[Nusantara] Apa Maunya Pemerintah: Surga Turis atau Teroris?
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:12:32 2002
Apa Maunya Pemerintah: Surga Turis atau Teroris?
Oleh Zainuddin Maliki *
Kegagapan sikap pemerintah menghadapi tekanan AS dalam pemberantasan
terorisme tak bisa ditutup-tutupi. Sikap gagap itu terbaca dengan
semakin
banyaknya kontroversi penanganan berbagai kasus, seperti penangkapan
Agus
Dwi Karna, Tamsil Linrung, dan kawan-kawan di Filipina. Belakangan
masih
juga muncul kontroversi tentang penangkapan Al-Faruq, yang anehnya
meski
tercatat sebagai warga Kuwait, oleh pemerintah RI dia dideportasi ke
AS.
Kegagapan itu semakin tampak setelah di kalangan pejabat pemerintah
memberikan komentar yang tidak seragam. Penangkapan Al-Faruq
dikatakan
polisi berkaitan dengan pelanggaran imigrasi, tetapi pejabat BIN
menyatakan
berkaitan dengan usaha terorisme.
Sementara itu, Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra tidak mau menyebut
teroris karena negeri ini belum memiliki UU Antiterorisme.
Kontroversi
di
tubuh pejabat publik semakin lengkap setelah KSAD Jenderal Ryamizard
Ryacudu
bersuara berbeda lagi. Dia menepis adanya jaringan terorisme
internasional
di negeri ini. Kalau teror sih menurut dia ada.
Perlu dicatat mengenai kapan pengakuan KSAD itu dikemukakan ke tengah
publik. Sebab, hal ini akan membantu menggambarkan apa yang ada di
balik
pikiran petinggi militer kita. Ryamizard membuat pernyataan itu
sehari
setelah Duta Besar AS Ralph L. Boyce yang dinilai sejumlah kalangan
cenderung melunak. Berbeda dengan tuduhan Time maupun pejabat CIA
yang
keras
tentang jaringan terorisme di Indonesia, Boyce menyatakan dirinya
tidak
pernah menuding ada warga negara Indonesia yang terlibat jaringan
terorisme
ataupun terlibat dalam gerakan Al Qaidah (JP, 26/9).
Dari fenomena tersebut di atas dapat dirasakan betapa tekanan AS
berpengaruh
besar, bahkan tampak jauh lebih berpengaruh daripada suara
masyarakat
di
mata para petinggi militer khususnya, dan pemerintah Megawati pada
umumnya.
Desakan sejumlah ormas, baik berlatar belakang agama maupun yang
nonagama,
termasuk pertemuan tokoh puluhan organisasi Islam di PP
Muhammadiyah,
forum
ukhuwah Islamiyah MUI, juga 71 tokoh Islam yang berkumpul di Solo,
tidak
banyak mengubah cara pejabat publik di Jakarta memandang terorisme.
Karena itu, secara tak terelakkan semakin menguat tumbuhnya opini di
masyarakat bahwa pejabat publik di Jakarta, baik militer maupun
sipil,
jauh
lebih mempertimbangkan tekanan pemerintah AS daripada mendengarkan
aspirasi
masyarakatnya sendiri.
Opini di tengah masyarakat seperti itu sudah barang tentu sangat
disesalkan
dan amat merugikan, bukan saja bagi Islam Indonesia, tetapi bagi
seluruh
bangsa ini. Betapa tidak, opini tersebut bisa mempengaruhi pandangan
dunia
bahwa Indonesia tidak lagi bisa dicitrakan sebagai negeri yang aman
atau
ramah manusia yang menghuni di dalamnya. Indonesia, meski indah
alamnya,
tidak lagi bisa dikatakan sebagai untaian zamrud katulistiwa yang
bisa
dijadikan surga bagi para turis, karena telah tercitrakan sebagai
sarang
teroris.
Kalau yang mendesakkan citra atau lebih tepatnya stigma teroris
adalah
Lee
Kuan Yew, orang masih bisa memahami. Sebab, bagaimanapun, negara kota
Singapura itu tidak ingin melihat Indonesia menjadi besar. Apalagi,
kalau
kemudian mampu menggeser peran Singapura di tengah jaringan ekonomi
politik
dunia, khsusunya di Asia Tenggara. Namun, masyarakat mengurut dada
kalau
justru yang bersemangat mencitrakan negerinya sendiri sebagai sarang
teroris
adalah penguasa sendiri, atau meminjam istilah Orde Baru, "oknum-
oknum"
penguasa di negeri ini. Opini yang beredar di tengah masyarakat saat
ini
adalah bahwa kasus kontroversi terkait penangkapan tokoh yang diduga
teroris
dan memiliki jaringan dengan Al Qaidah itu tiada lain adalah
skenario
atau
rekayasa untuk membangun opini adanya jaringan terorisme
internasional
di
dalam negeri. Opini seperti itu semakin kuat setelah petinggi militer
Jenderal Ryamizard dan Duta Besar AS Boyce menyatakan tidak ada
jaringan
teror internasional di sini.
