[Nusantara] Korupsi Mengepung Kita
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 09:36:12 2002
Korupsi Mengepung Kita
Denny JA
Kesalahan mendasar politik reformasi kita sederhana, namun fatal,
yaitu
terpilihnya para elite politik yang sangat lunak terhadap praktik
korupsi.
Akibatnya, korupsi bukan saja terus meluas ke berbagai cabang
pemerintahan
di pusat ataupun di daerah, namun elite yang berpengaruh itu enggan
pula
mengambil sikap yang keras terhadap pelaku dan tertuduh korupsi. Pada
satu
sisi, isu korupsi terus mengepung kita, namun pada saat yang sama
tidak
ada
pejabat tinggi yang diturunkan dari posisinya karena isu korupsi itu.
Tanpa disadari, praktik korupsi dalam politik Indonesia sudah
berkembang
menjadi ideologi nasional yang sesungguhnya, walau disembunyikan.
Dalam
retorika umum, dan pandangan untuk konsumsi publik, berbagai pemimpin
menunjukkan komitmen yang tinggi kepada pemberantasan korupsi. Namun
dalam
praktik politik sehari-hari, pemimpin itu turut korupsi, atau
bersikap
pasif
terhadap meluasnya jaringan korupsi.
Praktek korupsi telah menyatukan Indonesia, dari Aceh sampai Papua,
dari
Sabang sampai Merauke, dari Barat sampai Timur. Kian hari politik
semakin
kehilangan idealisme dan romantismenya. Politik semakin tereduksi
maknanya
hanya sebagai bargaining kekuasaan yang melindungi politik uang.
Pemerintahan
Di semua cabang pemerintahan, satu per satu isu korupsi itu
terbongkar.
Lihatlah apa yang terjadi di DPR. Di sini wakil rakyat dipilih secara
demokratis untuk pertama kalinya sejak tahun 1955. Fraksi Golkar belum
selesai dengan pertengkaran internalnya, dan masih gagap menjawab
desakan
eksternal. Ini berkaitan dengan vonis pengadilan yang menjatuhkan
hukuman
tiga tahun kepada Akbar Tandjung. Publik meminta Akbar Tandjung
minimal
nonaktif sebagai ketua DPR.
Sementara Fraksi Golkar masih sibuk dengan kasus Akbar Tandjung,
Fraksi
PDIP
sudah pula terkena masalah sejenis. Beberapa anggota DPR dari PDIP
"bernyanyi" di luar. Dalam rapat internal fraksi dengan BPPN, amplop
sebesar
1.000 dolar AS dibagikan. Amplop itu lalu (dituduhkan) dikaitkan
dengan
divestasi Bank Niaga. Dinyatakan pula praktik amplop itu hal biasa
dalam
rapat DPR.
Fraksi PDIP masih sibuk merespons isu suap yang melanda partainya,
kini
giliran Fraksi Reformasi, khususnya para petinggi PAN yang kebakaran
jenggot. Hal itu berawal dari tuduhan Permadi SH, bahwa pimpinan PAN,
AM
Fatwa, pernah menawarkan suap 20 miliar rupiah kepadanya (dan tim
kecil
di
DPR). Uang itu sebagai pelicin supaya kasus uang palsu atau kualitas
kertas
yang rendah dari PT Pura tidak dipersoalkan.
Sementara para petinggi PAN sibuk dengan kasus AM Fatwa, isu suap di
DPRD
juga muncul ke permukaan, dan tak kalah semaraknya. Mulai dari
Bandung,
Semarang, sampai Yogyakarta, wakil rakyat diberitakan berpesta uang.
Di
Yogyakarta, misalnya, seorang kontraktor dikabarkan telah "diperas"
untuk
menyerahkan 150 juta. Itu uang pelicin agar anggaran daerah untuk
pembangunan gedung Yogyakarta Expo Center cepat dicairkan. Sebanyak 25
angota DPRD Yogyakarta sudah diperiksa polisi.
