[Nusantara] Andi Irawan : Dampak Suap dan Korupsi terhadap Kinerja Ekonomi
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 07:12:04 2002
Dampak Suap dan Korupsi terhadap Kinerja Ekonomi
Oleh Andi Irawan
Politik uang dan suap adalah bentuk transaksi haram yang sangat
akrab dengan
para elite ekonomi dan politik kita sejak zaman orde lama sampai era
reformasi ini. Terminologi ekonomi menyebutkannya sebagai
transaction cost,
sedangkan bahasa sosiologinya disebut korupsi. Fenomena perilaku
korupsi ini
kita dengar lagi dalam kasus divestasi Bank Niaga. Dimana seorang
anggota
Komisi IX dari Fraksi PDIP, Meliono Suwondo menyampaikan bahwa ada
uang suap
sebesar 1000 dolar AS yang diberikan oleh BPPN pada anggota DPR untuk
melancarkan proses divestasi Bank Niaga tersebut. Dan diinformasikan
pula
bahwa pemberian uang suap itu karena provokasi sejumlah anggota dewan
terhadap BPPN.
Perilaku anggota DPR tersebut menjadi justifikasi tentang kebenaran
laporan
hasil penelitian dari Lembaga Transparency International tanggal 29
Agustus
2002 yang lalu. Lembaga internasional tersebut telah mengumumkan
Indeks
Persepsi Korupsi terbaru untuk tahun 2002 yang disusun berdasarkan
hasil
penelitian 12 badan survei internasional independen, dimana menurut
hasil
penelitian itu, Indonesia menempati posisi ke-7 negara terkorup di
dunia
dari 102 negara yang disurvei.
Bagi bangsa kita korupsi sudah menjadi budaya, demikian ungkap Bung
Hatta.
Setiap anak bangsa akan mengakui betapa tepatnya ungkapan Bung Hatta
tersebut, karena setiap urusan di negara kita mulai dari mengurus
surat
kelahiran sampai yang berkenaan dengan administrasi kematian hanya
akan
mudah dan lancar bila ada transaction cost (uang pelumasnya).
Korupsi adalah fenomena yang dampak buruknya langsung atau tidak
telah kita
rasakan. Korupsi memperburuk kinerja perekonomian dan memperparah
krisis
ekonomi. Pemberantasannya harus melibatkan kita semua dan tidak bisa
hanya
mengandalkan negara!
Dampak terhadap Perekonomian
Cukup banyak studi dan penelitian yang menunjukkan bahwa korupsi
dapat
memperburuk performance perekonomian suatu negara. Hal ini dapat
kita lihat
dari studi dan pengamatan sejumlah pakar sebagai berikut: Pertama,
Dampaknya
terhadap investasi.
Studi Ades dan Di Tella (1997) dalam Nusantara (2000) yang mengamati
dampak
korupsi terhadap investasi dan pengeluaran untuk research and
development
(R&D) pada sektor industri, menunjukkan dampak korupsi yang negatif
dan
signifikan terhadap investasi dan pengeluaran ak-tivitas R&D.
Kesimpulan studi tersebut adalah bila kebijakan sektor industri
tercemari
oleh korupsi, maka akan berdampak negatif terhadap investasi sebesar
56%,
secara langsung dengan menggunakan control for random effect,
sedangkan bila
menggunakan control for year fixed effect akan berdampak 84%. Secara
sederhana dapat diterjemahkan, bila dampak rata-rata korupsi terhadap
investasi ditetapkan (control for random effect) maka secara
keseluruhan
korupsi punya andil 56% dalam proses penurunan investasi sektor
industri.
Sedangkan apabila kondisi korupsi pada suatu waktu tertentu dianggap
konstan
(control for year fixed effect) maka dampaknya akan sebesar 84%
dalam proses
penurunan investasi. Dampak terhadap aktivitas R&D adalah sebesar
50% dan
82%. Jelasnya, korupsi ternyata mempunyai dampak yang kuat terhadap
kemunduran investasi suatu perekonomian.
Dengan mengkomparasikan penelitian Ades dan Di Tella dan hasil survei
Transparency International tentu tidaklah mengherankan ketika kita
mengetahui bahwa tingkat angka persetujuan investasi menurun di
Indonesia,
baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal
asing (PMA).
Sebagaimana yang diketahui dua jenis investasi ini mengalami
kemerosotan
tajam selama semester pertama tahun 2002 dibandingkan dengan periode
yang
sama tahun 2001. PMDN angkanya anjlok hingga 72 persen, yakni dari
Rp 39,788
triliun dengan 130 proyek menjadi Rp 11,114 triliun dengan 80 proyek.
Sementara PMA merosot 42 persen, yakni dari 4,312 miliar dolar AS
dengan 678
proyek menjadi 2,520 miliar dolar AS dengan 506 proyek.
Kedua, dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak korupsi
juga
dapat dicermati dari sisi pertumbuhan ekonomi. Apabila korupsi dapat
mengurangi investasi domestik dan investasi asing, satu hal yang
pasti dapat
juga terjadi adalah korupsi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Studi yang dilakukan oleh Paolo Mauro (1995) menyelidiki kondisi
pertumbuhan
ekonomi yang disebabkan oleh korupsi. Indeks korupsi yang dikaitkan
dengan
pertumbuhan ekonomi memiliki angka koefisien 0,003. Angka tersebut
dapat
diartikan bila Indonesia mampu menurunkan tingkat korupsi hingga
level
Singapura, maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar
2,25
persen. Jadi apabila pada tahun 2000-2001, perekonomian Indonesia
secara
riil tumbuh sebesar 3%, maka apabila korupsi bisa dikontrol maka
pertumbuhan
ekonomi akan sebesar 5.25%.
