[Nusantara] terorisme, Tragedi Kematian Moral dan Suara Hati

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:02:40 2002


Terorisme, Tragedi Kematian Moral dan Suara Hati 


Oleh Benny Susetyo
PERISTIWA peledakan bom di kawasan Legian, Bali, beberapa pekan lalu, 
tidak saja bisa dinilai sebagai sebuah tragedi umat manusia yang 
berupa terorisme, tetapi juga sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. 

Boleh jadi, peristiwa tersebut merupakan puncak runtuhnya gunung es 
berupa teror yang sesaat sebelumnya kurang begitu diyakini. Namun 
jangan lupa, tragedi di Legian amat boleh jadi hanya merupakan umpan 
awal dari serangkaian terorisme yang akan diserangkan ke negeri ini. 
Jadi, apa yang sedang kita pikirkan dengan kasus itu? Waspada! 
Tingkatkan keamanan dan kedisiplinan masyarakat. Bukan hanya itu, 
jauh yang lebih penting adalah bagaimana aparat bersikap tegas 
terhadap segala bentuk teror! 

Teror adalah sebuah proses untuk menciptakan tragedi. Meski tidak 
selalu mensyaratkan darah tertumpah, tragedi selalu berusaha melukai 
relung-relung paling dalam. Selanjutnya, meminjam analisis F Budi 
Hardiman (Kompas, 10/2), sebagai peristiwa negatif, tragedi akan 
menyisakan apa yang disebutnya sebagai trauma (kolektif). 

Maka kita pun bertanya, akankah tragedi Bali akan melahirkan trauma 
kolektif itu? Ataukah ia hanya merupakan serpihan-serpihan belaka 
dari serangkaian peledakan sebuah barang bernama Indonesia? 
Pertanyaan ini mungkin tak perlu dijawab, sebagaimana saat kita 
bertanya siapa yang meledakkan Sari Club di Legian Bali pekan lalu. 

Di sini penulis setuju dengan Salim Said dalam komentarnya di TVRI 
(16/10), mungkin masyarakat luas (termasuk politisi) tak perlu panik 
atas siapa pelaku peledakan bom itu. Sebab akibatnya, tanpa memiliki 
keilmuan memadai, elite hanya akan saling tuding, saling menyalahkan, 
dan saling mengambinghitamkan. Aparat keamananlah (polisi, BIN, FBI, 
dan sebagainya) yang bertanggung jawab mengungkap dan menghukum 
seberat-beratnya. Jadi, bukan siapa yang melakukan peledakan yang 
penting untuk direfleksikan masyarakat, tetapi bagaimana efek dari 
peledakan itu, mengapa aparat tidak siaga sehingga kecolongan. Apa 
dampaknya bagi ekonomi, politik, budaya pariwisata, dan seterusnya. 


***
PERISTIWA Bali adalah salah satu puncak tragedi kemanusiaan yang 
menyayat nurani manusia. Semua makhluk di bumi akan mengutuk tindakan 
ini sebagai sebuah tindakan amoral. Tindakan amoral adalah tindakan 
yang tidak menggunakan mata hati. Sebab, hanya dengan amoralitas dan 
kematian suara hatilah yang akan membuat teroris tega untuk 
melakukannya. Jadi, tindakan ini akan bisa dikategorikan sebagai 
kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. 

Kejahatan kemanusiaan merupakan sebuah tragedi yang tidak saja 
memilukan karena martabat manusia sudah tidak dihargai, tetapi secara 
paksa dimatikan. Hilangnya martabat berarti hilangnya kehidupan. 
Itulah yang terjadi pada tragedi Bali saat nilai hidup sudah pudar. 
Tanpa merasakan bahwa dirinya sebenarnya adalah manusia, teroris 
menciptakan perasaan cemas, takut, dan memaksakan manusia lain agar 
kehilangan harapan. 

Muncul pertanyaan besar, apakah dunia kini sudah kehilangan nilai-
nilai kemanusiaan itu? Bila ini benar, maka benar pula yang dikatakan 
Sartre, sang eksistensialis, bahwa hidup adalah suatu kesia-siaan an 
sich. Jadi, baik peristiwa 11 September 2001 (WTC, New York) maupun 
12 Oktober 2002 (Legian, Bali) merupakan paradoks kemanusiaan yang 
kita alami saat ini. Nilai manusiawi kita hilang, sirna, dan 
terjerembab ke dalam nafsu-nafsu binatang. 

Tragedi besar tahun ini memaksa mata dunia terbuka lebar bahwa 
terorisme menyerang tanpa mengenal batas, wilayah, agama, dan bangsa. 
Terorisme tak mengenal kemanusiaan lagi karena bahasa yang digunakan 
tak lebih adalah bahasa pencabut nyawa, seperti malaikat saja 
laiknya. Dia adalah iblis jahat yang menjelma dalam ketakutan dalam 
menghadapi sebuah perubahan besar dewasa ini. 

