bagi masuknya kepentingan konflik perang 
dingin,
dalam hal ini Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina, yang bukan 
kebetulan
dimenangkan oleh Amerika yang mewakili Barat.
Karena itu, Agus Widjojo mengingatkan, bila kita bercermin pada 
kejadian
tahun 1965 itu, dalam situasi krisis multidimensi dan ancaman 
disintergrasi
yang dialami oleh bangsa Indonesia pada saat ini, pilihannya hanyalah
melakukan konsolidasi dalam satu rekonsiliasi yang pasti, atau hancur
berkeping-keping dalam perang saudara dan intervensi asing di bidang 
ekonomi
maupun politik

Keterlibatan Rusia dan RRC
Mengomentari buku yang akan diluncurkan itu, mantan aktivis angkatan 
66 dan
Forum Demokrasi, Rahman Toleng, berharap agar jangan cuma 
keterlibatan CIA
saja yang dilihat pada waktu persitiwa 1965 tersebut. Dia juga
mengindikasikan keterlibatan agen-agen RRC dan Rusia di belakang 
peristiwa
tersebut.
Mantan Wakil Ketua MPRS, pada tahun 1966, Mayjen (Pur) Abdul Kadir 
Besar,
mengingatkan faktor di dalam negeri juga berperan seperti pernyataan 
Anwar
Sanusi (anggota CC PKI/Anggota Front Nasional) sebelum peristiwa 30
September 1965, bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. "Itu merupakan 
sebuah
tanda akan terjadi kejadian besar tersebut. Oleh karena itu, data-
data dari
dalam negeri pun juga harus dijadikan pembanding dokumen CIA 
tersebut,"
uajrnya.
Dalam pandangan Abdul Kadir, PKI punya rencana 4 tahunan dalam 
demokrasi
parlementer-terpimpin ala Soekarno yang yakin akan menang dalam 
Pemilu.
Namun karena peringatan dokter-dokter Cina tentang gawatnya penyakit
Soekarno, PKI khawatir TNI AD akan mendahului merebut 
kekuasaan. "Oleh
karenanya, PKI mendahului dengan G30S-nya," jelasnya.

Dokumen Gilchrist
Untuk membaca dokumen CIA ini mungkin dibutuhkan satu latar belakang
historis. Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI-AD berusaha 
mendudukkan
alur secara kronologis.
Dalam pandangannya, peristiwa 1965 dipicu oleh sebuah dokumen yang 
bernama
Dokumen Gilchrist. Gilchrist—duta besar Inggris pada waktu itu—
sebagai
pelaksana operasi intelejen Inggris dan AS, mengeluarkan dokumen yang
berisikan situasi palsu tentang konsolidasi TNI-AD, yang disebutnya 
sebagai
Dewan Jenderal.
Dokumen ini yang dibawa oleh Chaerul Saleh, tokoh Partai Murba ke 
Soekarno,
Subandrio, dan akhirnya Adit. Dalam sebuah pesta sebelumnya di Eropa,
Gilchrist pernah berkata bahwa satu kali tembakan akan mengubah 
Indonesia.
Belakangan baru terungkap, sekretaris dubes Inggris-lah yang 
mempersiapkan
skenario operasi anti-PKI dengan isu amoral, asusila, dan anti-agama 
yang
kemudian dilansir ke sejumlah koran Ibu Kota seperti Merdeka, Berita 
Yudha,
dan Angkatan Bersenjata. Hal ini terungkap karena ada satu dokumen 
telegram
kampanye dengan isu tersebut ke redaksi Merdeka.
Menurut sumber itu, menanggapi situasi yang digambarkan Dokumen 
Gilchrist,
Soekarno memerintahkan untuk segera mengatasi persoalan ini. Kolonel
Soeparjo dan Kolonel Mursid kemungkinan menolak yang kemudian jatuh 
ke
Letkol Untung sebagai pelaksana G30S.
Kalau benar DN Aidit ingin melakukan revolusi dari atas, langkah itu 
keliru
karena dia tidak melibatkan jajaran TNI yang berpihak ke PKI, dan 
harus
diingat Letkol Untung ternyata bukan dari kalangan tersebut.