Terhadap Pengeluaran Pemerintah
Tanzi dan Davoodi (1997) melakukan studi yang sistematik terhadap
dampak
korupsi terhadap keuangan publik. Terdapat beberapa temuan penting
dari
hasil studi tersebut, yaitu (a) korupsi memiliki kecenderungan untuk
meningkatkan ukuran public investment, sebab pengeluaran publik
meningkat
karena praktik manipulasi yang dilakukan oleh pejabat tinggi, (b)
korupsi
akan mampu mengubah komposisi pengeluaran pemerintah dari
pengeluaran yang
bersifat pengoperasian dan pemeliharaan
menjadi pengeluaran yang bersifat pembelian barang-barang baru, (c)
korupsi
memiliki kemungkinan untuk membelokkan komposisi pengeluaran publik
dari
pengeluaran untuk projek-projek publik ke aktivitas pembangunan yang
tidak
langsung terkait dengan publik dengan alasan proyek yang terkait
langsung
dengan masyarakat relatif lebih sulit untuk menerapkan rente. (d)
korupsi
akan mengurangi produktivitas investasi publik dan infrastruktur, (e)
korupsi akan menurunkan penerimaan pajak sebab kemampuan pemerintah
untuk
mengumpulkan pajak dan tarif, secara riil sangat tergantung pada
nominal tax
rate dan rumitnya peraturan perpajakan yang pada akhirnya akan "
disederhanakan" oleh petugas pajak di lapangan.
Pembangunan Berkelanjutan
Korupsi dalam bentuk kolusi antara para elite politik korup dan elit
ekonomi
serakah akan mengekspolitasi sumberdaya alam secara semena-mena untuk
keuntungan pribadi di atas kesejahteraan warga dunia dan ekonomi
bangsa
sendiri. Akibatnya perusakan lingkungan yang hebat (environmental
hazard)
tak terelakkan Dan ketika environmental hazard ini terjadi menurut
Ramcharan
(1983) bukan hanya memustahilkan pemenuhan hak-hak dalam kategori
sosial
ekonomi pada pihak lain khususnya atas orang-orang miskin seperti
hak atas
pangan (right to food), hak atas kesehatan (right to health), hak
atas
perumahan (right to housing), hak atas pekerjaan (right to work),
tetapi
juga memustahilkan pemenuhan atas hak dalam kategori sipil dan
politik
(civil and political right) seperti hak atas hidup, hak
berorganisasi dan
seterusnya.
Peran "Civil Society"
Robert Klitgaard mengatakan, bahwa beberapa kasus di negara-negara
berkembang, gagalnya pemberantasan korupsi, terjadi karena: Pertama,
tidak
adanya political will dari pihak eksekutif dan legislatif. Untuk
kasus
Indonesia hal yang paling telanjang tampak ketika dilikuidasinya
Pansus
Buloggate II, ada arus yang tidak sinkron antara arus pendapat
kalangan
elite politik di legislatif dan eksekutif yang melikuidasi
keberadaan pansus
tersebut dengan arus pendapat publik yang menginginkan proses
transparansi
melalui terbentuknya Pansus Buloggate II tersebut.
Kedua, Para pejuang reformasi tak mampu memobilisasi dukungan aktif
rakyat
dalam menghilangkan perilaku korup. Sebagai contoh, ketika kelompok
reformis
kampus melakukan aktivitas unjuk rasa penolakan dan pemberantasan
korupsi di
DPR, bundaran HI atau di depan Istana Presiden, hanya sedikit
melibatkan
komponen wong cilik dalam gerakan mereka. Berbeda misalnya tatkala
melengserkan Soeharto, rakyat kecil juga terlibat aktif secara
sukarela
dalam mem-back-up aktivitas mahasiswa, baik bersama-sama mahasiswa
turun ke
jalan atau penyandang logistik sukarela aktivitas para aktivis kampus
tersebut.
Mengharapkan proses pemberantasan korupsi melalui itikad baik dan
kerja
keras pihak legislatif dan eksekutif tampaknya belum bisa diharapkan.
Artinya tugas besar memberantas korupsi ini tampaknya tetap menjadi
tugas
besar dari civil society (kalangan aktivis kampus, publik media,
pemikir dan
intelektual, LSM-LSM dan lain-lain) untuk semakin mengkristalkan
energi
potensial perlawanan masyarakat terhadap korupsi tersebut dan
mengubahnya
menjadi energi kinetik antikorupsi. Hal ini berimplikasi usaha-usaha
yang
dilakukan civil society dalam memberdayakan masyarakat untuk
melakukan
kontrol terhadap pejabat publik dan pelaku bisnis harus sinergis
dengan
usaha-usaha mendorong pembentukan/perubahan kebijakan dan institusi
yang
dapat mendorong terciptanya sistem politik yang transparan, bersih
dan
demokratis. Sehingga, tercipta ruang yang luas bagi publik untuk
melakukan
kontrol. Dua hal ini, kontrol sosial yang ketat dari publik dan
terbentuknya
sistem politik yang transparan akan "memaksa" setiap elite politik,
ekonomi
dan sosial untuk mempertimbangkan kepentingan publik dalam proses
pengambilan keputusan mereka.
Penulis adalah pengamat ekonomi dari Universitas Bengkulu.
Copyright © Sinar Harapan 2002
--- End forwarded message ---