[Nusantara] Peran Intelijen Memerangi Terorisme

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 09:36:18 2002


Peran Intelijen Memerangi Terorisme
Oleh ALEX DINUTH

Harus kita akui, peristiwa penghancuran menara kembar World Trade 
Center
(WTC) di New York tanggal 11 September 2001 merupakan megateater 
terorisme
internasional dengan ribuan orang yang tak berdosa menjadi korban 
secara
sadis, mengerikan dan sia-sia. Kejadian tersebut telah menimbulkan 
efek
persepsi kolosal, keingintahuan massa yang kolosal, juga efek 
psikologis
serta efek simbolik yang mondial.
Meskipun bersifat temporer para teroris telah mampu memudarkan mitos 
Amerika
Serikat (AS). Pertama, mitos superioritas, karena AS memiliki 
kekuatan 
ilmu
pengetahuan/teknologi, ekonomi, politik, multimedia, dan militer 
sebagai
negara adikuasa. Kedua, mitos kecepatan, supercepat melintas batas 
negara
merobohkan lawan maupun hambatan. Terakhir mitos ketidaktersentuhan 
karena
kecanggihan deteksi dini oleh sistem intelijennya. Namun dari 
celah-celah
keterbatasan dan kelemahan sistem yang dibangun AS itu para teroris 
bisa
memanfaatkannya secara nyaris sempurna.
Ternyata mereka memiliki keterampilan prima antara lain keberanian 
yang
tinggi, tabah, kesiapan untuk mati dalam misi bunuh diri, kematangan 
jiwa,
menerbangkan pesawat penumpang berteknologi maju, berpengetahuan di 
bidang
tek-nologi kimia, teknologi sipil bahkan teknologi militer. Jelaslah 
bahwa
terorisme dewasa ini telah berhasil memutakhirkan paradigma, strategi,
taktik dan teknisnya sedemikian rupa sehingga mampu menguasai dan
memanfaatkan berbagai ragam teknologi maju terutama sekali dari aspek
kelemahan-kelemahannya.
Maka bukan mustahil terbuka luas kemungkinan serangan-serangan baru 
teroris
yang akan menggunakan senjata-senjata kimia, biologi, radio aktif dan 
nuklir
sebagai senjata pemusnah masal (Weapons of Mass Destruction). Hal ini
merupakan instrumen penekan yang paling efektif untuk menggerogoti 
wibawa
pemerintah, menyebar ketakutan, dan menarik perhatian dunia karena 
dapat
meningkatkan derajat kekerasan dalam skala yang lebih intens dan 
masif.
Timbul pertanyaan, apa sih sebenarnya pengertian terorisme itu? Ada 
ungkapan
menarik yang menyebutnya sebagai "bahasa intimidasi" untuk 
berkomunikasi
dengan penguasa yang dianggap lalim. Selain itu terorisme merupakan 
senjata
ampuh dari pihak yang "lemah" (Terrorism is the power of the 
powerless.
Terrorism is the weapon of the weak). Dalam pengertian istilah terror 
dan
terorisme setiap negara membuat definisi sendiri-sendiri yang 
disesuaikan
dengan pandangan bangsa dan kepentingan nasionalnya masing-masing 
terutama
yang menyangkut masalah moral, disamping ada juga pengertian yang 
bersifat
universal.
Memang ada tindak kekerasan/kejahatan menyangkut politik yang dapat
dibenarkan (justifiable) tetapi sekaligus juga tidak bisa dibenarkan
(unjustifiable). Kejahatan dalam kelompok unjustifiable sering 
digolongkan
dalam teror/terorisme. Namun untuk membedakan batas tersebut relatif
tidaklah mudah, karena mungkin saja ada kekerasan politik bagi 
sebagian
kelompok masyarakat atau bangsa tidak bisa dibenarkan tetapi bagi 
pihak 
lain
hal tersebut sangat dapat dibenarkan atau dipertanggungjawabkan 
(misalnya
penilaian positif masyarakat Palestina terhadap pejuang bom bunuh 
diri 
di
Israel). Maka pengertian terorisme sangat tergantung pada pembenaran 
moral
dari pihak yang mendefinisikannya.
Secara plastis terorisme dapat dijelaskan sebagai berikut: Rasa takut
merupakan salah satu kelemahan manusia; maka para teroris 
mengeksploitasi
rasa takut tersebut dengan menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan 
demi
pencapaian tujuannya.
