[Nusantara] Kompas : Soal Beking-bekingan, Perlu Juga Dilihat Latar Belakangnya
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:25:18 2002
Soal Beking-bekingan, Perlu Juga Dilihat Latar Belakangnya
TEPATLAH apa yang disampaikan Wakil Presiden Hamzah Haz bahwa kita
harus
menghapuskan beking-bekingan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan
urusan
kejahatan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian RI
(Polri)
tidak boleh menjadi beking pelaku kejahatan.
Hal itu bukan hanya dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali
bentrokan
antara tentara dan polisi seperti di Binjai, Langkat, Sumatera
Utara.
Lebih
dari itu, kita membutuhkan aparat keamanan yang mampu melawan tindak
kejahatan.
Bagaimana kita akan melawan pelaku kejahatan, membasmi kejahatan,
apabila
para pelaku itu berkomplot dengan aparat keamanan. Kita tidak akan
pernah
menciptakan suasana aman, kalau tidak berani dan tidak mau
menghadapi
para
pelaku kejahatan, hanya karena mereka adalah teman-teman aparat
keamanan
yang harus dilindungi.
LARANGAN untuk beking-bekingan tentunya tidak hanya berlaku bagi
prajurit.
Hal itu harus berlaku untuk semua tingkatan, termasuk jenjang yang
paling
tinggi.
Hanya dengan cara itulah, keinginan kita untuk mempunyai aparat
keamanan
yang bersih bisa kita dapatkan. Hanya dengan cara itu maka
selanjutnya
bisa
bertindak tegas terhadap mereka yang melanggar larangan.
Kita tidak boleh setengah-setengah kalau mau menghapuskan
beking-bekingan.
Kita harus tegas dan sama sekali tidak mengenal kompromi.
BEKING-bekingan yang dilakukan aparat keamanan bukan baru kemarin
terjadi.
Ini sudah lama berlangsung dan sejak lama kita memprihatinkan hal
itu.
Ada dua penyebab timbulnya beking-bekingan. Pertama adalah karena
adanya
contoh dari pejabat yang lebih tinggi. Kita sering mendengar bahwa
yang
namanya kolonel ke atas pasti memiliki kroni. Mereka saling
memanfaatkan,
khususnya dalam urusan materi.
Kita memang sering seakan mendapat pembenaran dari desas-desus itu.
Kita
melihat perwira-perwira tinggi yang begitu pensiun segera menjadi
direktur
atau komisaris dari perusahaan tertentu.
Contoh-contoh seperti itu sangat wajar menular kepada mereka yang
ada
di
tingkat lebih rendah. Itu dilakukan sesuai dengan jabatan yang
disandangnya.
Bagi para prajurit, yang bisa mereka lakukan adalah menjadi penjaga
toko
atau penjaga gudang.
HAL kedua yang menjadi penyebab timbulnya beking-bekingan adalah soal
kesejahteraan. Terutama untuk para prajurit yang paling bawah,
terlalu
lama
kita tidak memperhatikan mereka.
Sejauh yang kita ingat, ketika zaman Panglima ABRI Jenderal M Jusuf
kehidupan prajurit sangat diperhatikan. Hampir setiap hari Panglima
ABRI
ketika itu berkeliling ke seluruh daerah, bertemu langsung dengan
prajurit
dan juga keluarganya. Namun setelah itu, hanya sesekali para
prajurit
itu
ditengok para pimpinannya.
Padahal, keadaan sekarang berbeda dengan kondisi di masa lalu. Di
samping
tekanan kehidupan yang semakin membebani, tugas yang harus dipikul
oleh
prajurit semakin berat.
DALAM kaitan keinginan kita menghapus beking-bekingan, pada
tempatnyalah
apabila kita mau memperhatikan kehidupan para prajurit. Bagaimana
pun
mereka
adalah saudara-saudara kita, bangsa Indonesia. Mereka mempunyai
tanggung
jawab, bukan hanya kepada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada
keluarga
mereka.
Pilihan untuk menjadi prajurit adalah sebuah panggilan. Mereka yang
memilih
untuk menjadi prajurit berarti siap untuk menyerahkan jiwa raganya
bagi
Ibu
Pertiwi.
Karena taruhannya jiwa dan raga, maka pada tempatnyalah kepada para
prajurit
itu kita berikan kehormatan. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah
sebuah
pekerjaan yang pantas untuk mendapatkan pengakuan. Bukan sebuah
kesia-siaan.