Tidak kalah dengan legislatif, pemerintahan eksekutif juga terkena isu
korupsi yang sama. Tak kepalang tanggung, bahkan Departemen Agama
dianggap
sebagai wilayah yang korupsinya cukup tinggi. Agama rupanya bukan lagi
menjadi alat kontrol politik, namun justru telah dijadikan komoditas
untuk
korupsi. Ibadah haji yang mulia, bahkan di era reformasi, masih pula
dijadikan proyek untuk kekayaan pribadi pejabat. Dapat dibayangkan,
jika di
departemen agama saja korupsi merajalela, bagaimana dengan departemen
yang
lebih sekuler.
Untuk menegakkan hukum, apalagi korupsi, pemerintahan eksekutif
memiliki
Jaksa Agung. Pejabat ini yang menjadi panglima eksekutif untuk
menginvestigasi dan melayangkan penuntutan, namun justru Jaksa Agung
itu
sendiri yang kini sedang bermasalah. Jaksa itu tidak menggambarkan
pemimpin
berwatak jujur dan tegas, karena ada harta yang tidak ia laporkan
dalam
laporan kekayaannya. Celakanya, harta yang tidak dilaporkan itu
bermasalah.
Jika legislatif dan eksekutif bermasalah, bagaimana dengan yudikatif?
Para
hakim kita pun ikut dibebani isu korupsi. Tiga hakim dalam kasus
Manulife
terus diperiksa. Indikasi praktik uang semakin jelas, setelah adanya
pengecekan harta kekayaan pribadi sang hakim. Banyak lagi kasus yang
belum
muncul di permukaan. Mafia peradilan sudah sangat lama dirasakan oleh
publik
luas walau belum dapat dibuktikan. Para petinggi polisi juga tak kalah
bermasalahnya, seperti terlibat dalam penyelundupan mobil.
Lunak
Bukan isu dan tuduhan korupsi itu benar yang menjadikan masalah
korupsi
di
Indonesia berada pada stadium berbahaya, namun sikap elite politik
yang
tengah berkuasa itu yang memprihatinkan. Para elite terlalu bersikap
kompromis dan lunak atas praktik korupsi. Bahkan para elite yang
tengah
berkuasa tidak pula gelisah dengan belum bulat dan lengkapnya hukum
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketika Gubernur Bank Indonesia dinyatakan bersalah di pengadilan
negeri,
juga dalam kasus korupsi, elite jajaran Bank Indonesia masih bertahan,
berdiri di belakang sang gubernur. Ketika Akbar Tandjung dinyatakan
bersalah
oleh pengadilan negeri, untuk kasus korupsi pula, jajaran elite
Golkar
dan
elite partai lain, tetap sepakat membiarkan Akbar Tandjung memimpin
DPR.
Ketika kasus amplop oleh BPPN di PDIP dibongkar, pimpinan Fraksi PDIP
menyerahkan kasus itu kepada pribadi anggota PDIP yang terlibat.
Fraksi
PDIP
terkesan ingin lepas tangan. Ketika tuduhan suap uang palsu ditimpakan
kepada AM Fatwa, Fraksi Reformasi juga tidak menunjukkan respons
keras,
dengan janji investigasi yang penuh. Bahkan fraksi itu hanya minta AM
Fatwa
tidak melayani tuduhan Permadi.
Lunaknya elite politik pascareformasi, juga terlihat dari aturan
hukum
di
bidang korupsi. Sudah empat tahun usia reformasi, dan setiap tahun DPR
mengadopsi puluhan undang-undang. Namun sampai kini, masih belum juga
dibentuk Undang-Undang Komisi Anti-Korupsi dengan kewenangan yang
besar.
Pembongkaran kasus korupsi juga membutuhkan sebuah komisi dengan
otoritas
penuh, dan diisi oleh tokoh yang dapat dipercaya.
Juga belum dibentuk pula undang-undang tentang etika pemerintahan.
Padahal,
undang-undang itu perlu untuk memberikan kerangka hukum tentang semua
pemberian dan amplop yang mungkin diterima pejabat publik. Dalam
undang-undang itu dapat pula diatur keharusan nonaktif bagi pejabat
yang
sudah divonis di pengadilan negeri, walau upaya banding tetap
dilakukan.