Pengertian terorisme secara sederhana dan universal, adalah pemaksaan
kehendak oleh seseorang atau suatu kelompok dengan menggunakan tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang sipil/non-kombatan 
atau
sasaran sipil dengan maksud menimbulkan rasa ketakutan yang luar 
biasa 
guna
mencapai tujuan tertentu.
Umumnya esensi yang terkandung dari pengertian terorisme adalah 
adanya 
unsur
pemaksaan kehendak, tindakan atau ancaman kekerasan, menimbulkan rasa 
takut
yang luar biasa pada pihak lain, sasaran sipil/non-kombatan, dan 
mempunyai
tujuan (biasanya tujuan politik). Sedangkan pengertian teror adalah 
segala
bentuk tindakan kejahatan dengan cara kekerasan yang tidak 
mengindahkan
norma-norma kemanusiaan, bermotifkan kejahatan murni (criminal) atau 
politik
dengan tujuan mempengaruhi emosi, perasaan, kemauan, pandangan, sikap 
serta
tingkah laku pihak lain dengan tujuan agar pihak lain memenuhi 
tuntutannya.
Teroris adalah pelaku/orang yang melaksanakan atau membantu tindakan
terorisme.
Pertanyaan berikut adalah, mengapa terorisme bisa muncul? 
Kemunculannya
sangat terkait dengan faktor-faktor kebencian, penindasan, frustrasi 
dan
ketidakadilan. Fenomena terorisme selalu dimuati perasaan sakit hati 
yang
mendalam terhadap ketidakadilan sosial, ketidakadilan politik, maupun
ketidakadilan ekonomi dimana sebagai sasaran utama adalah sang 
penguasa 
atau
sistem yang berlaku.
Dengan demikian terorisme dianggap sebagai satu-satunya cara, sarana,
strategi dan taktik terakhir yang secara fanatis berusaha melenyapkan
faktor-faktor tersebut, kendati dipahami bahwa terorisme tidak mungkin
membuahkan segera hasil yang diinginkan. Oleh karena itu kita patut 
waspada,
karena semakin redupnya gaung suara mereka yang terpinggirkan di 
tengah
maraknya ketidakadilan akan lebih mendorong tekad mereka melakukan
teror/terorisme.
Di tingkat internasional pun berlaku postulat serupa, yaitu apabila
kezaliman dan teror yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa 
lain
cenderung akan melahirkan kekerasan dalam bentuk terorisme apabila
kekuatannya tidak berimbang. Meluasnya jaringan terorisme 
internasional
tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 
khususnya
teknologi komunikasi/informasi yang memungkinkan penyebaran 
pengaruhnya 
ke
seluruh dunia.
Penyebab lainnya mengapa terorisme muncul, pertama, faktor 
nasionalisme 
yang
menuntut hak-hak politik dan nasionalisme kelompok minoritas yang 
merasa
tertindas. Kedua, faktor politik, yaitu tuntutan suatu kelompok yang 
merasa
lebih berhak untuk mendapatkan kekuasaan atau bagian dari kekuasaan. 
Yang
ketiga, faktor keturunan/agama/bahasa yang sama. Jadi menuntut 
pemisahan
diri karena merasa hak-hak mereka dirampas oleh negara. Selanjutnya, 
faktor
peradaban, yang menuntut kesucian ajaran agama serta kehormatan 
bangsa 
yang
tercemar akibat tingkah laku penguasa atau oleh tekanan negara lain.
Terakhir, faktor sosial dan psikologis yang meliputi perasaan 
tertindas,
tuntutan perubahan, penolakan terhadap teknologi modern dan akidah 
ideologi
yang bertentangan dengan masyarakat sekitar.
