[Nusantara] Muhtadin AR : Pemimpin dan Moralitas Bangsa

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 15 10:12:09 2002


Pemimpin dan Moralitas Bangsa
Oleh Muhtadin AR

utusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman tiga tahun bagi ketua DPR 
Akbar
Tandjung, mendorong banyak pihak untuk mendesaknya segera nonaktif 
dari
jabatannya. Desakan itu di satu sisi memang terkesan politis karena
berkaitan dengan posisi dan jabatannya sebagai ketua lembaga tinggi 
negara,
namun di sisi lain justru menemukan esensi persoalan yang sebenarnya, 
yakni
moral dan etika.
Pertanyaan-pertanyaan seputar pantaskah DPR "yang dianggap" sebagai
representasi dari suara rakyat dipimpin oleh seorang terpidana, atau
pantaskah seorang terpidana (mewakili lembaganya) menerima tamu 
negara, 
atau
bagaimana perasaan sang tamu apabila mengetahui yang menerimanya 
seorang
terpidana, merupakan bukti, betapa moral dan etika memang menjadi 
sandaran
atas tuntutan nonaktif tersebut. Untuk itulah tidak mengherankan jika
desakan nonaktif tidak hanya datang dari partai dan kelompok lain, 
tetapi
juga dari partainya sendiri.
Sementara desakan nonaktif itu semakin kencang, Akbar dengan segala
kekuatannya, juga melakukan langkah politik yang tidak bisa dianggap 
sepele.
Melalui otoritasnya sebagai Ketua DPR misalnya, ia berani menentang 
-saat
memimpin sidang paripurna 17 September lalu- untuk membacakan usulan 
anggota
dewan berkenaan dengannya. Baginya, penonaktifan sama dengan bunuh 
diri,
karena itu berarti karier politiknya akan segera berakhir.
Fragmentasi politik yang demikian rumit itu, sejatinya menuntut kita 
untuk
menyikapinya dengan lebih teliti lagi. Kita dalam posisi ini tidak 
hanya
dituntut melihat bagaimana pemimpin di negeri ini memainkan dan 
memaknai
politik, tetapi juga legitimasi yang mereka butuhkan dalam 
kepemimpinan 
itu.
Ini penting untuk menghindari jebakan yang dapat menyeret kita pada
persoalan dukung-mendukung, dan salah-menyalahkan.
Kekuasaan
Sampai sekarang, para pemimpin kita masih memaknai dan menyikapi 
politik
secara teknis dan kering. Politik masih ditempatkan sebagai jalan 
meraih
kemenangan. Dan, selanjutnya, kemenangan menjadi sarana menuju 
kekuasaan.
Tujuan akhir politik menjadi demikian instrumental, ia hanya untuk 
meraih
kekuasan, lain tidak.
Pemaknaan politik yang demikian dangkal itu, pada akhirnya membuat 
kekuasan
manjadi hal yang harus diperebutkan. Karena dalam kamusnya, barang 
siapa
berkuasa, ialah paling berhak memainkan politik untuk menentukan arah
kehidupan semua pihak. Menang dalam politik menjadi syarat meraih 
kekuasaan.
Dan, dalam permainan logika bahasa, kekuasaan lalu menjadi sarana 
untuk
menang. Orang yang memegang kekuasaan, karenanya, tidak boleh kalah.
Politik dalam hal ini belum beranjak dari posisi yang sebenarnya. 
Belum
mampu menjadi instrumen dari tujuan hidup berbangsa dan bernegara yang
sebenarnya, yakni sarana membangun moralitas, menegakkan demokrasi,
keadilan, dan kemanusiaan. Pendeknya, politik belum berorientasi pada
tujuan-tujuan strategis bagi hidup bangsa secara keseluruhan, ia masih
diorientasikan pada kekuasaan dan kemenangan.
Sementara politik masih dimaknai sedemikian dangkal, para pemimpin 
kita 
juga
belum beranjak dari paradigma lama mengenai legitimasi dalam 
kekuasaan.
Mereka lebih mementingkan legitimasi politik ketimbang moral (dalam 
kacamata
Suzanne Keller, 1984, legitimasi dibagi menjadi dua: politik dan 
moral).
Akibatnya, kekuasaan lebih mereka pertanggungjawabkan kepada 
komunitasnya
(DPR) saja, daripada kepada rakyat secara keseluruhan. Paradigma 
kekuasaan
seperti itu pada akhirnya membuat aspirasi masyarakat sering tidak 
terwakili
(untuk tidak mengatakan terlupakan), karena mereka sibuk mengurusi
kelompoknya sendiri.
Legitimasi moral mengarahkan kekuasaan lebih bertanggung jawab. Ia 
tidak
hanya bertanggung jawab kepada orang atau kelompok tertentu, tetapi 
kepada
rakyat dan bangsa secara keseluruhan. Sementara legitimasi politik 
hanya
