[Nusantara] Genderang Perang Melawan Terorisme

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 09:25:07 2002


Genderang Perang Melawan Terorisme
Oleh: Nugroho

KETIKA pihak asing menengarai adanya aktivitas terorisme di Tanah Air,
dengan serta merta para tokoh di negeri ini menampik! Mereka 
menyangkal
indikasi itu dan secara tegas bahkan berbalik menuduh bahwa isu teror
sengaja dihembuskan untuk membuat keresahan di kalangan masyarakat 
demi
kepentingan Amerika dan sekutunya.
Tapi tragedi kemanusiaan yang terjadi Sabtu malam di Bali, jelas 
membuktikan
bahwa teror itu nyata ada di sekeliling kita.
Sekarang, menyangkali kenyataan sama sekali tidak berguna bahkan
membahayakan keselamatan rakyat banyak. Akan sangat bijaksana jika 
semua
pihak bisa berpikir lebih jernih dalam menyikapi persoalan terorisme 
ini,
utamanya lebih mengedepankan problem solving ketimbang kemarahan dan
ketersinggungan yang kekanak-kanakan.
Dalam Oxford Dictionary terbaru ,teror diartikan sebagai extrem fear 
atau
ketakutan yang ekstrem. Terorisme diartikan sebagai usaha dengan 
kekerasan
untuk menyerang pihak lain demi tujuan-tujuan tertentu. Dalam konteks 
ini
serangan dan kekerasan serta pembunuhan tidak secara spesifik 
ditujukan 
pada
lawan politiknya melainkan pada khalayak umum yang sesungguhnya tidak 
punya
kaitan apa pun dengan berbagai pertikaian politik yang berlangsung 
(Ovid,
1995). Teror memang dimaksudkan untuk menebar ketakutan yang luas, 
guna
menunjukkan eksistensi dan posisi tawar yang lebih tinggi terhadap 
lawan
politiknya guna mencapai target-target politik yang diinginkan.
Peledakan serempak di tiga tempat yang berbeda, yakni Klub Sari di 
Legian,
Bali, Konsulat Amerika di Bali, dan Konsulat Filipina di Sulawesi 
Utara,
bagaimanapun memaksa pemerintah untuk serius mengungkap pelaku, 
motif, 
dan
lebih penting dari semua itu adalah menindak tegas untuk 
menghentikannya.
Jika dirunut dari sejak munculnya peringatan dini pihak asing, 
tragedi 
Bali
ini sekali lagi menunjukkan betapa lambatnya pemerintah kita dalam
mengantisipasi keadaan. Sungguh sayang jika pihak asing sudah lebih 
dulu
mendeteksi kondisi terorisme di negeri ini, tapi sebaliknya para 
petinggi
dengan pongahnya lebih suka menampik indikasi itu.
Satu hal yang patut disesalkan dari sikap para petinggi kita adalah
kebiasaan meremehkan data dan informasi dalam menganalisis situasi dan
membuat keputusan. Dalam teror bom ini hal tersebut tampak nyata, 
ketiadaan
data dan informasi intelijen seperti yang diakui Menko Polkam Susilo 
Bambang
Yudhoyono dalam konferensi pers di Bandung, Minggu, 13-10-2002. 
Celakanya
tanpa data dan informasi yang memadai masing-masing pejabat sibuk 
menyanggah
dan mengingkari sumber pemberitaan asing; bahkan ada pihak yang akan
menggugat balik. Begitulah salah satu efek pola pikir para elite 
politik
yang cenderung reaktif emosional ketimbang rasional kritis.
Mengapa Jadi Sarang Teror?
Gejala terorisme di negeri ini sesungguhnya sudah lama berlangsung. 
Hal 
ini
diindikasikan oleh seringnya frekuensi peledakan bom di berbagai 
daerah
dengan beragam motif, penembakan oleh warga sipil bersenjata. Semua 
itu
menebar rasa cemas dan ketakutan di mana-mana. Celakanya, 
pengungkapan 
atas
kasus-kasus itu tidak pernah tuntas dan memuaskan. Artinya, 
masyarakat 
tetap
cemas dan ketakutan, sementara itu pelakunya masih banyak yang bebas
berkeliaran yang sewaktu-waktu bisa menebar petaka kepada siapa pun, 
persis
seperti sleeping with enemy!
Teror tidak hadir di sembarang tempat. Maksudnya, teror hanya bisa 
tumbuh
subur dan berkembang pesat di tempat-tempat yang kacau, dan tidak 
tertib.
Saat negeri ini masuk ke masa transisi dari pemerintahan masa lalu ke 
masa
reformasi; kekacauan demi kekacauan itu memang merebak di mana-mana
pelakunya berbaur dengan masyarakat awam, dan tidak teridentifikasi. 
Mereka
leluasa melakukan aksi-aksi teror, menghilang tanpa bisa dijangkau 
aparat
penegak hukum yang tengah kedodoran dan lamban. Suasana yang chaos 
dan 
tidak
tertib hukum adalah suasana yang sangat cocok bagi persemainan teror.
Masa transisi yang semuanya serba belum mapan ini nampaknya benar-
benar
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki hidden agenda atas negeri 
ini
dan melihat jalan teror sebagai pilihan terbaik untuk mengegolkan 
target
politiknya. Hal ini hendaknya segera disadari oleh pemerintah agar 
sesegera
mungkin mengupayakan terciptanya tertib hukum.
Dari rezim otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis memang 
tidak
mudah, apalagi jika tidak disertai dengan keseriusan untuk mewujudkan
tatanan hukum yang mampu memberi jaminan kepastian hukum yang adil 