Indonesia, sejak awal sudah menentang teror/terorisme. Beberapa contoh
antara lain teror PKI di Madiun dan sekitarnya pada tahun 1948, teror
terhadap penduduk yang tak berdosa di daerah-daerah Jawa Barat oleh 
DI/TII
(1949-1962), penggranatan terhadap Presiden Ir Soekarno di Cikini 
(1955),
penculikan dan pembunuhan para Jenderal TNI-AD pada tanggal 30 
September
1965 oleh G 30 S /PKI, pembajakan pesawat Garuda Woyla ke Bangkok dan
berbagai kasus peledakan bom sejak tahun 1984/1985 (BCA dan Candi 
Borobudur)
hingga tahun 2002. Secara obyektif, kejahatan terorisme lokal sudah 
terjadi
di Indonesia. Maka tidaklah mengherankan apabila kini pemerintah
negara-negara dunia khusus aparat intelijennya selalu meningkatkan
kewaspadaan terhadap potensi ancaman terorisme, lebih-lebih setelah
terbentuk koalisi antiterorisme internasional.
Bagi kita pengertian terorisme internasional ialah apabila melibatkan
teroris warga negara asing atau warga negara Indonesia dalam jaringan
terorisme di negara lain yang berdampak terhadap keamanan negara dan 
dunia.
Jadi, melibatkan penduduk/warga negara atau wilayah lebih dari satu 
negara.
Terkait dengan judul tulisan, memang aneh bila suatu negara tanpa 
badan
intelijen! Badan Intelijen itu perlu karena merupakan mata, telinga, 
hidung,
lidah, peraba, bahkan sebagai kaki dan tangan negara untuk mendeteksi,

mengidentifikasi, mengantisipasi dan melakukan cegah dini terhadap 
berbagai
bentuk/sifat potensi ancaman nasional termasuk ancaman terorisme. 
Dengan
kalimat lain, intelijen mengamankan kedaulatan dan kepentingan 
bangsa/negara
disertai friksi yang seminimal mungkin terhadap kepentingan 
internasional.
Secara umum pengertian intelijen dijelaskan sebagai pengetahuan, 
aktivitas,
organisasi dan "seni".
Masyarakat umumnya sering keliru membedakan prinsip-prinsip kerja 
antara
polisi dan intelijen bahkan ada yang menyamaratakannya. Padahal 
karakter
kerahasiaan dan ketertutupan intelijen sangat tinggi. Biasanya 
organisasi
intelijen menggunakan prinsip gunung es, 1/3 di atas permukaan 
sedangkan 2/3
di bawah permukaan.
Filosofi intelijen yang terdalam ialah untuk mendapatkan keterangan
(informasi) yang seobyektif, yang sekomprehensif, yang seaktual 
mungkin 
agar
memungkinkan ditemukan solusi yang dapat diterima (acceptable). 
Pengertian
acceptable itu ialah mampu diimplementasikan tapi dengan kerugian yang
seminimal mungkin. Jadi filosofi dari intelijen itu selalu terkait 
dengan
proses pengambilan keputusan (decision making process).
Pengumpulan informasi sesungguhnya bukan hanya untuk pemerintah 
tetapi 
juga
bagi kepentingan nasional yaitu kepentingan rakyat banyak. Hal itu 
berarti
bagaimana akhirnya membangun suatu pemerintah yang punya legitimasi,
pemerintah yang populer dan pemerintah yang mendapatkan dukungan 
rakyat.
Dan kalau itu terjadi maka informasi yang dibutuhkan akan datang 
secara
otomatis dari masyarakat. Sebaliknya, bilamana rakyat itu tidak 
bersimpati
kepada pemerintah, informasi tersebut akan mengalir kepada 
kelompok-kelompok
oposisi, LSM-LSM, LBH dan sebagainya. Terlebih-lebih di suatu 
pemerintahan
yang tidak populer maka badan intelijennya selalu dipersepsikan 
sebagai
instrumen pemerintah. Ini yang harus kita hilangkan, dan perbaiki 
bahwa
suatu lembaga intelijen itu bukan instrumen pemerintah tetapi 
merupakan
institusi nasional. Dalam kaitan ini, sumber keterangan tentang 
terorisme
yang paling murah adalah anggota teroris atau simpatisannya yang 
ditangkap.
Kegagalan atau keberhasilan intelijen tergantung pada pengguna apakah 
ia
bekerja sesuai dengan hakikat dan watak intelijen. Masalahnya 
adalah : 
perta
ma, apakah pengguna produk intelijen itu memanfaatkannya dengan tepat 
atau
tidak, yang kedua, apakah intelijen itu digunakan sesuai dengan 
hakikatnya.
Mengenai kegagalan suatu badan intelijen, memang ada pendapat yang
menyebutkan bahwa badan intelijen itu bukanlah "dewa" yang serba 
tahu. 