Pemerintahan reformasi bahkan tetap belum berani menerapkan pembuktian
terbalik dalam isu korupsi. Karena korupsi merupakan kejahatan luar
biasa
yang menggerogoti negara, dalam sebuah periode kritis, perlu juga
dibuatkan
aturan yang sedikit menyimpang dari pidana umum.
Biasanya penuduh yang membuktikan korupsi. Melalui pembuktian
terbalik,
si
tertuduh yang harus membuktikan bahwa hartanya bukan hasil korupsi.
Pembuktian terbalik cukup efektif dipraktikkan di negara lain.
Mengapa
Mengapa elite kita begitu lunak dan lembek kepada praktik korupsi?
Padahal
mereka dipilih rakyat dengan mandat untuk memberantas KKN yang
menggurita di
era Orde Baru? Ada beberapa sebab. Kemungkinan pertama, kompetisi di
antara
para elite itu sangat keras. Mereka butuh konsolidasi kekuasaan.
Sementara
di era sekarang, konsolidasi kekuasaan membutuhkan uang yang sangat
banyak.
Para elite itu sendiri sedang sibuk mengumpulkan uang, baik secara
halal,
ataupun tidak. Sebagian besar dari mereka terlibat secara langsung
ataupun
tidak langsung dengan praktik korupsi itu.
Dalam kondisi ini, wajar saja jika di antara para elite itu ada
semacam
kesepakatan tidak tertulis untuk tidak saling membongkar. Apalagi
korupsi
elite tertentu diketahui elite lainnya. Yang satu terbongkar, yang
lainnya
terancam terbongkar pula. Ada kerja sama saling menutupi praktek
korupsi.
Ini yang membuat mereka terkesan lembek atas pembongkaran isu korupsi.
Kemungkinan kedua, ada pembagian kerja secara tidak tertulis pada
setiap
partai besar. Dalam partai itu, ada pihak yang bertugas mencari uang,
dan
ada pihak yang terus mengembangkan idealisme politik. Sebenarnya hanya
sekelompok kecil elite yang terlibat dalam money politics. Namun
politik di
partai adalah politik jaringan. Jika kartu mati tokoh itu terbuka,
yang
akan
terbuka keburukannya bukan hanya tokoh itu, tetapi juga keseluruhan
partai.
Dalam kondisi seperti itu, tanpa disadari sang elite yang korup itu
terpaksa
dilindungi oleh jaringan politiknya. Jaringan politik itu tidak perlu
membela sang tokoh yang dituduh. Mereka cukup bekerja dalam diam dan
pasif,
sehingga semua inisiatif pembongkaran korupsi akan melemah dan hilang
ditelan waktu.
Kemungkinan ketiga, di era reformasi, korupsi dilakukan secara
gotong-royong
dan bersama. Kebebasan politik di era reformasi, membuat praktik
korupsi
juga semakin canggih. Mereka yang korup tidak memakan uangnya
sendirian. Itu
mungkin membuat sang koruptor akan dibunuh bersama-sama. Namun uang
korupsi
itu didistribusikan ke banyak tangan. Semua mendapatkan jatah secara
proporsional sesuai posisi dan kevokalannya. Karena semua (mayoritas)
mendapatkan bagian, mayoritas elite pula berkepentingan agar praktik
korupsi
itu tidak dibongkar. Mereka bukan tidak peka dengan isu korupsi,
tetapi
kebutuhan politik praktis akan uang, demi lobi politik, sampai kepada
gaya
hidup, membuat mereka larut. Mereka memang tidak membela korupsi.
Namun
sikap pasif mereka sudah cukup membuat isu korupsi itu sulit atau
mustahil
terbongkar dalam proses hukum.
Korupsi memang sudah mengepung kita, karena mata rantai korupsi sudah
sedemikian rumit, dan melibatkan banyak tangan. Dari mana
pemberantasannya
harus dimulai? Jawaban yang paling bisa diterima adalah leadership
dari
pimpinan politik tertinggi.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi
Jayabaya.