[Nusantara] Piliang : Bangsa Setengah Pahlawan

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:03 2002


Bangsa Setengah Pahlawan
(Indra J. Piliang)

Presiden Megawati mencontohkan ketidak-konsekuenan bangsa Indonesia 
dalam
soal pahlawan. Dikatakan, bangsa Indonesia terbiasa untuk tidak mau
mengatakan pahlawan itu besar artinya buat bangsa. "Pak Agum (Menteri
Perhubungan Agum Gumelar, Red) minta izin saya untuk menginstruksikan
bagaimana caranya membawa kembali jasad-jasad pahlawan kita yang 
berguguran
di Timor Timur. Kalau persoalan ini spontanitas, maka saya tidak 
segera
mengiyakan, karena saya melihat bahwa kita ini sebagai bangsa 
setengah,
sebab kita seringkali tidak konsekuen terhadap apa yang dilakukan," 
kata
Megawati (Kompas, 14/09/2002). Komentar Presiden itu menjadi satu 
dari
sejumlah kontraversi yang diciptakan selama pemerintahannya, 
termasuk 
soal
"pemerintahan keranjang sampah".

Sesuai dengan tugas konstitusionalnya, Presiden memberi gelar, tanda 
jasa,
dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (pasal 15 UUD 
2002).
Dari sisi kelembagaan, urusan itu tergantung kepada pertimbangan 
Presiden
dan DPR yang berhak membentuk UU. Artinya, bangsa Indonesia secara
keseluruhan tinggal menerima saja apakah gelar, tanda jasa, dan 
lain-lain
tanda kehormatan - termasuk kepahlawanan - itu diberikan kepada
pahlawan-pahlawan di Timor Lorosae, Aceh, Papua, atau dimanapun 
gugurnya.
Bangsa Indonesia sepenuhnya hanya bisa menyalurkan aspirasi lewat
pemerintahan daerah dan nasional, serta lembaga perwakilan, agar 
seorang
atau beberapa orang pahlawan diberikan tanda kehormatan itu. Selama 
ini,
pemberian gelar kepahlawanan itu terlalu diwarnai oleh "ingatan masa
kanak-kanak" sang presiden, setiap tanggal 17 Agustus.

Sebetulnya kepahlawanan dalam era moderen tidak lagi diukur dari 
seberapa
banyak serdadu gugur di medan perang. Toh, gugurnya serdadu Republik
Indonesia di Timor Lorosae pada akhirnya dilihat secara terbalik 
oleh 
warga
negara Timor Lorosae. Dalam pidato di hadapan anggota East Timor 
Action
Network (ETAN) Amerika bulan Juli 1998, Jose Ramos Horta 
menyebut: "But 
your
country has played a leading role in the destruction of my people - 
three of
my brothers and one sister were killed by American weapons. 
Fortunately,
there are many Americans like yourself and the other activists with 
the 
East
Timor Action Network who are working to right this wrong. Through 
ETAN's
work, more and more Americans are learning the ugly truth of East 
Timor's
ruthless colonization. With the increasing freedom of discussion in 
the 
new
Indonesia, Indonesians too are learning with horror and disbelief 
what 
their
country has done to its neighbor."

Perubahan sudut pandang adalah bagian tak terpisahkan dalam menilai 
dimensi
kepahlawanan. Pemberontak Untung Suropati bagi Belanda, adalah 
pahlawan 
bagi
tanah Jawa. Dilema batin sosok kepahlawanan itu diceritakan dengan 
baik 
oleh
Abdoel Moeis dalam novel "Robert Anak Suropati". Robert beribu 
seorang 
gadis
Belanda, berayah Suropati. Robert akhirnya terbunuh dalam peperangan 
melawan
pasukan ayahnya di pihak serdadu Belanda, demi membuktikan janjinya 
kepada
gadis Belanda yang dicintainya. Tragedi, menjadi unsur ikutan 
kepahlawanan.
Dalam novel Sang Penari karya Dukut Imam Widodo, dikisahkan sang 
infiltrator
nomor satu, spion, juga mata-mata, yang terkenal dengan nama 
Matahari.
Berbeda dengan cerita yang sudah diketahui umum, Matahari menjadi 
perempuan
yang berpihak kepada "patriot" pemberontak Belanda di Indonesia, yang
menciptakan tari-tarian erotisnya dari akar-akar tarian Jawa.

