[Nusantara] Terorisme dan Remiliterisme
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 25 04:05:15 2002
Terorisme dan Remiliterisme
M Alfan Alfian M Analis sospol katalis dan ACG, Jakarta
PRESIDEN Megawati Soekarnoputri Jumat (18/10) malam akhirnya
menandatangani
dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengenai
Terorisme.
Kedua perpu itu ditandatangani Megawati setelah dilakukan pembahasan
dan
perbaikan secara maraton di Istana Negara. Kedua perpu itu adalah
Perpu
No
1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No
2/2002
tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 untuk Melakukan Penyelidikan,
Penyidikan, dan Penuntutan Para Pelaku Peledakan di Bali.
Menurut Menkeh dan HAM, Perpu No 1/2002 tidak berlaku surut,
sedangkan
Perpu
No 2/2002 hanya berlaku khusus untuk kasus peledakan bom yang
terjadi
Sabtu
(12/10) lalu di Bali. Penanganan peristiwa teror sebelum kedua perpu
itu
lahir tetap menggunakan dasar hukum KUHP dan UU No 12/1961 tentang
Kepemilikan Senjata Api.
Tentu saja, sebagai sebuah keputusan politik yang diambil dengan
demikian
cepat, ia seolah tidak menyisakan kesempatan bagi publik untuk
berwacana.
Setelah perpu itu hadir, dan aparat keamanan mulai progresif
melakukan
penyelidikan, barulah wacana itu hadir, bahkan diperkirakan mampu
menumbuhkan reaksi. Reaksi muncul bila kelak perpu tersebut
diterjemahkan
secara bebas bagi aparat keamanan untuk bertindak secara berlebihan,
dan
bersinggungan dengan iklim demokrasi yang tengah berkembang.
***
Akankah peristiwa teror di Bali memunculkan kebijakan negara yang
represif
dalam bidang keamanan? Akankah militerisme berkembang kembali?
Akankah
alat
negara yang punya kewenangan menggunakan kekerasan dan memiliki
senjata
secara legal (TNI dan Polri) makin menghegemoni segala hal, yang bisa
ditarik ke alasan keamanan? Militerisme, lebih bermakna merujuk
kepada
cara-cara aparat keamanan mengedepankan pendekatan militeristik
sebagaimana
'pendekatan keamanan' ala Orde Baru.
Terorisme memang hal yang mencederai demokrasi. Demokrasi menyiratkan
nilai-nilai kebebasan dan bebas dari ketakutan (freedom of fear).
Sementara
terorisme sengaja diciptakan untuk merampas itu semua. Namun
demikian,
ia
juga bisa jadi pintu masuk untuk meminggirkan demokrasi. Demokrasi,
lantas
dinilai sebagai wilayah yang cukup longgar bagi tumbuhnya terorisme.
Persoalannya tidak sekadar terkait dengan keamanan semata, tetapi
jauh
daripada itu adalah bagaimana kebebasan yang ada bisa lebih
terkontrol.
Ledakan bom di Bali yang dilakukan para teroris itu menumbuhkan
pemikiran
yang memperkuat pola pendekatan keamanan, yang memaksimalkan peran
aparat
(Polri dan TNI). Dalam sebuah Sidang Kabinet pasca-Bom Bali,
Panglima
TNI
Jenderal Endriartono Sutarto mengusulkan untuk membentuk badan
intelijen
baru. Pertimbangannya, selama ini, lembaga intelijen yang ada, baik
Badan
Intelijen Nasional (BIN) maupun intelijen Polri, kurang ada
koordinasi
yang
baik dan efektif. Badan intelijen baru itu untuk mengefektifkan
koordinasi.
Dalam konteks pendekatan keamanan, intelijen yang kuat adalah salah
satu
kuncinya.
Kunci yang lain adalah kuatnya kontrol keamanan wilayah. Dalam
konteks
ini,
KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu berpendapat, untuk mengefektifkan
kondisi
keamanan, tidak ada alasan untuk membubarkan Komando Distrik Militer
(Kodim)
di daerah-daerah, bahkan kalau perlu ditambah. Pendapat Ryamizard,
barangkali didasari oleh pertimbangan bahwa soal keamanan, di tengah
situasi
yang penuh dengan ancaman terorisme, tidak cukup bila hanya
mengandalkan
aparat kepolisian. Wacana yang dilontarkan Ryamizard tersebut memang
cukup
beralasan, tapi sengaja atau tidak bisa menyingkirkan wacana
peninjauan
kembali fungsi teritorial TNI.
