[Nusantara] Mendayung di antara Dua Karang, AS dan Jepang

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:02:52 2002


Mendayung di antara Dua Karang, AS dan Jepang
Oleh Padang Wicaksono

Belakangan ini, tak ada berita yang paling hangat dan
paling dinanti selain up-date tentang ledakan bom Bali
berikut dampak lanjutannya. Di ukur dari frekuensi
liputan media massa maka isu Tragedi Bali tak pelak
lagi telah menghiasi headline suratkabar Tanah Air
maupun luar negeri terhitung sejak The Black Saturday
October 12th Tragedy terjadi.

Tampaknya, urgensi dari dampak lanjutan Tragedi Sabtu
Kelabu tidak hanya menyangkut Indonesia saja melainkan
negara lain pun turut berkepentingan akan masa depan
negara kita. Nakamura Akemi, seorang staf redaksi The
Japan Times, dalam kolomnya yang berjudul "Japan
likely to balance trade and security at APEC meeting,"
(Japan Times, 22 Oktober 2002) mengulas tentang
rencana Kabinet Koizumi yang akan meluncurkan
capacity-building project yang dirancang untuk negara
berkembang dalam upaya mendidik tenaga ahli di
berbagai bidang khususnya imigrasi, pabean, manajemen
perdagangan, kepolisian, dan penegakan hukum.

Kebijakan Koizumi di atas memang tidak dikhususkan
pada Indonesia saja namun tidak dapat dipungkiri
gagasan tersebut semakin menguat tatkala teror bom
menghajar Pulau Dewata Bali. Bahkan, Koizumi berencana
mengagendakan capacity-building project ini pada
Sidang Tahunan APEC yang akan berlangsung di Meksiko
pekan ini. Lebih lanjut, PM Jepang yang sekaligus
elite partai berkuasa LDP ini akan membicarakan
gagasannya dengan para pemimpin 21 negara anggota APEC
termasuk Indonesia tentang realisasi proyek tersebut
yang rencananya akan diluncurkan pada tahun fiskal
2003.


Peran AS dan Jepang

Sebagai kekuatan ekonomi terkemuka di dunia di samping
Amerika Serikat, Jepang tentu ingin memainkan
peranannya lebih besar terutama untuk kawasan Asia
Pasifik. Jika Presiden George Walker Bush terus
berkampanye anti-terorisme maka Koizumi mencoba
mengambil keseimbangan dengan menekankan pada
stabilitas perekonomian regional. Tak dapat dipungkiri
baik Bush maupun Koizumi tentu punya kepentingan yang
sangat besar akan stabilitas politik-ekonomi kawasan
Asia Tenggara, terutama sekali Indonesia.

Dalam konstelasi ekonomi-politik Indonesia pasca
tumbangnya Presiden Sukarno, Amerika Serikat dan
Jepang silih berganti memainkan peranannya terutama
berkaitan dengan pengucuran dana pinjaman luar negeri
maupun penanaman modal asing. Bila Amerika Serikat
lebih menekankan pada "intervensi" politis maka Jepang
lebih berorientasi ekonomis terbukti dengan
membanjirnya produk Jepang berikut berdirinya
pabrik-pabrik perusahaan multinasional Jepang.

Dilihat dari sejarah masa lampau terkait dengan
pergolakan kemerdekaan Indonesia maka Jepang menyimpan
noda hitam yang kelam dalam memori sebagian rakyat
Indonesia yang pernah menjadi korban Romusha maupun
kekejaman Polisi Rahasia Kenpeitai. Pascakemerdekaan,
puncak sentimen anti-Jepang diwujudkan dalam
demonstrasi mahasiswa menjelang kedatangan PM Tanaka
Kakuei (Ayahanda mantan Menlu Tanaka Makiko yang
dipecat oleh PM Koizumi) ke Jakarta pada 15 Januari
1974. Demonstrasi antimodal asing Jepang tersebut
kemudian terkenal dengan sebutan "Peristiwa Malari".
Perlu diketahui bahwa demonstrasi anti-Jepang ketika
itu juga turut meluas ke Asia Tenggara di mana
negara-negara ini memang pernah merasakan pahitnya
kekejaman bala tentara Dai Nippon pada masa Perang
Dunia II.

Sebaliknya, dalam periode sebelum meletusnya G-30-
S/PKI, Amerika Serikat relatif memiliki catatan yang
"lebih baik" dari Jepang atas Indonesia di masa lampau
meski sempat ternoda dengan keterlibatan CIA dalam
Peristiwa PRRI/Permesta 1957. Salah satu "jasa"
Amerika Serikat pada negeri kita adalah tatkala negeri
Paman Sam ini sedikit banyak turut menekan Belanda
dalam dekolonisasi Indonesia sebagai kelanjutan dari
resolusi Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November
1949) yang berlangsung di Den Haag, Belanda. Kemudian
Amerika Serikat juga turut mendukung langkah-langkah
Presiden Sukarno dalam upaya merebut Irian Barat dari
tangan Belanda.

Di masa kini situasi di atas telah berbalik di mana
sentimen anti-AS semakin menebal tidak hanya di
kalangan "garis-keras" saja namun juga pada kelompok
yang "lebih moderat" sekalipun. Sementara perasaan
anti-Jepang semakin jarang nampak bahkan nyaris tidak
muncul oleh karena Jepang lebih fleksibel dan punya
fatsoen dalam menjalankan politik luar negerinya
dibanding Amerika.

