[Nusantara] Islam Politik dan Terorisme Global
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 10:24:18 2002
Islam Politik dan Terorisme Global
Mun'im A Sirry Peneliti CSID, Jakarta
APA dampak tragedi Bali terhadap masa depan Islam politik di
Indonesia? Pertanyaan ini kerap dimunculkan banyak kalangan karena
Indonesia dianggap negara paling produktif melahirkan partai-partai
politik berbasis Islam. Barangkali, Pakistan merupakan satu-satunya
negara yang bisa menyaingi Indonesia dalam hal jumlah partai Islam.
Meski demikian, berbeda dengan Pakistan, Islam politik di Indonesia
dipastikan menghadapi fase sulit sebagai dampak ledakan dahsyat yang
menelan banyak korban itu.
Dalam suatu jumpa pers pascaledakan di Bali, Cak Nur (sapaan akrab
Nurcholish Madjid) menyebutkan bahwa peristiwa itu secara moral
setara dengan serangan teroris 11 September 2001 yang menghantam
menara kembar World Trade Center dan Pentagon. Cak Nur
mengisyaratkan, hendaknya pemerintah dan masyarakat umumnya bersikap
tegas dan decisive, tidak sekadar larut dalam retorika basa-basi
politik.
Jika benar semua skenario pada akhirnya bermuara pada pembasmian
segala bentuk radikalisme, utamanya radikalisme keagamaan, maka
dipastikan akan terjadi perubahan dalam menyikapi Islam politik yang
sejak 1998 mendapat lahan subur. Mark R Woodward, Indonesianis asal
Arizona State University, dalam tulisannya berjudul Indonesia, Islam,
and the Prospect for Democracy menyebutkan bahwa salah satu fenomena
setelah jatuhnya Soeharto adalah antusiasme terhadap kehadiran Islam
politik (SAIS Review, No 2, 2001).
Namun, Woodward menambahkan, munculnya retorika Islamisme ini justru
merupakan sandungan terbesar (the most troubling development) bagi
perkembangan Indonesia baru. Sebagaimana di tempat lain, Islam
politik di Indonesia juga memiliki pandangan konspirasional mengenai
politik global. Diskusi-diskusi tentang rencana Barat untuk
menghancurkan Islam dapat dijumpai di berbagai masjid dan selebaran.
Wacana ini menuding Barat Kristen dan Yahudi sebagai sumber konfliks
dan stagnasi ekonomi. Karena itu, terbentuknya khilafah yang
didasarkan pada syari'ah diyakini sebagai satu-satunya solusi
terhadap problem masyarakat muslim.
Di kalangan sarjana dan akademisi Barat, terdapat dua bentuk
kekhawatiran dari menjamurnya Islam politik ini. Pertama, Islam
politik menggerogoti demokrasi. Mungkin saja Islam politik mengikuti
jalur prosedural untuk mencapai kekuasaan, seperti mendirikan partai
dan mengikuti pemilu, namun manakala mereka telah berada di kekuasaan
mereka akan menghancurkan institusi demokrasi itu sendiri. Kasus
Aljazair sering dijadikan contoh untuk menjelaskan kecenderungan ini.
FIS memang memenangkan pemilu, namun karena sikapnya yang
antipluralisme ia dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Kedua, politisasi ideologi dan simbol Islam ke dalam kehidupan publik
masyarakat muslim. Hal ini tampak di atas punggung politik di Tanah
Air setelah runtuhnya rezim Soeharto. Agama didorong sedemikian rupa
sebagai vote getter (peraih suara), sehingga konflik dan ketegangan
yang sesungguhnya bersifat politis kemudian beraroma agamis.
Kenyataan ini tentu sangat berbahaya karena telah menyebabkan agama
sebagai variabel pembeda, bukannya variabel perekat bagi keluhuran
hidup umat manusia.