Di
pihak lain tentu ada yang lebih unggul sebagai hasil pertarungan 
kemampuan
antarbadan-badan intelijen.
Kenyataan empirik akan kelemahan-kelemahan intelijen memang ada secara
alamiah melekat pada badan-badan intelijen di mana pun. Kelemahan itu 
dapat
bersifat struktural (artinya bisa diperbaiki), bisa kultural (yang 
ini 
sulit
diperbaiki). Namun dengan segala kemungkinan akan kelemahan yang ada, 
yang
dapat membatasi kemampuan itu, fungsi intelijen sejak dahulu kala 
telah
diakui perannya yang menentukan. Sun Tzu (250 SM) menetapkan 
adagiumnya 
yang
terkenal: "Ketahui musuhmu, dengan mengetahuinya sudah separuh dari
kemenangan".
Proses deteksi dini, pengumpulan data dan analisis intelijen yang 
akurat
serta tepat waktu mengenai potensi ancaman terorisme akan sangat 
menentukan
keberhasilan tindak pengamanan preventif maupun represif. Pihak 
intelijen
tentu maklum bahwa meluasnya terorisme internasional karena mereka
memperoleh bantuan dari pihak ketiga dalam wujud : penyediaan 
fasilitas
latihan, pemberian alat peralatan, bantuan propaganda, disinformasi,
pemberian perlindungan (sanctuary) bantuan finansial, dan sebagainya.
Para pelaku teroris mampu pula membangun jaringan pendanaannya 
sendiri,
antara lain melalui usaha perdagangan obat bius/narkoba, bisnis 
swasta,
kekayaan pribadi, kegiatan amal, dukungan finansial setempat, 
sponsor/donor
tertentu (aset keuangan). Maka menjadi tugas pokok aparat intelijen 
untuk
bisa mengungkapkan anatomi terorisme yang menyangkut latar belakang 
akar
masalah, kemampuannya, minat/intensi, latihan (skill dan 
indoktrinasi),
strategi dan taktik, sarana dan senjata, pendanaan, daerah/jaringan
logistik, perlindungan, sasaran, aksi, media yang dikuasai, kaitan 
dengan
agama/ideologi/kelompok organisasi, jaringan kerja sama, jaringan
komunikasi, daerah basis, rekrut calon teroris, bengkel produk
senjata/amunisi/peralatan khusus, tempat simpan senjata, percetakan,
safe-house, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan isu terorisme di Indonesia? Seperti sudah 
dijelaskan
di muka, kita telah lama mengenal teror/terorisme di tanah air. Di era
globalisasi yang kontemporer dewasa ini, dikaitkan dengan kemajemukan 
dan
heterogenitas suku, agama, ras, golongan bangsa kita yang mendiami 
ribuan
pulau serta dihadapkan kepada kondisi sosial ekonomi, politis, hankam,
otonomi daerah dan sebagainya sesungguhnya Indonesia amat rawan 
terhadap
ancaman terorisme.
Bukan tidak mungkin ada sementara oknum-oknum, golongan, elite 
politik,
organisasi, atau gerakan-gerakan sempalan tertentu di dalam negeri 
yang
diduga bisa berafiliasi atau dapat dimanfaatkan oleh gerakan terorisme
internasional, bahkan bisa beraksi sendiri di dalam negeri melawan
pemerintah yang sah. Isu terorisme yang marak dewasa ini bukan 
ditujukan
terhadap umat Islam. Oknum atau kelompok organisasi radikal, garis 
keras
atau tindak teror sesungguhnya terdapat pada semua agama.
Munculnya isu tersebut bisa saja karena dibawa oleh orang luar dengan 
budaya
luarnya. Atau bisa saja sebagai akibat ekses reformasi berupa
konflik-konflik berlatar belakang ekonomi, politik, suku, agama dan
lain-lain. Seperti telah disebutkan mungkin saja ada gerakan 
radikalisme
tertentu di Indonesia yang telah digunakan oleh network terorisme
internasional, tetapi bisa dideteksi oleh badan-badan intelijen luar. 
Untuk
menghadapi ini kita harus kritis, cerdas, wibawa, proaktif tanpa 
emosional
dan percayakanlah kepada kinerja intelijen nasional.