Operasi Pembasmian
Ada hal menarik dalam buku itu, seperti daftar nama 500-an pemimpin 
PKI yang
dikeluarkan oleh CIA dan disampaikan lewat Adam Malik ke TNI-AD yang
berbobot perintah operasi pembasmian secara cepat agar PKI benar-
benar
lumpuh rantai komandonya. Hanya dengan operasi cepat inilah AS 
percaya dapat
melumpuhkan PKI dan dapat menaikkan moral TNI-AD untuk melawan 
Soekarno dan
PKI.
Hanya sedikit perwira yang memiliki keberanian dan pengalaman melawan
Soekarno, yaitu mereka yang terlibat di PRRI dan Permesta semacam 
Zulkifli
Lubis, Vence Sumual, Kawilarang, dan tentu saja Kemal Idris.
Aktivis buruh Dita Indah Sari mengomentari bahwa dokumen-dokumen 
dalam buku
ini memang membuktikan pendanaan dari pemerintah AS yang dijalankan 
oleh CIA
adalah untuk operasi penggulingan Soekarno. Hal ini didahului oleh 
tindakan
mata-mata terhadap semua kegiatan dan keputusan Soekarno, terutama
sehubungan dengan konfrontasi dengan Malaysia dan pengiriman relawan 
ke
Malaysia.
Hal-hal itu terungkap dalam semua dokumen percakapan telepon, 
telegram,
maupun surat rahasia pejabat-pejabat AS baik di Amerika maupun di 
Indonesia
seperti: Lindon Johnson (Presiden AS), Dean Rusk (Menteri Luar 
Negeri), Mc
Namara (Menteri Pertahanan), Howard Jones (Dubes AS di Indonesia), V.
Forrestal (Staf Dewan Keamanan Nasional), Mc George Bundy (Assisten 
Khusus
Presiden Urusan Keamanan)
Seperti yang tertuang dalam halaman 156-158: Memorandum dipersiapkan 
CIA
untuk State Department (dari Colby untuk Bundy) 18 September 1964 
tentang
prospek untuk aksi tersembunyi …di antara mereka beberapa telah 
menunjukkan
kemampuan melakukan kegiatan politik tersembunyi meskipun terbatas 
namun
efektif. Lebih jauh ada terdapat sejumlah pendekatan ke kedutaan dan
komponen misi lainnya oleh individu-individu—beberapa untuk 
kepenitngan diri
sendiri, yang lain adalah untuk mencari bantuan agar mereka mampu 
melawan
komunisme di Indonesia...untuk itu kami mengajukan sebuah program 
aksi
tersembungi yang intensif, terbatas pada tujuan awalnya, tapi 
dirancang
untuk ekspansi jika situasi mengijinkan.

Konteks Perang Dingin
Mengenai pengungkapan berbagai dokumen itu, James D. Vilgo, seorang
pensiunan Letnan Kolonel AS, menegaskan bahwa dokumen tersebut harus
ditempatkan pada konteksnya, yaitu masa Perang Dingin, di mana 
intelejen AS
memang bekerja secara ofensif.
"Situasi politik sekarang sudah berbeda, Kongres dan Senat AS justru
mengontrol semua kegiatan militer dan intelejen AS, agar tidak 
bekerja
terlalu jauh. Dokumen ini adalah salah satu bukti kontrol yang 
membuka semua
operasi intelejen AS, sama seperti dokumen yang bersangkutan dengan
Indocina, Chili, dan ope-rasi di berbagai tempat lainnya. Justru
transparansi ini seharusnya diikuti oleh Indonesia yang sedang dalam 
masa
transisi sekarang," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa data-data dari AS ini seharusnya 
dilengkapi
dengan data-data dokumen yang dikeluarkan oleh pihak Indonesia 
sendiri agar
masyarakat tahu sebenarnya apa yang terjadi dan menjadi pelajaran 
agar tidak
terulang lagi.
Dalam era reformasi sekarang ini, ujarnya, yang terpenting adalah 
sebuah
usaha untuk mengubah paradigma, terutama dalam pendidikan sejarah 
yang harus
seobjektif mungkin. Sebuah komite penyelidikan dapat dibentuk oleh 
sipil dan
melibatkan intelektual dalam dan luar negeri untuk memberikan 
masukan pada
MPR/DPR, sehingga punya kekuatan seperti Kongres dan Senat AS.
Dalam pandangannya, soal keterlibatan AS, tidak bisa dilihat secara 
sepihak
karena sebenarnya yang berpengaruh adalah situasi dalam negeri pada 
waktu
itulah yang mengkhawatirkan AS. Posisi AS adalah peninjau yang 
terlibat
kemudian.

Cuci Tangan
Namun Dr. Salim Said, menegaskan bahwa penerjemahan dan penerbitan 
buku ini
jangan menjadi ajang cuci tangan PKI terhadap peristiwa 1965. Memang 
Amerika
terlibat, tapi aspek-aspek lain juga di luar Amerika harus 
diperhitungkan,
jelas buku ini diterbitkan oleh Hasta Mitra supaya menjernihkan 
persoalan
terutama, soal keterlibatan AS, jangan malahan menjadikannya semakin 
kabur.
Joesoef Isak sendiri menegaskan dalam pengantarnya bahwa penerbitan 
buku ini
sama sekali tidak bermaksud membangkitkan kemarahan rakyat Indonesia 
kepada
dunia Barat.
"Kita sepenuhnya sadar bahwa juga di dunia barat maupun di Amerika 
terdapat
cukup banyak unsur-unsur The New Emerging Forces dalam semua 
tingkatan
kehidupan mereka yang sama-sama mendambakan persahabatan dan 
perdamaian di
dunia ini. Sebaliknya kita juga sadar, bahwa kekuatan besar The Old
Established Forces masih kuat bercokol dan mengacau rumah tangga kita
sendiri," ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa itulah sebabnya globalisasi ekonomi-politik dan
globalisasi intelejen yang berwatak destruktif bagi kemanusiaan, 
keadilan
yang beradab, dan perdamaian bumi manusia, mutlak juga harus 
dihadapi dengan
kerja sama dan penggalangan globalisasi solidaritas The New Emerging 
Forces
sedunia. (SH/web warouw)



Copyright © Sinar Harapan 2002
--- End forwarded message ---