OLEH karena prajurit adalah manusia juga, seharusnyalah negara
memberikan
kehidupan yang layak kepada mereka. Sama halnya dengan tuntutan kita
untuk
memberikan kehidupan yang layak bagi para buruh, petani, nelayan,
guru,
dan
para pegawai negeri sipil.
Kita tidak bisa menyangkal, para prajurit pun tentunya memiliki
keinginan.
Apalagi di tengah kehidupan yang serba materialistis seperti
sekarang
ini.
Siapa yang tidak tergoda kalau lingkungan sekeliling mereka hidup
bergelimang harta, sementara mereka yang sewaktu-waktu harus
berangkat
ke
medan perang, harus hidup di tengah kenestapaan.
Sepanjang yang kita ketahui, banyak di antara para prajurit memilih
untuk
menjadi penjaga toko ataupun gudang, karena mereka membutuhkan dana
tambahan
untuk menopang kehidupan keluarga. Para prajurit itu rela
mengorbankan
waktu
istirahat mereka, hanya untuk membuat keluarga mereka bisa bertahan
hidup.
Bukan untuk hidup bergelimang kemewahan.
MENJELANG Peringatan ke-57 Hari TNI tanggal 5 Oktober, pada
tempatnyalah
kita bertanya, akan dibawa ke manakah TNI kita ini? Tanggung jawab
pertama-tama tentunya berada di pundak para pemimpin TNI sekarang
ini
untuk
membangun TNI sebagai sebuah institusi yang pantas kita hormati dan
kita
banggakan.
Insiden yang terjadi di Binjai dan menewaskan sembilan orang pantas
dijadikan momentum untuk membangun kembali TNI sesuai dengan jati
dirinya
sebagai tentara nasional dan tentara yang dekat dengan rakyatnya.
Bukan
tentara yang lepas komando, apalagi terlibat dalam beking-bekingan.
Kita percaya bahwa TNI akan mampu mengembalikan institusi seperti
yang
dicita-citakan dulu. Pembenahan dari dalam merupakan kunci utama
keberhasilan untuk membangun kembali institusi TNI. Kita yang di luar
dituntut memberi dukungan yang positif, seraya bersama-sama mencegah
anggota
TNI untuk tidak terjebak lagi dalam perilaku lama, termasuk
beking-bekingan.
Aturan Keimigrasian AS Dinilai Diskriminatif dan Berlebihan
PERATURAN keimigrasian baru Amerika Serikat (AS) telah mengundang
kontroversi karena terkesan diskriminatif. Bahkan, Perdana Menteri
(PM)
Malaysia Mahathir Mohamad mengecam peraturan itu sebagai histeria
anti-Muslim.
Mulai hari Selasa 1 Oktober, para petugas imigrasi di AS mencatat
identitas
diri-termasuk sidik jari-dan memotret siapa saja yang dinilai
memiliki
ciri-ciri teroris, yang baru datang dari negara-negara tertentu,
termasuk
dari Malaysia.
Kaum pria menjadi sasaran utama untuk dijaring dalam pemeriksaan
khusus
itu.
Peraturan keimigrasian AS itu dinilai sudah berlebihan, overacting,
sewenang-wenang, arogan, dan sangat diskriminatif.
HEBOH tentang peraturan keimigrasian AS itu bertambah besar di
Malaysia
karena sehari sebelumnya terungkap, Wakil Perdana Menteri (PM)
Malaysia
Abdullah Ahmad Badawi harus melepaskan sepatunya dalam pemeriksaan
keamanan
setibanya di Los Angeles bulan lalu, dalam perjalanan ke New York
untuk
berpidato di Majelis Umum PBB.
Perlakuan petugas AS telah merendahkan martabat Badawi, yang membuat
bangsa
Malaysia sangat tersinggung. Bukankah Badawi pejabat penting yang
secara
protokoler dan tata krama diplomatik internasional memiliki
privilege?
Ketersinggungan bertambah, karena AS memasukkan Malaysia dalam
daftar
15
negara yang dianggap berisiko dalam soal terorisme. Kualifikasi dan
kategorisasinya tidaklah jelas, namun tampak mengandung prasangka
politik
dan ideologis.
Itulah sebabnya Mahathir dalam mengekspresikan kemarahannya
menegaskan,
"Ini
sudah merupakan histeria anti-Muslim yang bersifat umum. Hanya karena
tindakan segelintir orang, kini seolah-olah seluruh kaum Muslim
dicap
sama,
yang membuat mereka harus diperiksa untuk membuktikan mereka bukan
teroris."
