[Nusantara] Kita Harus Yakin Mampu Keluar dari Kompleksitas Kesulitan Ini

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Oct 20 09:48:26 2002


Kita Harus Yakin Mampu Keluar dari Kompleksitas Kesulitan Ini

KETIKA memberikan sambutan pada pembukaan Musyawarah Nasional 
(Munas)  
XII
Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 
(Pepabri) 
dan
Munas IX Persatuan Istri Purnawirawan (Perip) TNI/Polri 2002 di 
Istana
Negara, Jakarta, Jumat (18/10), Presiden Megawati Soekarnoputri
mengemukakan, pemerintah merasa "terpasung" dalam melakukan berbagai
kebijakannya akibat politisasi berlebihan.
"Apakah sudah sedemikian rupa yang namanya sulit untuk saya katakan. 
Sense
of belonging atau apapun namanya, sehingga sesuatu hal itu rupanya 
sekarang
begitu besarnya bobot mempolitisir suatu persoalan sehingga persoalan
seperti tertutup demikian besarnya," ujar Presiden Megawati yang 
berbicara
di luar teks itu.
Ya, terpasung adalah kata yang ditekankan Megawati. Tentu maksud 
presiden
adalah pemerintah selama ini merasa terbelenggu oleh politisasi yang
berlebihan itu. Agar lebih gamblang, presiden memberi contoh, 
bantuan 
untuk
asrama TNI/Polri sebesar 30 milyar akhirnya menjadi ramai tanpa 
melihat
substansi masalah pentingnya meningkatkan kesejahteraan prajurit.
MEMANG, ketika meninjau Asrama Prajurit Batalyon Marinir Pertahanan
Pangkalan II (Yonmarhanlan) di Sunter, Jakarta Utara, tanggal 25 
Februari
lalu, Presiden Megawati menyatakan memberikan bantuan kepada tiga 
angkatan
TNI dan Polri masing-masing sebesar Rp 7,5 milyar.
Hari berikutnya, bantuan yang diberikan karena prihatin melihat 
asrama
TNI/Polri selama ini justru menjadi perdebatan seru di Dewan 
Perwakilan
Rakyat (DPR). Pemrakarsa hak interpelasi dana bantuan asrama 
TNI/Polri 
sibuk
mengumpulkan tanda tangan untuk mengajukan hak interpelasi atau 
permintaan
keterangan kepada presiden.
Di lain pihak, anggota DPR yang tidak setuju hak interpelasi justru
menegaskan bahwa usulan hak interpelasi dana Rp 30 milyar itu tidak 
relevan
karena sudah ada mekanisme yang baku dalam pengelolaan APBN. Apalagi 
dana Rp
30 milyar itu adalah dana APBN, diambil dari Daftar Isian Proyek 
(DIP) 
TNI/
Polri yang merupakan lampiran UU APBN.  Pihak yang tidak setuju juga
menilai, pengajuan hak interpelasi sebagai langkah yang tidak perlu 
dan
dinilai terlalu mubazir.
SIMAK apa yang diungkapkan Presiden Megawati lagi. "Ketika pada 
waktu 
itu
masih ada yang disebut Bantuan Presiden, dengan begitu transparan 
saya
berikan langsung kepada Kastaf, tapi yang ada justru bukannya 
terpancing
suatu perhatian yang besar terhadap kesejahteraan TNI/Polri dari 
seluruh
masyarakat dan bangsa Indonesia, namun hal itu menjadi terpolitisir. 
Sampai
apa boleh buat, saya hanya mengelus dada saja," ujarnya.
Menurut Megawati, masalah itu sebenarnya masalah yang tidak sulit, 
tetapi
akibat dipolitisasi, membuat pemerintah "terpasung" mewujudkan secara
konkret. Mungkin, inilah bagian dari proses reformasi dan demokrasi 
yang
sedang dijalani bangsa Indonesia. Padahal yang ingin ditekankan 
presiden
adalah pemerintah dapat bekerja lebih giat dan lebih keras, namun 
apa 
daya
saat ini awan politik sangat kuat memayungi Indonesia. Akibatnya 
begitu
sulit untuk bekerja dan suatu soal yang sebenarnya mudah menjadi 
sedemikian
rumit.
TRAGEDI Bali sebenarnya bisa diminimalisir bila tidak ada politisasi 
yang
berlebihan. Begitulah realita sekarang ini, kita sibuk 
mempolitisasikan
suatu masalah, sehingga masalah utama bagaimana menemukan pelaku 
peledakan
bom di Bali akan semakin kabur. Alangkah bagusnya, bila pejabat-
pejabat 
yang
datang ke Bali adalah mereka yang benar-benar terjun di bidangnya, 
terutama
mengungkap pelaku dan mengidentifikasi korban yang saat ini masih 
terus
dilakukan.
Adalah suatu yang wajar dan manusiawi bila keluarga korban bom Kuta 
sempat
bangkit emosinya akibat penanganan petugas medis yang kesulitan
mengidentifikasi jenazah korban. Pasalnya tim medis dari berbagai 
negara
sudah begitu banyak mengulurkan bantuan mengurangi beban petugas 
medis
Indonesia, namun kok penanganan identifikasi sangat lambat. Namun 
harus 
juga
diakui, petugas yang kurang, fasilitas RS Sanglah terbatas -- apalagi
menerima ratusan jenazah -- mau tidak mau perlu waktu lama 
menuntaskannya.
Selain lamanya identifikasi jenazah, lamanya pengungkapan siapa 
pelaku
peledakan juga ikut dipertanyakan keluarga korban. Padahal kerja sama
internasional menangani teror bom ini tengah berlangsung. Tragedi 
Bali 
kini
bukan saja menjadi keprihatinan Indonesia semata, namun sudah menjadi
keprihatinan dunia. Seluruh dunia mengutuk dan sepakat menyeret 
pelakunya ke
pengadilan.
UPAYA pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-undang
(Perpu) Antiterorisme patut kita dukung. Gayung pun bersambut, DPR 
juga
menyetujuinya. Tinggal kita menunggu keseriusan pemerintah 
mengungkap 
pelaku
peledakan bom di Kuta, karena dasar tindakannya sudah ada, aparat 
ada,
dukungan pemerintah dan parlemen kuat, ditambah Perserikatan Bangsa 
Bangsa
(PBB). Jangan sia-siakan kesempatan ini, kita harus serius 
menuntaskannya.
Berhentilah mempolitisasikan tragedi Bali, karena nyawa manusia, 
nasib
bangsa dipertaruhkan.
Apa yang dikemukakan Presiden Megawati, bahwa yang perlu dilakukan 
adalah
mencari dan menyepakati berbagai alternatif yang terbuka untuk 
mengatasi
serta meletakkan landasan yang lebih kokoh untuk normalisasi dan 
stabilisasi
keadaan layak direnungkan semua pihak. Keprihatinan atau keluhan 
presiden
memang benar. Namun biar bagaimana pun sulitnya suatu masalah, kita 
harus
yakin dan percaya bahwa kita mampu keluar dari rantai kesulitan 
ini.  
(**)
(Kompas, Sabtu, 19 September 2002)