[Nusantara] Al-Qaeda dan Intelijen Kita
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Oct 20 09:24:17 2002
Al-Qaeda dan Intelijen Kita
Oleh Imam Anshori Saleh, Wartawan Media Indonesia
ORANG Indonesia pada umumnya memang mudah bersikap apriori. Terutama
terhadap informasi hal-hal aneh dan bertentangan dengan
anggapan-anggapan
yang ada. Dalam kalimat-kalimat retorik mereka selalu menyatakan siap
menerima perubahan dan kenyataan-kenyataan dunia yang begitu cepat
berubah.
Globalisasi dengan berbagai dampaknya juga diamini sebagai kenyataan
yang
harus diterima secara alami. Tetapi, dalam realitas sosial, banyak
keniscayaan yang dimentahkan dengan sikap apriori tanpa argumen yang
dapat
diterima nalar.
Dalam perkembangan dunia dan Indonesia yang bergerak begitu cepat,
yang
dulu
tidak mungkin kini menjadi mungkin. Dulu tidak pernah terbayang
Ambon,
Poso,
dan Irian Jaya dalam negara kita yang aman tenteram berubah menjadi
berantakan seperti sekarang ini. Dulu juga sulit dibayangkan,
konflik-konflik lokal di sejumlah daerah yang biasanya mudah
dipadamkan,
menjadi berkepanjangan dan bisa mengundang keterlibatan pihak-pihak
asing.
Banyak orang yang tidak sadar bahwa stabilitas semu yang dibangun di
masa
Orde Baru bak menyimpan bara dalam sekam dan pada saat tertentu dapat
membakar serta memorakporandakan tatanan masyarakat.
Saat Paul Wolfowitz, pejabat tinggi Amerika Serikat, mensinyalir
adanya
jaringan terorisme internasional di Indonesia, para politikus dan
pengamat
sontak menampik. Jauh sebelumnya, pada Ramadan yang lalu, saat
Kepala
Badan
Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengungkapkan adanya
orang-orang
asing dalam jaringan Al-Qaeda yang berlatih di kawasan sekitar Poso,
Sulawesi Tengah, sejumlah pengamat bereaksi keras. Kepala BIN
dianggap
mengadu domba umat Islam. Bahkan, ada pejabat tinggi negara yang ikut
membantah hasil penyelidikan intelijen Indonesia di bawah koordinasi
BIN
itu. Bantahan-bantahan itu tidak disertai argumen kuat, hanya
berangkat
dari
sikap apriori tadi.
Alih-alih kenyataan mutakhir menunjukkan sejumlah indikasi kuat bahwa
jaringan Al Qaeda--atau apa pun namanya--memang telah terindikasi
kuat
merasuki Indonesia. Tertangkapnya Fathur Rohman Al Ghozi di Filipina
dan
pengakuan yang diberikannya kepada tim penyidik kepolisian negeri
tetangga
itu. Tidak kurang dari Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda mengakui
bahwa
Fathur Rohman Al Ghozi memang anggota teroris internasional (Media,
25/1).
Selain itu, tertangkap pula sejumlah warga Indonesia di Malaysia yang
dituding pemerintah Malaysia mempunyai jaringan dengan Kelompok
Mujahidin
Militan Malaysia (KMMM) dan jaringan teroris internasional.
Tertangkapnya
sejumlah warga Indonesia di Malaysia ini kemudian menyeret Abu Bakar
Ba'asyir, pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo,
Jawa
Tengah (Media, 22/1). Tudingan Malaysia ini 'memaksa' pejabat Mabes
Polri
Irjen Ahwil Luthan pekan lalu terbang ke Kuala Lumpur untuk melakukan
klarifikasi.
Sebelumnya, pertengahan Januari lalu, masyarakat juga dikejutkan
oleh
berita
adanya pendeportasian seseorang yang diduga kuat dalam jaringan
terorisme
dari Indonesia ke Mesir. Pendeportasian dilakukan oleh aparat
imigrasi
Indonesia dari Solo karena yang bersangkutan dianggap melanggar
peraturan
keimigrasian. (Media, 18/1).
Yang belum banyak dipublikasikan pers Indonesia adalah pemberitaan
surat
kabar di Spanyol tentang kegiatan jaringan Al-Qaeda di Indonesia.
Sebagaimana diberitakan El Pais edisi 18 November 2001, bahwa
Kepolisian
Spanyol berhasil mengendus sebuah kamp rahasia Al-Qaeda di Indonesia
yang
digunakan untuk melatih 2.000-3.000 orang. Pelacakan itu bermula dari
tertangkapnya warga negara Spanyol asal Siria Imad ed Din Barakat
alias
Abu
Dahdah, bersama 10 orang lainnya. Dalam pemberitaan berjudul La Red
Espanola
de Al Qaeda Conduce a un Campo Secreto in Indonesia itu ditulis, "Di
sana
(Indonesia), di salah satu dari 3.000 pulau yang ada, telah
didirikan
sebuah
kamp rahasia yang digunakan untuk melatih 2.000 sampai 3.000 orang
gerilyawan Al-Qaeda."
Dalam pemberitaan El Pais edisi 27 November 2001 juga disinggung
hubungan
Abu Dahdah dengan Parlin, seorang insinyur mesin penerbangan yang
tinggal di
Indonesia. Dahdah juga menjelaskan hubungan mereka dilakukan melalui
internet untuk saling memberi informasi.