Dalam konteks itu, penggunaan kekerasan (the use of force) menjadi
istilah yang begitu lekat dengan Islam politik. Perhatikan kesaksian
Najib Ghadbian, guru besar ilmu politik asal University of Arkansas,
dalam tulisannya berjudul Political Islam and Violence.
Katanya, ''Pandangan yang dominan di Barat mengasumsikan secara tegas
antara nilai-nilai Islam dan penggunaan kekerasan di dalam dunia
muslim, terutama kekerasan yang bersifat politis'' (New Political
Science, vol 22, no 1, 2000).
Karena itu, persoalannya, dapatkah Islam politik di Indonesia
membuktikan dirinya sebagai kekuatan antikekerasan? Ini yang harus
dibuktikan dalam sejarah. Kekerasan politik di Indonesia --
sebagaimana di tempat lain-- dimotivasi oleh pertimbangan politis.
Ini memang tampak sederhana, namun perlu ditegaskan bahwa yang kita
kaji di sini adalah Islam politik, bukan Islam atau kaum muslim
secara umum. Kaum muslim yang mengikuti Islam politik
disebut 'Islamis'. Dalam banyak kasus, Islamis adalah orang yang
menyerukan implementasi syari'ah ke dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk domain publik.
***
Kendati mereka yang menganut Islam politik sepakat tentang relevansi
prinsip-prinsip Islam untuk menyelesaikan problem kontemporer, namun
mereka berbeda dalam metode, gaya, dan isu substantif. Salah satu
ketidaksepakatan di kalangan kaum Islamis adalah tentang penggunaan
instrumen kekerasan. Ada dua poin penting mengenai distingsi antara
gerakan moderat dan radikal atau ekstremis. Pertama, distingsi yang
didasarkan pada bagaimana gerakan tersebut menyikapi tatanan politik
yang sudah ada. Gerakan moderat memilih untuk melakukan perubahan
melalui cara-cara gradual dan damai, sementara kaum ekstremis siap
menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mengimplementasikan
visi Islam mereka.
Kedua, kalangan moderat dan ekstremis tidaklah monolitik, melainkan
sangat beragam baik dalam hal jumlah anggota, agenda, ataupun
aktivitas. Ada kelompok-kelompok Islam yang aktif dalam kerja-kerja
sosial untuk menyantuni kaum fakir-miskin, tetapi ada juga yang hanya
bisa menyediakan amunisi untuk perang. Dan, kelompok yang melakukan
kekerasan itu pun sebenarnya minoritas di dalam lingkup Islam politik
yang jauh lebih luas.
Meski demikian, ulah segelintir minoritas ini bukan saja merusak nama
baik seluruh negeri atau kaum muslim, tapi juga merusak citra
mayoritas Islam politik itu sendiri. Di tengah desakan untuk
menyucikan diri dari segala tuduhan yang diskriminatif pascatragedi
Bali, Islam politik Indonesia dituntut melakukan perlawanan terhadap
segala bentuk aktivitas yang dapat menjurus pada penggunaan kekerasan
untuk mewujudkan ambisi politik. Tentu saja dalam hal ini juga
termasuk tidak memberi ruang gerak bagi berkembangnya segelintir
minoritas itu.
Tantangan lain adalah apa yang disebut Olivier Roy dalam bukunya The
Failure of Political Islam (1996) sebagai 'kemandulan artikulasi
politik Islam'. Disadari atau tidak,
Islam politik memang belum mampu menjelaskan bagaimana ia bisa tampil
di atas panggung politik mutakhir. Sebab, selama ini keberadaannya
selalu dirujukkan pada rumusan politik ulama zaman pertengahan,
seperti Al-Mawardi atau Al-Ghazali.
Tidak berkembangnya artikulasi diskursif tentang cita-cita Islam
politik menyebabkan dirinya bersikap apologetik dan defensif. Yang
paling mudah dilakukan adalah menuding kelompok di luar dirinya
sebagai biang keladi kemunduran, untuk sesuatu yang tidak bisa
dilakukannya sendiri.***