LEBIH jauh Mahathir menegaskan, "Tentu saja saya bingung. Saya bukan
pencuri. Saya bukan teroris." Pernyataan kekecewaan juga disampaikan
Menteri
Luar Negeri (Menlu) Malaysia Syed Hamid Albar, yang menganggap
peraturan
keimigrasian AS sangat diskriminatif.
Aturan keimigrasian baru AS diperkirakan akan membawa implikasi
luas.
Rasa
ketersinggungan, kecewa, dan kemarahan akan muncul di 15 negara yang
dituduh
AS berisiko terorisme. Sikap antipati terhadap AS akan meningkat.
Padahal, Malaysia termasuk negara yang paling cepat menyampaikan
simpati
kepada AS atas tragedi serangan terorisme 11 September 2001.
Pemerintahan Mahathir pun menyatakan dukungan kuat terhadap koalisi
global
melawan terorisme.
Secara konkret, Pemerintah Malaysia menangkap puluhan anggota
kelompok
militan dan dimasukkan ke dalam tahanan tanpa proses pengadilan,
berdasarkan
Peraturan Keamanan Dalam Negeri (ISA). Langkah tegas Mahathir
disambut
gembira oleh AS, sampai-sampai pemimpin Malaysia itu diundang ke
Gedung
Putih.
Mahathir pun dianggap kawan. Sebelumnya, Mahathir kurang disukai
karena
termasuk pemimpin Dunia Ketiga yang vokal mengecam hegemoni dan
dominasi AS
dan negara Barat lainnya. Tokoh berusia 76 tahun itu sempat dikecam
melanggar hak asasi dalam proses penangkapan dan penahanan mantan
Wakil
PM
Malaysia Anwar Ibrahim.
PERUBAHAN konfigurasi hubungan itu juga dialami Pakistan. AS semula
mengecam
Presiden Jenderal Pervez Musharraf karena mengambil alih kekuasaan
melalui
kudeta militer. Namun, Musharraf langsung dianggap kawan karena
mendukung
kampanye AS dalam melawan terorisme internasional.
Arah kampanye melawan terorisme semakin menjadi tidak jelas oleh
peraturan
keimigrasian baru AS. Malaysia, Pakistan, dan ke-13 negara lain yang
semula
memperlihatkan dukungan terhadap gerakan melawan terorisme, kini
mulai
kecewa dan marah terhadap AS.
Sungguh menyakitkan tuduhan dan perlakuan diskriminatif AS. Namun,
secara
tidak langsung AS telah mencari musuh dengan peraturan
keimigrasiannya.
Implikasi negatifnya dipastikan akan mempengaruhi koalisi global
melawan
terorisme.
Pertanyaan tentang arah kampanye global melawan terorisme mulai
mencuat
sejak timbulnya krisis Irak. Upaya melawan terorisme mulai
kehilangan
fokus
ketika Presiden AS George W Bush mengancam akan menggempur Irak atas
tuduhan
membangun program persenjataan pemusnah massal yang mengancam
kepentingan AS
dan dunia.
KONTROVERSI atas rencana serangan AS terhadap Irak hanya membuyarkan
konsentrasi terhadap upaya bersama melawan terorisme. Apalagi mulai
beredar
isu, motif utama gempuran terhadap Irak tidak terkait dengan masalah
terorisme, tetapi lebih untuk kepentingan bisnis minyak.
Pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein harus dijatuhkan agar
muncul
pemimpin baru, yang dapat bekerja sama dan memberi peluang besar
kepada
AS
dalam eksplorasi minyak sebagai bisnis yang menggiurkan.
Terlepas dari soal salah atau benar, isu minyak telah memberi
persepsi
negatif terhadap rencana Presiden Bush menggempur Irak. Dalam
kenyataannya,
suara menentang serangan AS terus bergema luas, dari daratan Eropa
sampai
Asia, bahkan di dalam negeri AS sendiri.
TIBA-TIBA peraturan keimigrasian baru diberlakukan AS. Peraturan itu
hanya
akan menambah sikap antipati terhadap AS, terutama di 15 negara yang
dituduhnya berisiko teroris.
Implikasi peraturan keimigrasian itu sangat luas dan sensitif karena
bersifat diskriminatif, dan dicurigai mengandung prasangka ideologis.
Ketegangan baru pun muncul.