Ujung pangkal sentimen anti-AS tidak terlepas dari
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang
cenderung berat sebelah terutama sekali dalam
menyikapi isu konflik Palestina-Israel. Puncak dari
gejala sentimen anti-AS berlangsung tatkala Presiden
George Walker Bush bereaksi overacting atas Black
September 11th Tragedy dengan melancarkan kampanye
anti-terorisme dalam skala penuh yang berujung pada
pembumi hangusan Afghanistan. Dalam perkembangan
selanjutnya, kampanye anti-terorisme Bush ini semakin
memprovokasi perasaan anti-AS tidak saja di
negara-negara Muslim namun juga negara lain yang
pernah menjadi korban intervensi sepihak Amerika
Serikat.

Dalam situasi perasaan anti-AS yang semakin meluas,
Jepang kembali mencoba memainkan perannya sebagai
penyeimbang kekuatan AS tidak dalam kapasitas sebagai
kekuatan militer namun kekuatan ekonomi. Dengan
kemakmuran ekonomi yang dimilikinya, Jepang mencoba
melakukan bargaining-position dengan Amerika Serikat.
Dalam pidatonya baru-baru ini di hadapan Dewan
Hubungan Luar Negeri Jepang, PM Koizumi menekankan
pentingnya kerjasama dan saling pengertian antara
Jepang-AS dalam menyikapi 3 tantangan utama abad ke-21
ini. Tiga tantangan itu meliputi keamanan Jepang-AS
pasca-Tragedi 11 September 2001, terciptanya keamanan
dan kemakmuran di Asia-Pasifik, dan mewujudkan
kemakmuran bersama di era globalisasi.

Tantangan pertama menyangkut kampanye anti-terorisme
di mana terjadi perbedaan yang cukup tajam antara AS
danJepang. AS mewujudkan kampanye anti-terorisme dalam
bentuk kebijakan "sapu bersih" kelompok radikal Islam
berikut pendukungnya. Sebaliknya, Jepang lebih
berhati-hati dalam menyikapi kampanye anti-terorisme
ini. Jepang lebih mengutamakan hubungan jangka panjang
dengan negara-negara muslim yang sebagian besar adalah
ladang minyak dan gas. Ini tidak heran oleh karena
Jepang sangat tergantung pada pasokan minyak dan gas
dari negeri-negeri muslim seperti Indonesia dan
negeri-negeri semenanjung Arab. Lebih jauh, Indonesia
merupakan negara yang paling besar menerima ODA
(Overseas Development Assistance) dari Jepang. Maka
tak heran jika kepentingan Jepang cukup besar di
republik ini.


Tantangan kedua menyangkut terpeliharanya kepentingan
ekonomi AS dan Jepang di wilayah Asia Pasifik. Dalam
isu ini baik AS dan Jepang menunjukkan kesepahaman.
Dampak selanjutnya bisa diduga berupa pengucuran dana
yang lebih besar dari kocek dua superpower ini demi
stabilitas ekonomi-politik Asia Pasifik termasuk RI.

Tantangan ketiga menyangkut upaya pemulihan ekonomi
Jepang dari resesi berkepanjangan selama 11 tahun
terakhir pasca bubble economy dan juga pemulihan
ekonomi AS pasca-The Black September 11th Tragedy.
Berbicara tentang globalisasi ekonomi tentu tak
terlepas dari kepentingan dominasi AS dan Jepang atas
perekonomian dunia.


Masa Depan Indonesia

Meski kinerja Pemerintahan Megawati tak kunjung
memuaskan namun segala persoalan yang membelenggu
negeri kita tentu tidak bisa ditimpakan begitu saja
pada beliau. 

Sungguh tidak adil bila membebankan seluruh
mismanagement negara kita pada Megawati seorang oleh
karena sedikit banyak beliau mewarisi kondisi
ekonomi-politik yang tidak menguntungkan dari para
pendahulunya.

Dalam situasi ekonomi-politik global yang memang
praktis dikuasai oleh AS, Eropa Barat dan Jepang maka
tidak ada jalan lain bagi Pemerintahan Megawati selain
memainkan diplomasi canggih demi manfaat positif yang
bisa dipetik bagi bangsa Indonesia.

Suka atau tidak suka, AS dan Jepang memiliki akumulasi
kapital yang luar biasa besarnya. Jika Megawati cukup
cerdik maka dana berlimpah yang dimiliki oleh kedua
superpower itu bisa dimanfaatkan untuk membenahi
perekonomian yang tak kunjung sembuh dari krisis.
Penulis teringat akan politik Sultan Nuku yang
berhasil memanfaatkan kekuatan Spanyol dan Portugis
untuk mengusir Belanda dari Tidore. Meski tidak sama
persis, Megawati hendaknya bisa memanfaatkan
kepentingan AS dan Jepang atas masa depan Indonesia
sebagai bargaining-position dalam upaya mengatasi
krisis multidimensi ini.

Di tengah-tengah hujan kritik yang semakin pedas
dialamatkan pada Megawati, maka inilah saat yang tepat
untuk menunjukkan sikap kenegarawanan beliau dalam
upaya menyatukan bangsa ini untuk bangkit kembali dari
puing-puing reruntuhan. 


Penulis sedang studi pada Department of Economic
Science Graduate School of Economics Saitama
University Japan.