Maka kinerja jaringan intelijen serta kerja sama dengan
departemen-departemen terkait perlu terus ditingkatkan agar selalu 
dapat
memantau, mendeteksi dan memerangi para pelaku teroris sekaligus 
menyehatkan
lingkungan kita agar aksi terorisme tidak punya ruang gerak dan tidak 
pernah
akan berkompromi dengan tuntutan pelaku teror.
Memang agak sulit menangkal terorisme ini, karena dilaksanakan oleh 
kelompok
yang terorganisir baik dengan anggota-anggota yang berdisiplin tinggi,
perencanaan yang teliti serta dilaksanakan secara mendadak demi 
pencapaian
suatu political pressure. Namun memerangi terorisme merupakan suatu
keharusan demi kepentingan nasional yaitu untuk melindungi keselamatan
rakyat dan keamanan masyarakat, bukan mengikuti kehendak negara asing.
Untuk itu intelijen harus sepenuhnya didukung oleh peranserta 
masyarakat.
Melalui instansi/departemen terkait masyarakat perlu dijelaskan 
tentang
artikulasi teror/terorisme baik dari aspek ancaman maupun 
tujuan-tujuannya.
Dengan demikian isu-isu terorisme tidak akan membuat kita kebakaran 
jenggot
atau memecah belah persatuan nasional tetapi marilah kita 
menghadapinya
secara kritis, cerdas, pragmatis dan bijak. Berilah kesempatan kepada 
aparat
intelijen untuk mengecek, cek ulang dan cek silang tentang kebohongan 
atau
kebenaran isu-isu tersebut.
Yang penting, data intelijen harus diupayakan menjadi data hukum dan 
ini
masih diperlukan waktu sehingga dinilai orang luar, kita terlalu 
lamban. Hal
ini sebagai akibat belum adanya undang-undang keamanan 
negara/undang-undang
intelijen/undang-undang antiterorisme. Dalam kaitan ini peran 
intelijen
tetap berpegang pada prinsip dasar dan kebijakan makro pemerintah 
dalam
memerangi terorisme yaitu mengutamakan penangkalan dan pencegahan 
baik 
di
lingkup domestik maupun lingkup kerja sama internasional.
Selanjutnya perlu selalu digalang rekonsiliasi antara kelompok, 
golongan
maupun elite politik tertentu (kalau ada) sehingga diharapkan tidak 
akan
muncul aksi-aksi teror/terorisme yang berlatar belakang 
pertikaian/konflik
interes masing-masing pribadi maupun golongan.
Namun peran aparat intelijen dalam memerangi aksi terorisme masih 
sangat
ditentukan oleh kualitas pemimpinnya, sistem intelijen yang dibangun,
kualitas manusia intelijen (profesional, cerdas, loyal/komitmen), 
organisasi
dan mekanisme kerja, sarana dan prasarana yang dimiliki, pendanaan,
undang-undang intelijen, undang-undang terorisme sebagai payung hukum 
di
lapangan dan unsur keberuntungan (luck).
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya peningkatan 
koordinasi 
dan
kerja sama antara Polri, BIN, BAIS TNI, Kejaksaan Agung, Deplu, 
Depdagri,
Dephan, dan sebagainya. Selain itu strategi pemerintah untuk mendulang
wisatawan mancanegara melalui kemudahan masuk dengan bebas visa 
kiranya
perlu dikaji ulang karena ternyata sulit bagi petugas dalam mendeteksi
orang-orang asing tertentu yang sering bertukar nama di Indonesia.
Selain itu, aparat intelijen harus pula bekerja sama dan berkoordinasi
dengan berbagai pihak di luar negeri khususnya negara-negara maju demi
peningkatan kemampuan antiteror/terorisme yaitu berupa bantuan 
pendidikan,
peralatan-peralatan yang memadai serta tukar menukar informasi.
Memerangi terorisme juga merupakan kewajiban dan komitmen 
internasional 
bagi
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akhirnya dengan tetap mencermati perkembangan situasi dan kondisi 
nasional
terkini, pembaca tentu dapat menilai sendiri sejauh mana kemampuan, 
kinerja
serta peran intelijen kita dalam memerangi ancaman atau isu teror, 
terorisme
(internasional) di tanah air.

Penulis adalah analisis pada Consortium For The Study of Intelligence 
(CSI).