Akan tetapi, mengapa harus dengan kekerasan dan membunuhi banyak 
orang tak berdosa hanya karena kepentingan-kepentingan tidak jelas? 


***
CIRI buruk modernisasi, seperti kita ketahui, adalah begitu arogannya 
menciptakan manusia modern menjadi pemuja berhala teknologi. Bacon 
pernah menyatakan, siapa yang menguasai iptek akan menguasai dunia. 
Dan hanya manusia yang mau mengikuti nafsu teknologi itu yang mampu 
merespons perubahan sosial yang begitu cepat. Tetapi, manusia modern 
tidak menyadari, ia menghadapi dua mata pedang sekaligus: menjadi 
subyek teknologi sekaligus menjadi obyek (korban) dari tekonologi itu 
sendiri. 

Sisi lain, Fukuyama, seolah menjustifikasi dalam bentuk estimasi, 
mengatakan, pascaruntuhnya tembok Berlin di Jerman, dunia akan 
diakhiri dengan kekuatan demokrasi, atau tepatnya kekuatan 
kapitalisme. Dan, dunia akan damai di bawah kepemimpinan yang 
demokratis dan perekonomian yang kapitalistik. Tetapi, jika ia benar, 
mengapa proses yang harus dialami manusia masih harus diwarnai dengan 
cipratan darah manusia tanpa terhitung? Bagaimana dengan kasus-kasus 
di Bosnia-Herzegovina, Israel-Palestina, atau AS-Irak yang masih haus 
daerah itu? Ataukah juga bagaimana dengan tragedi Legian Bali ini? 

Dunia menangis melihat tragedi kemanusiaan terus berlangsung. Harga 
kehidupan tak ada artinya lagi. Semua peristiwa terjadi begitu cepat, 
dan secepat itu hilang dari memori manusia (manusia sendiri 
mengoleksinya di mikrochip-mikrochip ciptaannya ragam seteru itu). 
Dunia pun membisu dengan semua peristiwa berdarah ini. 

Namun, tiba-tiba kita tersentak dengan persoalan terorisme sebagai 
musuh bersama (common enemy) dunia. Ini adalah persoalan kemanusiaan, 
tak terkait langsung dengan politik dan agama. Tetapi, politik dan 
agama tentu saja harus bertanggung jawab mengapa tatanan sosial yang 
dibangun dengan tujuan damai ternyata masih menyisakan kabar-kabar 
kebencian. Politik harus bertanggung jawab karena perilaku konflik 
dan dendam yang terus digolakkan antarelit. Agama pun demikan, ia 
harus bertanggung jawab karena ada sebagian di dalamnya yang masih 
suka kebencian, bukan kedamaian. 

Bukankah secara akal sehat kita menyadari, korban tragedi adalah 
mereka yang tak tahu apa-apa soal politik? Sang korban adalah mereka 
yang merindukan damai. Rasa damai yang mereka rindukan tetapi yang 
didapat justru kepedihan di hati. Hati mereka terluka karena mereka 
tak bersalah tetapi dijadikan korban. 

Ini adalah akibat dari sebuah lingkaran kekerasan-seperti kata Dom 
Helder Camara-yang melahirkan kekerasan baru dan selanjutnya menjelma 
menjadi kekuatan iblis yang gelap, yang mendiami sanubari manusia tak 
bersuara dan mata hati. Mereka menjadi pembunuh berdarah dingin 
karena nuraninya telah mati akibat cinta dan kasih yang hilang. Kata 
Erich Fromm, manusia yang tidak memiliki cinta hanya berpikir untuk 
diri sendiri. Dia ingin memuaskan diri hanya untuk memenuhi kebutuhan 
akan pengakuan diri. Apa yang terjadi? Yang terjadi ialah berlakunya 
hukum Darwinisme sosial: siapa kuat dia menang dan berlangsung tanpa 
adanya kasih dan cinta. 


***
NAMUN demikian, semoga dengan adanya peristiwa Bali, common enemy 
kita makin jelas. Juga kita bisa merajut kembali benang-benang 
kemanusiaan yang terputus karena konflik yang ada di belahan Bumi 
Pertiwi ini. Mungkin ini 
awal hidup baru untuk menciptakan wajah dunia baru yang lebih 
humanis. 

Gerakan Moral Nasional menyatakan, tragedi ini merupakan persoalan 
kemanusiaan. Semua agama tidak membenarkan tindakan ini karena agama 
mengajarkan kedamaian. Agama mencintai nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, 
melawan nilai kemanusiaan berarti melawan agama. Tetapi di sisi lain, 
umat beragama harus mau bercermin atas bopengnya wajah kemanusiaan 
kita dari hari ke hari akibat kepentingan-kepentingan jahat yang 
disusupkan pada organ-organ agama. Mari kita bergandeng tangan 
melawannya. 



Benny Susetyo Pr Rohaniwan dan budayawan, tinggal di Malang