***
Apakah lontaran-lontaran di atas merupakan sebentuk gejala
remiliterisasi
alias peningkatan kembali peran militer --setelah tercapai keputusan
pihaknya tidak duduk lagi di DPR dan MPR, serta tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu? Berakhirnya politik TNI/Polri di MPR dan DPR,
bukan
berarti merupakan akhir dari politik militer. Dalam konteks
peningkatan
profesionalisme, politik masih diperlukan, misalnya bagaimana
memengaruhi
pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran. Di samping itu,
karena
secara struktural TNI dan Polri berada di bawah (bertanggung jawab
kepada)
presiden, maka mereka bisa mengajukan usulan-usulan yang dapat
digolkan
lewat sidang kabinet.
Remiliterisasi di sini bermakna, progresivitas kalangan TNI
mendesakkan
usulan-usulan politiknya kepada pemerintah, serta upaya-upayanya
untuk
memperkukuh lembaga TNI secara struktural, dan kontrol teritorial
yang
kuat.
Istilah ini berkebalikan dengan demiliterisasi, sebagaimana yang
berkembang
selama ini, setelah Orde Baru jatuh. Demiliterisasi bermakna reduksi
peran
militer, terkait dengan penghilangan fungsi sosial politik
(sospol)-nya.
Demiliterisasi menghendaki peran militer secara profesional. Salah
satu
wacana yang berkembang, sebagai cabang dari demiliterisasi ialah
deteritorialisasi. Karena fungsi sospol sudah ditiadakan, seharusnya
fungsi
teritorial juga sebaiknya ditinjau ulang. Demikian alur pikir yang
berkembang.
Wacana soal supremasi sipil sendiri, di Indonesia, tampak belum
tuntas.
Secara struktural, masih ada semacam kerancuan-kerancuan. Sementara
di
sisi
lain, pada saat yang sama, wacana ini bisa tersingkir oleh sebuah
argumentasi yang lugas: harus disesuaikan kondisi keamanan yang
sedang
gawat. Maka, bila tidak hati-hati, dan tidak proporsional dalam
menyikapi
dan memutuskan sesuatu yang menyangkut soal gangguan keamanan dan
keterlibatan Polri dan TNI untuk mengatasinya, hasilnya akan
kontraproduktif, terutama yang terkait dengan harmonisasi hubungan
sipil-militer di era reformasi.
***
Tidak bisa disalahkan begitu saja bila pendekatan bidang politik dan
keamanan, lantas mulai penuh dengan ketegasan sikap. Sebuah dilema
memang
muncul: satu sisi pembangunan bidang politik dan keamanan harus
seiring
sejalan dengan proses demokratisasi. Di sisi yang lain, pihaknya
harus
tegas
dan antisipatif terhadap segala kemungkinan munculnya aksi
terorisme.
Tentu
saja hal tersebut merupakan tantangan yang tidak ringan. Maka
sebaiknya,
memang diperlukan sosialisasi kebijakan bidang politik dan keamanan
secara
efektif, dan mampu dipahami oleh khalayak, sehingga memperoleh
dukungan
dan
pencapaian-pencapaian yang efektif.
Persoalan terorisme sesungguhnya bukan sekadar persoalan sipil saja
atau
militer an sich. Ia merupakan persoalan semua pihak, baik negara
(state),
masyarakat (civil society), maupun pasar (marketplace). Sebab, imbas
dari
aksi terorisme menyentuh level negara, dan membuat persoalan krusial
di
masyarakat serta pasar. Oleh karenanya, semua pihak diharapkan sadar
dan
konstruktif dalam mengantisipasi kemunculan terorisme.
Dan, bagaimanapun Tragedi Bali, (1) merupakan peristiwa yang
menyentakkan
khalayak untuk tidak saja sadar akan pentingnya nilai-nilai
kemanusiaan,
tetapi juga mengimbau agar peristiwa sedemikian tidak terjadi lagi;
(2)
menghendaki peningkatan upaya antisipatif (semua pihak) agar kasus
serupa
tidak terulang kembali; (3) ketegasan pemerintah dalam menangani
kasus-kasus
yang terkait dengan terorisme, tidak dilakukan secara gegabah,
militeristik
dan antidemokrasi; (4) hendaknya desain pengambilan keputusan
dilakukan
secara bijaksana, tanpa mengorbankan kewibawaan sebuah pemerintahan
sipil,
tak harus memaksakan 'remiliterisasi'. Wallahu a'lam.****