Dari sini, tentu terdapat perbedaan antara pahlawan objektif dan 
pahlawan
subjektif, apalagi setelah "tanda kepahlawanan" itu disematkan oleh 
lembaga
politik seperti parlemen. Kontraversi kepahlawanan Aru Palaka, Tan 
Malaka,
bahkan sampai Soekarno, telah menjadi riasan dalam sejarah resmi 
Indonesia,
yaitu sejarah dalam bentuk print out, penerbitan, lalu masuk kedalam
buku-buku sejarah resmi. Dalam kepahlawanan jenis ini, tidak bisa 
dihindari
unsur anakronisme, mengherokan diri pada masa lalu. Sejarah sebagai 
berita
pikiran, mengalami mobilisasi pengaruh ketika masuk kedalam teks dan 
mata
ajaran/anjuran resmi. Yang paling menonjol adalah seputar pendudukan
Yogyakarta, Surat Perintah 11 Maret, sampai penghilangan foto Bung 
Hatta
yang berdiri bersama Soekarno ketika Proklamasi dalam buku-buku 
sejarah,
ataupun upaya penghilangan jasa Bung Karno sebagai penggali 
Pancasila.

***

Dalam bagian lain pidatonya, Presiden Megawati mengajak masyarakat 
untuk
bangga menjadi bangsa Indonesia. "Salah atau bener, itu adalah 
negara 
saya.
Jangan itu dijembreng-jembrengin. Sepertinya sekarang, itu demikian,"
katanya. Megawati mempersilahkan, orang yang tak suka menjadi warga
Indonesia meninggalkan Tanah Air secara baik-baik. "Jangan, mencari 
makan,
tidur, dan bertempat tinggal di Indonesia. Tetapi, Indonesia
dijelek-jelekan.  Ini no," tegas Megawati.

Dari sini, kita menangkap keresahan Presiden terhadap berbagai 
kekisruhan
yang melanda Indonesia, terutama di kalangan pers, kaum intelektual, 
sampai
kelompok Non Government Organization (NGO). Keresahan itu sah-sah 
saja,
tetapi mensimplikasikannya menjadi sikap menjelek-jelekan Indonesia 
tentu
tidak begitu tepat. Eep Saefullah Fatah, telah lama menerbitkan buku 
"Bangsa
Yang Menyebalkan!" Begitu juga puisi Taufik Ismail, "Malu Aku Jadi 
Bangsa
Indonesia". Tetapi, buku dan puisi itu tak mencerminkan sikap 
kebencian,
melainkan lebih pada upaya perbaikan, bahkan harapan dan do'a.
Frase Right or wrong is my country telah lama hilang dari perdebatan
kalangan nasionalis Indonesia. Buku si Tolol sudah lama dikalahkan 
Doraemon
dan sejenisnya. Privatisasi juga menjadi program resmi pemerintah, 
tak
peduli private itu adalah investor asing atau dalam negeri, asal 
bukan
dana-dana korup yang diselewengkan. Orang-orang yang menulis buku, 
atau
mengungkapkan kejelekan bangsa Indonesia, sehingga membuat Indonesia 
menjadi
bangsa setengah, sebetulnya tak begitu berbahaya hingga pantas lari 
keluar
negeri. Justru yang harus diusir adalah para koruptor, pemakan uang 
rakyat,
pencoleng, pembunuh, atau kekayaannya yang mencapai setengah 
kekayaan 
negara
Indonesia.