berorientasi pada kelompok tertentu. Untuk itu, sudah saatnya apabila 
kita
mendesak para pemegang kekuasaan mengubah paradigma politiknya, 
paradigma
politik yang tidak hanya didasarkan pada legitimasi politik, tetapi 
juga
legitimasi moral. Suatu legitima- si yang dapat melepaskan kita dari
belenggu kesengsaraan.
Hal itu karena kebijakan yang hanya berorientasi pada kelompok, pada 
saatnya
nanti akan mengalami penyempitan arah -hanya menjadi kelompok "sini", 
dan
kelompok "sana" boleh dilupakan. Jika demikian yang terjadi, kita 
akan 
hidup
dalam sekat- sekat, hidup dalam selubung masing-masing, sambil te- rus
mengembangkan rasa curiga.
Para pemimpin kita harus disadarkan, kekuasaan yang didasarkan pada
legitimasi moral, sudah barang tentu akan mendapatkan legitimasi 
politik
pula. Artinya "sejelek" apa pun peran yang dimainkan penguasa, mereka 
akan
tetap memperoleh legitimasi secara politis. Tetapi jika hanya 
legitimasi
politik yang dikejar, belum tentu mereka mendapatkan legitimasi 
moral. 
Sikap
acuh tak acuh masyarakat terhadap kekuasaan misalnya, adalah bukti 
betapa
para pemimpin kita hanya mendapatkan legitimasi politik, bukan moral.
Warisan
Belum beranjaknya kita dari multikrisis yang terjadi sejak lima tahun 
lalu,
merupakan peringatan, kita harus mengubah diri. Kalau tidak, kita 
akan 
terus
sengsara dan bangsa ini akan segera hancur. Memang, dengan serta-
merta 
kita
dapat mengatakan krisis ini merupakan warisan
Orde Baru yang demikian bobrok, juga pemaknaan para pemimpin kita 
terhadap
politik yang demikian dangkal, serta tiadanya legitimasi yang 
didasarkan
pada moral, tetapi apakah kita akan berhenti sampai di sini? Apa yang 
bisa
kita perbuat menghadapi situasi jelek ini.
Itulah tantangan besar yang menghampar di depan mata. Kita harus 
segera
mengambil tindakan strategis demi terwujudnya kesejahteraan bagi 
seluruh
rakyat. Dan itu sebenarnya bisa dimulai dari penguasa kita. Pertama, 
karena
mereka merupakan tokoh. Mereka pada dasarnya orang yang selalu
diharap-harap, ditunggu-tunggu, dan dijagokan masyarakat. Mereka 
didambakan
masyarakat untuk bisa menjadi pendamping hidup. Untuk itu, mereka 
harus
tampil dengan bendera rakyat. Artinya, boleh saja memperjuangkan 
kepentingan
rakyat lewat politik, tetapi jika terpeleset dalam permainan 
politiknya, dan
masyarakat jadi terlupakan -meskipun tidak sengaja- mereka harus 
diteriaki.
Kedua, penguasa (melalui kekuasaannya) pada dasarnya merupakan lambang
kolektif tempat ikatan-ikatan terbentuk. Untuk itu, mereka diharapkan
mengetahui, menilai, dan memberi kesenangan. Tingkah laku mereka 
dihargai
dalam makna pengaruh kognitif, moral dan ekspresif.
Talcott Parsons dalam The Social System (1951) menyatakan, penguasa 
(elite
penentu) mempunyai peranan lambang kolektif yang bersifat moral. 
Untuk 
itu,
mereka perlu mengadakan standar baik dan buruk. Mereka mempunyai
peranan-peranan yang dinyatakan sebagai objek cinta dan kebencian, 
kekaguman
dan iri hati, persaingan dan kebencian. Solidaritas sosial tempat 
nasib
terakhir dari suatu masyarakat bergantung, menghendaki ikatan 
emosional
bersama, sebagaimana juga tujuan-tujuan dan nilai-nilai akhir yang 
dianut
bersama.
Ketiga, merujuk pada ungkapan Mosca (1939), apa yang penting untuk
pelestarian dan kesejahteraan masyarakat, tidaklah begitu bergantung 
pada
moralitas rakyat, tetapi moralitas kelas penguasa. Artinya, ketika 
moral
penguasa baik dan dapat dipertanggungjawabkan, masyarakat pun akan
menjadikannya sebagai teladan, begitu juga sebaliknya.
Ketiga hal itulah yang pada akhirnya tidak hanya akan membawa kita 
keluar
dari multikrisis berkepanjangan, tetapi juga akan memperbaiki citra 
bangsa
di mata dunia sebagai bangsa yang bermoral. Pendeknya, geliat untuk 
keluar
dari krisis, sangat bergantung pada lokomotif (pemimpin) yang 
membawanya.
Juga moralitas bangsa sangat dipengaruhi oleh moralitas para 
pemimpinnya.
Penulis adalah peneliti P3M dan mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta.