[Nusantara] Kemelut Investasi Asing Pascatragedi Bali
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 10:12:17 2002
Kemelut Investasi Asing Pascatragedi Bali
Oleh Padang Wicaksono
Beberapa waktu yang lalu, berita mengenai hengkangnya
sejumlah investor asing berikut dampak negatifnya
terhadap pemulihan ekonomi menghiasi headline surat
kabar Tanah Air. Belum lepas berbagai kesulitan
ekonomi mendera bangsa ini, tiba-tiba kita dikejutkan
kembali dengan ledakan bom dalam skala massif yang
menewaskan ratusan orang. Tak pelak lagi Tragedi Bali
tersebut semakin memperburuk citra Indonesia di mata
dunia internasional.
Serupa dengan utang luar negeri, kehadiran investasi
asing di bumi pertiwi tak pernah surut dari
pro-kontra. Bagi yang pro, kehadiran investasi asing
dipandang sebagai engine of growth. Sementara bagi
yang anti, kehadiran investasi asing dipandang tak
lebih dari dominasi kekuatan modal asing dalam
perekonomian nasional dan proses marginalisasi
kekuatan ekonomi domestik. Dua-duanya mungkin
mempunyai argumen yang sama kuatnya, namun benarkah
investasi asing merupakan jalan paling ampuh untuk
mengatasi kemelut ekonomi nasional?
Dalam literatur standar ilmu ekonomi, pembangunan
(development) dengan bertumpu pada pertumbuhan(growth)
dipercaya sebagai jalan menuju proses akumulasi
kapital. Selanjutnya, akumulasi kapital tersebut akan
meningkatkan kekayaan suatu negara (wealth of nation).
Dalam perekonomian yang terbuka sumber pem- biayaan
pembangunan tidak melulu tergantung pada faktor
domestik/internal, seperti tabungan domestik, namun
bisa diperoleh melalui faktor luar negeri/eksternal
seperti pinjaman luar negeri dan investasi langsung
asing (foreign direct investment).
Dalam hal utang luar negeri, Indonesia tercatat
sebagai salah satu negara pengutang terbesar di dunia(
nomor 4 setelah Brasil, Argentina, dan Meksiko).
Krisis utang luar negeri Indonesia mencapai puncaknya
ketika krisis mata uang melanda Asia pada 1997 dan
sesudahnya. Sebagai catatan, di awal 2000 total utang
luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) mencapai
US$ 144 miliar kira-kira hampir menyamai PDB Indonesia
sebesar US$ 160 miliar (Winters, 2000).
Dengan tumbangnya perbankan Indonesia dan upaya
menyelamatkan dunia perbankan dari kehancuran yang
lebih dalam maka beban utang swasta sebagian besar
diambil alih oleh pemerintah demi program
restrukturisasi perbankan yang rumit dan dengan biaya
yang makin menggelembung hingga diperkirakan mencapai
sekitar Rp 650 triliun. Dalam waktu 2,5 tahun mulai
dari krisis mata uang 1997 hingga awal 2000, beban
utang luar negeri yang ditanggung oleh pemerintah
melonjak tajam sebesar US$ 81 miliar menjadi US$ 134
miliar.
Dalam RAPBN 2002, biaya belanja pemerintah telah
tersedot untuk pembayaran utang. Telah terjadi net
transfer negative (cicilan pembayaran pokok dan bunga
utang jauh lebih besar dari pinjaman baru) sebesar Rp
86,4731 triliun sementara pengeluaran untuk
pembangunan jauh lebih kecil, yakni Rp 47,1471
triliun.
Melihat rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintah dalam era reformasi ini, maka kemampuan
untuk membayar kembali utang tersebut cukup diragukan
apalagi kebutuhan akan pembiayaan pembangunan terus
meningkat. Tak berlebihan bila pemerintah sangat
berkepentingan terhadap eksistensi penanaman modal
asing sebagai alternatif pembiayaan demi menyelamatkan
kehancuran ekonomi yang lebih parah dan menanggulangi
pengangguran massal.
Dilema
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan investasi
asing langsung (FDI) di negara berkembang (termasuk
Indonesia) cukup pesat. Sebagai catatan, investasi
asing oleh perusahaan multinasional di negara
berkembang meningkat pesat dari US$ 13 miliar (1981)
menjadi US$ 25 miliar (1991) (Thirlwall, 1994:hal.
328). Nilai investasi ini meliputi transfer dana,
modal fisik, teknik produksi, managerial, marketing
expertise, biaya promosi, dan pelatihan bisnis.
Meski membawa arus modal yang sangat besar, kehadiran
investasi asing tidak serta-merta mengatasi problema
pembangunan. Mengapa demikian? Pertama, aktivitas
investasi asing di Indonesia sebagian besar tak
terlepas dari motif penguasaan atas sumber kekayaan
alam seperti eksplorasi minyak, pertambangan, dan
penebangan hutan.
Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan eksplorasi ini
semakin menjurus ke arah eksploitasi alam yang
berpotensi menghancurkan daya dukung lingkungan dan
peminggiran masyarakat lokal.
Kedua, keuntungan besar yang diperoleh dari hasil
aktivitas produksi di Indonesia tidak serta merta
digunakan untuk reinvestasi dan proses alih teknologi
namun direpatriasikan ke negara asal. Praktik-praktik
seperti ini sangat merugikan Indonesia terutama posisi
neraca pembayaran. Studi-studi yang dilakukan oleh
Claessens(1993), Qayum(1993), dan Arief (1993)
menegaskan praktik repatriasi profit tersebut ternyata
lebih besar dari nilai investasi yang masuk ke
Indonesia.
Ketiga, kebanyakan orang Indonesia mengira bahwa
kehadiran investasi asing di Indonesia serta-merta
membawa dolar dalam bentuk kontan. Ini hanya mimpi.
Para investor asing/MNC sering memanfaatkan fasilitas
kredit yang ditawarkan oleh perbankan nasional. Oleh
karena sebagian besar pejabat menganggap peran
investasi asing sangat penting maka para investor
tersebut sering memperoleh perlakuan istimewa terutama
dalam hal akses kredit dengan bunga rendah padahal
dunia usaha domestik sendiri mengalami kelangkaan
modal.
Keempat, kegiatan investasi asing di Indonesia ikut
memberikan kontribusi dalam menurunnya target
penerimaan pajak sebagai akibat dari praktik transfer
pricing. Praktek transfer pricing dilakukan dengan
jalan transaksi internal perusahaan. Dengan kata lain,
transaksi/perdagangan antarcabang/anak perusahaan
masih dalam induk perusahaan yang sama namun berlainan
negara. Sebuah MNC otomotif bisa menjalankan proses
produksinya dalam negara yang berbeda. Misalnya, di
Indonesia hanya memproduksi suku cadang lalu suku
cadang tersebut dikapalkan ke Malaysia yang melakukan
assembling. Hasil assembling tersebut dikirim kembali
ke Indonesia dalam bentuk penjualan akhir (final
sale). Proses transaksi ini sulit ditaksir berdasarkan
nilai pasar yang sebenarnya oleh karena sifat
transaksi dilakukan secara internal oleh perusahaan
yang sama sehingga memungkinkan manipulasi nilai
transaksi.
Kelima, kehadiran investasi asing di Indonesia
diyakini akan memperluas kesempatan kerja. Pendapat
ini mungkin ada benarnya. Namun tak jarang, negeri
yang terkenal dengan berlimpahnya buruh yang murah
sering dijadikan sebagai eksploitasi untuk memperbesar
keun-tungan dengan mengabaikan hak-hak buruh seperti
pelayanan kesehatan, asuransi jiwa tenaga kerja, dan
dana pensiun. Secara sepintas terserapnya tenaga kerja
ke dalam pabrik-pabrik yang dimiliki oleh modal asing
memang cukup melegakan namun proses ini ibarat menanam
bom waktu di kemudian hari. Di samping itu patut
dipertanyakan juga kesediaan MNC untuk melakukan
proses transfer of knowledge pada tenaga kerja
Indonesia.
Keenam, investasi asing di manapun di seluruh dunia
selalu berkepentingan dengan risiko politik dan
keamanan. Para investor asing atau MNC tidak begitu
peduli dengan isu HAM atau demokrasi oleh karena bagi
mereka yang penting adalah stabilitas politik demi
menjaga kelangsungan bisnis dan terjaminnya
kepentingan mereka. Dalam era reformasi ini memang
tidak dapat dimungkiri telah terjadi euphoria
berlebihan namun patut disadari juga bahwa tuntutan
buruh atas perbaikan nasib mereka tentu suatu hal yang
wajar mengingat posisi tenaga kerja selama ini berada
dalam posisi yang terjepit antara kepentingan penguasa
dan pemilik modal.
Langkah ke Depan
Meski masuknya investasi asing tidak serta merta
mengatasi problem pembiayaan pembangunan tidak dapat
dimungkiri sedikit banyak tentu ada manfaatnya bagi
proses pembangunan ekonomi itu sendiri. Adalah sebuah
kenaifan bila mengharapkan kebaikan atau ketulusan
hati dari investasi asing. Colman dan Nixson (1978)
dengan lugas mengatakan: Their prime objective is
global profit maximization and their actions are aimed
at achieving that objective, not developing the host
less developed country. If the technology and the
products that they introduce are inappropriate, if
their actions exacerbate regional and social
inequalities, it they weaken balance of payments
position, in the last resort it is up to the less
developed country government to pursue policies which
will eliminate the causes of these problems.
Jelaslah, yang paling kita cemaskan bukanlah soal
dampak aktivitas investasi asing/MNC di Indonesia
namun apakah para pengambil keputusan negeri ini mampu
mengelola dan menjinakkan para investor asing tersebut
sehingga tidak merugikan perekonomian nasional.
Joint ventures dan turn-key projects di mana para
investor asing berkolaborasi dengan mitra lokal
disertai dengan partisipasi penduduk lokal merupakan
salah satu alternatif dalam memanfaatkan potensi
investasi asing. Dalam situasi yang serba kalut
pascatragedi Bali ini tentunya diharapkan segenap
komponen bangsa dapat berpikir jernih dalam mengatasi
kesulitan ekonomi yang membelenggu bangsa kita.
Terutama pemerintah hendaknya jangan berpikir jangka
pendek dengan mengambil jalan pintas mengorbankan
kekayaan alam demi masuknya aliran modal asing semata.
Dalam kesulitan selalu ada secercah harapan, demikian
orang bijak berkata.
Penulis sedang studi pada Department of Economic
Science Graduate School of Economics Saitama
University Japan.