Barbarisme di Indonesia, yang juga disebut Presiden Megawati, lebih
merupakan refleksi dari badai perubahan. Kekerasan negara 
bermetamorfosis
menjadi kekerasan komunal, tetapi dalam radius yang sebetulnya tak 
mencakup
5 % wilayah republik, juga tidak sampai melibatkan 1 % jumlah 
penduduk 
dalam
peta geografi dan demografi Indonesia. Jauhnya letak berbagai tempat
kerusuhan dan barbarisme itu, disatukan oleh media global, sehingga 
seakan
dunia turut merasakannya. Sama halnya dengan tragedi menit per menit 
di
Amerika, tanggal 11 September 2001, yang memelototkan milyaran mata.

Tetapi apa yang dilakukan bangsa Amerika? Kutipan Dr. Martin Luther 
King,
Jr. banyak muncul dalam situs-situs berita Amerika, pasca tragedi 
itu.
"Never forget that everything Hitler did in Germany was legal. 
Cowardice
asks the question - is it safe? Expediency asks the question - is it
politic? Vanity asks the question - is it popular? But conscience 
asks 
the
question - is it right? And there comes a time when one must take a 
position
that is neither safe, nor politic, nor popular; but one must take it 
because
it is right."

Dalam banyak hal, bangsa Amerika berhasil membangun kembali 
kepercayaan 
diri
pasca tragedi itu, dengan semangat yang mendekati revolusi 
kemerdekaannya,
dengan memilih bersikap, bukan ragu-ragu hingga jalan ditempat. 
Tentu, 
hal
itu dilakukan ditengah kontraversi serangan terhadap Afghanistan.

***

Indonesia tentu butuh pahlawan-pahlawan baru, pemodal baru, aktivis 
baru,
bahkan lapisan baru kepemimpinan politik dan pemerintahan. Agar 
Indonesia
tak menjadi bangsa setengah, perlu segera ditarik garis lurus dari 
para
pemimpin yang juga bersikap setengah-setengah. Indonesia membutuhkan
pemimpin-pemimpin yang puritan dalam nilai-nilai, tidak setengah 
koruptor,
setengah pemimpin; setengah negarawan, setengah bangsawan; setengah
intelektual, setengah politikus.

Kepahlawanan juga tak sepenuhnya dilekatkan kepada serdadu. 
Kepahlawanan itu
juga bisa lahir dari para pekerja yang kini bertumpuk di Nunukan, 
sementara
negara tenguk-tenguk. Pahlawan juga ada di barisan raja-ratu 
bulutangkis.
Nefertiti-nefertiti (permaisuri King Amenhotep IV dalam Dinasti ke-
18 
Mesir
Kuno) Indonesia juga ditemukan dalam film dan karya sastra baru, 
dalam
perang global di dunia kesenian dan kebudayaan.

Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana persoalan yang juga disebut
Presiden Megawati sebagai persoalan-persoalan kecil yang 
dibesar-besarkan
agar tak meluas kemana-mana. Dari sini, kita membutuhkan faktor
kepemimpinan, juga kondisi yang kondusif untuk berbeda pendapat 
dengan
tujuan menemukan sinergi dan konvergensi pemikiran, bukan berbeda 
untuk
perbedaan itu sendiri. Dalam era Presiden Megawati, sebetulnya 
kondisi 
itu
sudah kondusif, tinggal tingkat kostruksinya diperbaiki. Politik 
relatif
stabil. Cuma saja, dalam skala luas, persoalan-persoalan personal 
kalangan
elite selalu memunculkan ketidak-stabilan baru, ditengah formasi dan
reformasi pusat-pusat politik baru.

Pada prinsipnya, apapun yang terjadi, sebetulnya semuanya mengarah 
pada
proses yang dulu getol diulang dalam berbagai penataran: menuju 
bangsa 
dan
manusia Indonesia seutuhnya. Ia butuh perjuangan, kerja keras, dan 
juga
berpikir keras. Bahkan, kalau perlu, mengejek dan menjelek-jelekan 
diri
sendiri, sebagai bekal intropeksi.  Jakarta @ September 2002.

Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial CSIS, 
Jakarta.