Apa yang terjadi di Indonesia, disadari atau tidak, berkaitan dengan
perkembangan politik luar negeri, khususnya yang dikembang-kan
pemerintah AS
terhadap Islam selama ini. Secara umum, politik luar negeri AS,
ter-utama
terhadap negara-negara Islam, masih diwarnai berbagai macam
prasangka.
Prasangka dengan berbagai implikasinya itu bisa dilihat bagaimana
garis
Washington menghadapi tokoh dan berbagai peristiwa politik di
sejumlah
negeri Islam, baik di Timur Tengah, Eropa Timur, maupun di Asia.
Di mata Washington, pemimpin partai Buruh Kurdi, Abdullah Ocalan,
misalnya,
tidak dilihat sebagai pejuang nasionalisme Kurdi, meski mereka
terdesak
secara ekonomi maupun politik. Padahal, suku ini memiliki populasi
demografis lebih 26 juta, dengan menguasai wilayah geografis tak
kurang
43
persen di Turki, 31 persen di Iran, 18 persen di Iraq. Belum
termasuk
di
Suriah maupun di bekas Uni Soviet meskipun di dua negara tersebut
terakhir
lebih kecil. Usaha pejuang Kurdi untuk mencoba membangun negeri yang
diyakini akan lebih bisa memajukan kesejahteraan mereka tidak membuat
Washington tertarik membantu membebaskan dari tekanan rezim yang
menindas
suku ini, atau ikut membantu memperjuangkan melalui meja diplomasi
internasional.
Bandingkan terhadap apa yang dilakukan Washington terhadap para
pejuang
Timor Timur di luar negeri. Sekurang-kurangnya dua tokoh pejuang
Timor
Timor
di luar negeri mendapat hadiah nobel perdamaian. Mereka dinilai
berjasa
sebagai pejuang bagi kemerdekaan penduduk Timor Timur dari intervensi
pemerintah Indonesia. Padahal, secara demografis penduduk Timor
Timur
jauh
lebih kecil dibanding jumlah suku Kurdi. Namun, Washington secara
bersungguh-sungguh membela pejuang nasionalisme Timor Timur untuk
memiliki
tanah air sendiri dengan berbagai cara, termasuk setiap tahun
membawa
kasus
ini menjadi agenda pembahasan PBB.
Tentu saja sikap Washington menjadi lain dalam melihat pejuang
nasionalisme
muslim Sunni dari suku Kurdi. Bahkan, Washington tidak bereaksi apa-
apa
terhadap penangkapan Ocalan pada 15 Februari 1999 oleh agen rahasia
Turki
bekerja sama dengan agen-agen rahasia Israel, Mossad, di luar
Kedutaan
Yunani, di Nairobi, Kenya.
Prasangka AS terhadap Islam agaknya memang begitu buruk, meski
Clinton
pernah mencoba mencairkan hubungan AS dengan Islam. Clinton dekati
Islam dan
masuk Istiqlal ketika ke Jakarta. Langkah Clinton ini, menurut
Gerges,
lebih
disebabkan minat Clinton lebih ke persoalan domestik daripada
persoalan
politik luar negeri. Namun, sesungguhnya, Clinton pun tidak bisa
keluar
dari
prasangka terhadap politik Islam, sebagaimana tekanan-tekanan yang
dia
berikan terhadap pemerintah Iran, juga Turki agar tidak memberi ruang
terhadap munculnya gerakan Islamisme.
Sekarang AS berhasil mengarahkan opini dunia bahwa di muka bumi ini
sedang
ada ancaman serius, terorisme. Kendati AS masih "malu-malu" menyebut
Islam
sebagai teroris, Presiden Bush Jr. sempat menuduh Islam di balik
peledakan
WTC dan Pentagon, meski kemudian buru-buru diralat setelah melihat
reaksi
umat Islam. Sebagai gantinya Bush Jr. lalu mengarahkan jari
telunjuknya
kepada Osamah Bin Laden dengan jaringan Al Qaidahnya. Jari telunjuk
itu
masih terus dia gerakkan dan kemudian mengarah ke Indonesia. Merasa
ditunjuk
hidungnya, penguasa di Jakarta menjadi gagap. Ada yang kemudian
mencoba
menunjukkan pembenar bahwa di negeri ini memang ada jaringan
terorisme
internasional, dengan memaparkan penangkap-an anggota teroris. Konon
dilengkapi pula dengan rekaman video.
Kalau pemaparan kasus penangkapan teroris itu benar, masyarakat bisa
jadi
menilai bahwa aparat kita sudah lebih cerdas, menangkap teroris pun
lengkap
dengan rekaman video. Namun, masyarakat tetap bertanya, kalau memang
sudah
cerdas, mengapa sampai hari ini belum juga bisa dilakukan rekaman
video
terhadap penangkapan pelaku capital flight, pembobol BLBI, atau
kasus-kasus
korupsi. Padahal, kasusnya sudah lama muncul ke permukaan, jauh
sebelum
kasus terorisme berkembang. Kalau menyangkut teroris, mereka
bergerak
cepat
dan cerdas, mengapa menjadi hilang akal ketika harus menangani
pembobolan
BLBI dan korupsi?
*. Zainuddin Maliki, kandidat doktor ilmu politik pada Pascasarjana
Unair.