Dalam edisi 2 Desember 2001, kembali El Pais di bawah judul La
Ampila
Red
Internacional del Espanol Abu Dahdah ('Perang Melawan Terorisme
Jaringan
Internasional Warga Spanyol Abu Dahdah') di antaranya ditulis bahwa
menurut
hasil pemeriksaan yudisial, Abu Dahdah melakukan kontak dengan para
pemimpin
tertinggi organisasi teroris di seluruh dunia: Inggris, Belgia,
Denmark,
Jordania, dan Indonesia. Di Indonesia, dia berhubungan dengan
Parlindungan
Siregar yang memimpin sebuah kamp latihan teroris pimpinan Osama bin
Laden
dengan lebih dari 2.000 orang anggota.
Sekarang kenyataan yang sebelumnya tidak terbayangkan telah terbuka.
Indonesia menjadi sorotan internasional dengan dugaan kuat sebagai
salah
satu basis tertoris. Terlepas benar atau tidak sorotan itu, kini para
pengamat dan politisi--mungkin karena desakan sejumlah fakta
kuat--tidak
bernafsu lagi membantah berbagai tudingan yang disertai bukti-bukti
konkret
seperti sejumlah orang Indonesia di luar negeri itu.
Trauma dan stigma Orba
Intelijen Indonesia memang bernasib kurang mujur. Sinyalemen-
sinyalemen
mereka yang sebenarnya sangat berguna untuk meningkatkan kewaspadaan
nasional selalu dilecehkan, dianggap menakut-nakuti, dan dinilai
menyudutkan
kelompok tertentu. Trauma masyarakat terhadap kinerja intelijen di
masa
Orde
Baru tampaknya sulit disembuhkan. Pada masa itu memang banyak aparat
intelijen yang bekerja untuk kepentingan kekuasaan. Sejumlah personel
intelijen yang bergaya sok jagoan, tampil sebagai 'spion Melayu' yang
menjemukan dan berperilaku bertentangan dengan perlindungan terhadap
hak-hak
asasi manusia dan gerak demokrasi. Kinerja intelijen seperti Bakin,
BIA,
Bais, dan sebagainya, di mata masyarakat kemudian digeneralisasi
selalu
negatif. Kondisi itu berlangsung hingga kini. Intelijen-intelijen
Indonesia,
termasuk BIN, bagai pepatah, 'sekali lancung di ujian, orang tak
percaya
seumur hidup.'
Jika krisis kepercayaan itu terus berlanjut, tentu tidak sehat bagi
kehidupan bernegara. Intelijen negara di mana pun mempuyai peran
strategis
untuk kepentingan bangsa dan negara. Bayangkan sebuah negara seluas
ini
dengan ribuan pulau dan keragaman etnis, budaya, dan agama tanpa
topangan
intelijen. Bisa jadi adanya ancaman dan bahaya baru diketahui secara
tiba-tiba tanpa ada upaya atau kesempatan untuk melakukan pencegahan
atau
setidaknya meminimalisasi ancaman bahaya itu. Sulit rasanya
menegakkan
stabilitas keamanan dan integritas wilayah. Intelijen secanggih CIA
atau FBI
milik Amerika Serikat atau KGB-nya Uni Soviet tempo dulu, memang
masih
bisa
dan sering kecolongan. Tetapi, peran institusi-institusi semacam itu
tetap
sangat besar untuk memelihara stabilitas keamanan dan menjaga
kedaulatan
negara yang bersangkutan.
Demikian juga dengan intelijen kita yang berada di berbagai wadah
institusi
dan kini dalam koordinasi BIN, tetap relevan untuk kepentingan
stabilitas
keamanan dan ketahanan nasional. Posisi geografis dan geopolitis
Indonesia
sangat rawan menyangkut munculnya kejadian-kejadian yang menimbulkan
kekacauan dan bahkan berpotensi mengundang intervensi asing. Untuk
itu
sikap-sikap apriori terhadap aktivitas dan informasi dari intelijen
perlu
dihindari. Masyarakat mesti menyadari sinyalamen intelijen tidak
untuk
dibantah, dicurigai, dan dilecehkan, tetapi sebagai warning untuk
antisipasi
pencegahan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sinyalemen
intelijen
yang
'ngawur' memang tidak sakral untuk dibantah, tetapi perlu argumen
faktual
dan ilmiah, bukan berbekal kecurigaan dan sikap apriori.
Sebaliknya, agar dipercaya masyarakat, intelijen kita perlu
memulihkan
citra
dengan menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Trauma dan stigma
akibat
kinerja berbagai korps intelijen di masa lalu perlu dihilangkan
dengan
performance yang profesional dan memadai. Setiap statemen atau
sinyalemen
perlu disampaikan dengan logis dan selektif, sehingga dapat
dipercaya.
Sinyalemen dan statemen yang ternyata tidak didukung bukti-bukti
kuat,
apalagi ada unsur politicking dan hanya menghasilkan sesuatu yang
counter
productive. Tanpa perubahan kinerja, sulit bagi masayarakat untuk
menghapuskan trauma dan stigma yang diakibatkan kinerja intelijen
kita
di
masa Orde Baru.
Yang barangkali perlu diubah juga adalah format informasi yang ingin
disampaikan intelijen kepada masyarakat. Dalam masyarakat yang
traumatis,
format informasi perlu dikemas sebaik-baiknya dengan mengedepankan
cara-cara
yang lugas dan steril dari segala bentuk politisasi. Di sini
institusi
intelijen perlu peka terhadap psikologi masyarakat yang baru saja
lepas
dari
tekanan berat selama bertahun-tahun.
Isu Al-Qaeda ini memberi pelajaran kepada kita bahwa intelijen kita
sesungguhnya tidak tumpul. Paling tidak intelijen kita bebas dari
tudingan
kecolongan. Segala cercaan dan kecurigaan terhadap institusi itu
telah
kehilangan relevansi. Yang diperlukan sekarang adalah peningkatan
profesionalisme kinerja institusi-institusi itu dan pemulihan
kepercayaan
dari publik.***