[Nusantara] Toeti Adhitama : Beban dan Kebanggaan Menyandang Atribut
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 15 10:12:03 2002
Beban dan Kebanggaan Menyandang Atribut
Oleh Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia
'MALU aku menjadi....' Ungkapan itu sekarang bisa diucapkan oleh orang
beratribut tentara, polisi, anggota DPR, pengusaha, pengacara, orang
Indonesia, dan lain-lainnya. Lebih-lebih bila hujatan-hujatan makin
ramai
karena ulah dan tindakan sebagian warga atau anggota yang
memencundangi
korpsnya, maka orang-orang yang tergolong bersih, beretika, dan
memiliki
disiplin pada akhirnya tidak akan ragu mengucapkannya.
Ungkapan 'Malu aku menjadi orang Indonesia' yang dulu dipopulerkan
oleh
penyair Taufik Ismail, bisa berlaku sampai sekarang, atau 'lebih-
lebih'
sekarang, karena reformasi yang juga menggulirkan transparansi
terbukti
mampu membuka dan meledakkan lebih banyak kenyataan yang memalukan.
Dalam
hal DPR, misalnya, kelompok yang bersih dan berdisiplin tentunya
merasa
risih dengan isu suap yang sudah ada sejak lama, ruang-ruang sidang
yang
nyaris kosong ketika diadakan pembahasan-pembahasan penting, atau
ucapan-ucapan dan perilaku yang tidak pas dan tidak cerdas oleh
sejumlah
anggota Dewan yang terhormat. Anggota tentara tentunya merasa rikuh
dengan
kericuhan di Binjai baru-baru ini. Belum lagi kasus-kasus yang secara
sporadis melibatkan anggota-anggotanya dalam tindak-tindak pidana.
Melihat
polisi, kita akan ingat uang tilang yang tidak pernah masuk ke kas
negara.
Idem dito pengacara, dalam hal: sekalipun sekarang mendapat peluang
besar
untuk menunjukkan kemampuan dan keampuhan, tidak jarang mereka
berperilaku
yang membuat orang ragu mengenai etika mereka. Begitu pula kalangan
pengusaha. Tentu tidak semua. Namun malangnya, masyarakat cenderung
lebih
mudah mengingat yang negatif. Yang positif diabaikan.
Maka memiliki atribut --apakah sebagai pengacara, pengusaha, wartawan,
tentara, atau lainnya-- berarti memiliki beban. Artinya, setiap
anggota
kelompok ikut bertanggung jawab atas citra korpsnya. Bukan malahan
sebaliknya, ikut melarutkan diri dalam kebejatan. Tindakan tegas
jajaran
pimpinan militer dalam kasus Binjai bisa menjadi referensi untuk
kelompok-kelompok lain. Misalnya, masyarakat tentunya juga ingin
melihat DPR
bersikap tegas dalam berbenah diri, demi kepentingan lembaga dan
individu
para anggotanya, maupun demi kepentingan rakyat yang diwakilinya,
misalnya
dalam kasus suap. Selain itu, masyarakat juga ingin melihat para
pengacara
lebih gigih membela kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran demi
keuntungan
semata. Ini penting karena hukumlah yang sebenarnya harus dijadikan
panglima, bukan jabatan dan bukan pula dana. Tanpa introspeksi dan
koreksi,
akan banyak atribut yang terasa secara negatif membebani. Sebagai
contoh,
baru-baru ini seorang pengusaha yang menyambi menjadi dosen
mengatakan,
kalau ditanya orang, dia merasa lebih aman menyebut dirinya dosen
daripada
pengusaha. Atribut pengusaha dirasa membebani. Atribut dosen
sebaliknya
adalah kebanggaan. Senapas dengan itu, gelar akademis umumnya masih
tergolong atribut membanggakan walaupun, lacurnya, itu pun tidak
terbebas
dari korupsi. Banyak orang dengan mudah memperoleh gelar akademis --
S1,
S2,
S3-- tanpa peduli mengikuti proses belajar yang seharusnya. Julukan
bahwa
kita salah satu masyarakat paling korup di dunia terbukti pula dalam
hal
ini. Nilai gelar menjadi hambar.
Tetapi, rasanya bukan karena itu kalau Ishadi SK, yang akhir bulan
lalu
meraih gelar doktor dengan cum laude dari FISIP UI, menyatakan tidak
akan
menyandang gelarnya untuk sehari-hari. Di depan mahasiswa-mahasiswa
pascasarjana Komunikasi UI baru-baru ini, dia menyatakan ada
orang-orang
yang tanpa embel-embel gelar doktor pun namanya sudah mumpuni karena
pengetahuan dan pengembaraan pengalaman mereka yang luar biasa, yang
membuat
mereka sebenarnya lebih berhak menyandang gelar doktor daripada dia.
Dia
menyebut antara lain nama Rosihan Anwar dan sejumlah wartawan senior.
Namun, yang umum terjadi adalah sebaliknya. Gelar atau atribut
dikejar
untuk
dipamerkan karena ada rasa belum puas kalau tidak mencantumkannya di
seputar
nama; apakah itu atribut kebangsawanan, gelar akademis, atau bahkan
sebutan
haji. Gelar atau atribut bisa menjadi identitas yang mantap. Tentu
tidak
salah. Tiap manusia memunyai kebutuhan psikologis yang tidak bisa
diduga
oleh orang lain. Semua itu tergantung pada bagaimana perangkat nilai
masyarakat lingkungannya. Untuk masyarakat kita, gelar atau atribut
sering
dinilai lebih besar daripada individu manusianya. Tingginya penilaian
terhadap atribut sering kali membuat orang lupa tentang kaliber
penyandangnya. Yang lupa bukan hanya orang lain, tetapi juga
penyandangnya
sendiri. Tidak heran kalau orang kemudian berlomba mengejar atribut
dan
berbangga memilikinya karena mengira bahwa atribut itulah tujuan
akhir
dari
seluruh usahanya. Bahkan, tidak jarang membuat penyandangnya memiliki
rasa
percaya diri yang berlebihan.
Pelajaran yang dapat kita sarikan, gelar atau atribut seyogianya
jangan
dianggap sebagai suatu kebanggaan semata. Ada beban yang menyertainya.
Jangan sampai sikap dan perilaku pribadi penyandangnya merusak korps
yang
beratribut sama, apakah dia anggota DPR, tentara, polisi, wartawan,
pengusaha, pengacara, doktor, atau orang Indonesia.***