[Nusantara] Pengakuan Relawan di Sanglah Ada yang Selalu Ingin Dekat dengan Mayat
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Oct 20 09:24:25 2002
Pengakuan Relawan di Sanglah Ada yang Selalu Ingin Dekat dengan Mayat
Kepala menggelinding lalu diangkat dengan tangan -- dalam kondisi
normal semua
orang tak akan sanggup melakukannya. Kecipratan darah dan dengan
gaya
santai
memungut bagian tubuh manusia yang menghangus, adalah pekerjaan yang
membutuhkan
keberanian. Tetapi, ketika bom dari jenis C4 membuat kepala
terlempar
jauh,
tangan tercecer dan kaki entah di mana, kebaranian pun tersulut.
Bagi
para
relawan, kepala manusia yang lepas dari raganya dipungut lalu
dijinjing
adalah
sebuah pekerjaan dan tanggung jawab. Ia pun dengan sabar membuka
sarung
plastik
untuk mewadahinya. Blus, penggalan kepala orang itu lenyap dalam
rongga
kantong
plastik. Gambaran itu merupakan gambaran kecil dari cerita-cerita di
balik
evakuasi ratusan mayat dari reruntuhan Sari Club dan Paddy's, Sabtu
(12/10)
malam lalu.
-------------------------------------------------------
CERITA tentang keberanian yang muncul mendadak setelah melihat
jasad-jasad
bergelimpangan di Jalan Legian, kini menjadi hak banyak orang.
Relawan
dan
aktivis kemanusiaan memiliki banyak kenangan. Ceritanya, mungkin
layak
kita bagi
untuk berbagi keprihatinan. ''Ketika harus memungut potongan tubuh
manusia,
apalagi harus menarik mayat dari reruntuhan bangunan, saya sempat
kecipratan
darah.
Ketika saya tarik, darah segar masih muncrat,'' ujar Wira Kesuma,
salah
seorang
relawan dari PMI Cabang Denpasar.
Namun, percikan darah itu tak menghentikan langkahnya membantu para
korban.
Menurutnya, dalam keremangan malam, banyak orang terlihat sibuk
mengumpulkan
potongan-potongan tubuh yang berserakan. Bahkan, melihat relawan
menjinjing
kepala manusia, lalu dengan sabar memasukkan ke dalam kantong
plastik,
menjadi
pemandangan biasa. Apalagi, relawan yang memungut tangan dan
daging-daging
gosong yang berserakan di antara reruntuhan, jumlahnya sudah tak
terhitung.
Namun, bukan berarti pekerjaan itu tak berakibat. Ia mengaku
seharian
tak bisa
makan enak setelah kejadian itu. Lain lagi cerita yang datang dari
RS
Sanglah.
Ketika mayat-mayat mengalir dari lokasi ledakan diangkut ambulans,
banyak orang
yang berebutan menurunkan onggokan daging gosong itu. Bahkan, versi
Komang Toya
-- relawan dari Forum Peduli Denpasar (FPD) -- ada mayat yang ketika
mau
digotong kakinya lepas. ''Begitu saya angkat, mayat orang asing itu
kakinya
copot. Akhirnya, mayat itu saya rangkul menuju lokasi pembaringan di
depan kamar
mayat,'' ujarnya mengenang, saat-saat ratusan orang dengan tabah
hilir-mudik
membawa bungkusan mayat menuju kamar pemulasaraan. Masih menurut
Komang
Toya,
dalam kondisi serba terbatas, banyak relawan yang tak menggunakan
sarung tangan
dengan enteng menenteng potongan tangan, kaki dan tas kresek berisi
kepala
manusia. Bahkan, setelah sampai di tempat pembaringan mayat, banyak
relawan yang
dengan tabah membolak-balikkan mayat untuk diisi es. ''Saya
sebenarnya
paling
takut melihat mayat. Namun, saat itu bau daging gosong yang
menyeruak
tak
membuat saya mundur,'' ujarnya lagi.
Seharian bergaul dengan mayat-mayat korban ledakan bom itu, katanya,
kini
menjadi kenangan yang sulit dilupakan. ''Bayangkan, saya harus
membolak-balikkan
tubuh mayat dan menjajarkan tangan, kaki dan kepala yang terlepas
untuk
diisi
es. Mungkin, keberanian semacam itu tak akan pernah ada, jika saya
tak
punya
rasa benci terhadap teroris,'' kenangnya.
Tampak Seram Cerita lain datang dari relawan Nada Umbara, yang konon
dekat
dengan RI-1. Ia yang mengaku berada di RS Sanglah sejak pukul 23.45,
sekitar 30
menit setelah ledakan, juga dengan entengnya menurunkan mayat-mayat
dari
ambulans, agar kendaraan tersebut bisa kembali ke lokasi ledakan.
''Mayat, saat
itu seolah bukan hal yang mesti ditakuti. Kekuatan dan keberanian
mendadak
bangkit,'' jelasnya.
Namun, cerita berbau mistik dari keasyikan ini ternyata
mengikutinya.
Konon,
setelah sempat pulang dan diperciki tirta, rasa inginnya tetap
berada
di antara
mayat-mayat korban terus muncul. '' Petangnya, saya sudah diperciki
tirta.
Namun, rasa ingin untuk tetap berada dekat mayat seolah memaksa saya
ingin terus
berada di antara mayat-mayat yang gosong itu,'' jelasnya.
Oleh karena dorongan itu terus muncul, ia pun akhirnya kembali lagi
ke
Sanglah.
Malam harinya karena lelah, ia pun pulang dan tidur. Namun, tanpa
disangka,
istrinya malah mengaku ketakutan, seolah melihat dirinya seperti
orang
menyeramkan. ''Mungkin arwah korban ikut, sehingga saya tampak
menyeramkan,''
ujarnya.
Cerita ini pun, menurutnya, telah diceritakan kepada relawan lainnya
yang hingga
kemarin masih setia mengawal mayat tanpa identitas jelas di ruang
pemulasaraan.
Pengakuan relawan yang asyik mengumpulkan jasad-jasad menghangus,
merupakan
bagian lain dari rentetan kebiadan teroris. Mayat yang kini nyaris
membusuk di
RS Sanglah pun masih tetap membutuhkan simpati orang. Dalam kondisi
telah
menebar bau busuk, ratusan mayat itu kini seolah menunggu giliran
untuk
diidentifikasi. Ini kepala milik siapa dan dari mana, seolah
menunggu
jawaban
segera tim forensik.
Mayat-mayat tanpa identitas itu, menurut orang-orang FPD yang kini
mendapat
mandat khusus sebagai koordinator relawan, memang telah ditaburi
bubuk
kimia
bantuan pemerintah Australia. Bau busuk memang dapat dinetralisasi,
namun aliran
air dari es pendingin tetap saja perlu perhatian, agar tak
menimbulkan
masalah
lingkungan,'' ujar Komang Toya dan Humas FPD I Made Sudira.
Pengakuan para relawan ini hanyalah satu sisi, bagaimana Bali
menghadapi
kedukaan. Rasa kebersamaan mutlak kita pupuk agar tragedi Kuta tak
terulang lagi
di Bali. (dir)