bagi
seluruh lapisan masyarakat. Sebab, tiadanya jaminan kepastian hukum 
ini
mendorong timbulnya social disorder, yakni suatu kehidupan sosial 
yang 
tanpa
aturan, cenderung anarkis. Kondisi yang semacam itu tentu sangat mudah
dijadikan sarang terorisme.
Di samping kondisi di atas, teror juga subur dalam suatu pemerintahan 
yang
tidak stabil-mantap. Jika kita cermati pemerintahan di era reformasi 
ini
memang sangat rapuh, tidak kukuh. Akibatnya kebenaran untuk 
menegakkan 
hukum
dan membangun keadilan yang berpihak kepada rakyat tidak optimal, 
bahkan
terkesan canggung. Berbagai kasus pelanggaran hukum yang menyangkut
tokoh-tokoh politik sering berhenti sebatas retorika penegakan hukum. 
Tidak
pernah selesai secara tuntas dalam arti menjunjung tinggi supremasi 
hukum
dan menegakkan keadilan yang berpihak kepada rakyat.
Sebaliknya yang terjadi hanyalah saling "sandera" dan bargaining 
politik
untuk mempertahankan posisi masing-masing elite politik dan partainya.
Kondisi semacam ini sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan, 
karena
mengabaikan kepentingan nasional bangsa dan negara ini. Sebaliknya, 
mereka
hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Jika 
para 
elite
politik tidak segera menyadari hal ini maka situas chaos akan terus 
terjadi
dan terorisme akan sangat beruntung bercokol di sini.
Dampak Internal-Eksternal
Peristiwa peledakan di tiga tempat ini membawa konsekuensi yang 
sangat 
berat
bagi citra Indonesia di hadapan warganya sendiri maupun di hadapan
masyarakat internasional. Di mata masyarakat munculnya teror dalam 
kehidupan
sehari-hari jelas menimbulkan sejumlah permasalahan tersendiri seperti
ketakutan, kecemasan yang berlebih, prasangka antarkelompok, dan
ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Siapapun tentu menginginkan 
adanya
suasana yang aman, tenteram dan damai. Dalam suasana yang aman dan 
tenteram
itulah masyarakat bisa melakukan aktivitasnya dengan baik sehingga
produktivitasnya tidak terganggu. Sebaliknya, jika pemerintah gagal
menciptakan rasa aman di masyarakat tentu saja mereka tidak tenang 
dalam
menjalankan segala aktivitasnya. Keadaan seperti ini tentu merugikan 
semua
pihak. Selanjutnya aksi teror yang terus berlanjut dalam berbagai 
skala
tanpa pernah bisa ditemukan pelaku dan sanksi pidananya akan 
menumbuhkan
kecurigaan antarkomponen masyarakat. Hal ini jelas merugikan 
persatuan 
dan
kesatuan bangsa. Seperti saat ini kecurigaan yang diarahkan terhadap 
suatu
kelompok masyarakat yang tanpa disertai usaha pembuktian justru 
menimbulkan
perlawanan balik yang ujung-ujungnya kembali lagi pada sikap saling 
curiga.
Yang paling riskan adalah jika suatu pemerintahan tidak sanggup 
mengatasi
persoalan terorisme yang melanda negerinya sehingga gagal menjamin 
rasa 
aman
warga negerinya, hal itu akan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat 
terhadap
pemerintah.
Dalam tata pergaulan masyarakat internasional maraknya teror di 
Indonesia
membawa dampak yang sangat merugikan baik secara politik maupun 
ekonomi.
Dari sebatas tuduhan sebagai sarang teroris saja kita sudah sangat 
tersudut
dan hina. Sebab, dengan tuduhan semacam itu cepat atau lambat kita 
akan
dikucilkan oleh pergaulan masyarakat dunia. Hal itu juga sekaligus
menunjukkan kita tidak mampu menjalankan amanah yang tertuang dalam
pembukaan UUD '45 yakni "turut memelihara perdamaian dan ketertiban 
dunia".
Dari sisi pemulihan ekonomi, aksi terorisme kali ini benar-benar 
pukulan
yang telak bagi upaya mengundang investasi dan peningkatan 
produktivitas
nasional. Bali yang selama ini dikenal sebagai daerah paling aman 
karena
daerah ini sebagai golden gate kedatangan wisatawan asing ke Indonesia
benar-benar hancur citranya di mata masyarakat dunia. Dan jangan lupa 
kita
butuh waktu yang cukup lama untuk membangun kembali citra yang aman 
dan
damai di kawasan wisata ini.
Belajar dari kenyataan tersebut maka untuk solusi ke depan perlu 
segera
diagendakan upaya menangkal tindak terorisme di negeri ini dalam wujud
action plan yang feasible untuk dilakukan. Pertama, segera 
mengesahkan 
RUU
Anti Terorisme. Saat ini RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 
masih
berupa draf yang oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra 
baru
akan diajukan ke DPR akhir bulan Oktober tahun ini.
Itupun masih ada polemik seputar rumusan yang dijadikan rujukan apakah
merujuk pada milik OKI aau UU Anti Terorisme Internasional.Kedua,
optimalisasi kinerja intelijen baik di lingkungan BIN (Badan Intelijen
Nasional) maupun intelijen yang berada di lingkungan Polri.
- Nugroho, Sekretaris Dewan Riset Daerah Jawa Tengah.