[Nusantara] "He-Man" : Fenomena Anak-anak Yang DIlacurkan di Sumatera Utara

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Mon Sep 2 11:41:11 2002


"He-Man" : Fenomena Anak-anak Yang DIlacurkan di Sumatera Utara 
1 Sep 2002 17:49:18 +0700 

FENOMENA ANAK-ANAK YANG DILACURKAN DI SUMATERA UTARA

Oleh :
Ahmad Sofian


Anak-anak yang dilacurkan telah cukup menggejala di kota-kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan bahkan kota-kota
yang kecil seperti Yogyakarta dan Surakarta. Masalah ini cukup
memprihatinkan karena korbannya adalah penduduk yang dari sudut kematangan
seksual belum dewasa. Mereka belum cukup mengetahui risiko dari hubungan
seksual sehingga kehamilan dini dan penularan PMS (Penyakit Menular Seksual)
dengan seluruh implikasinya dapat terjadi pada mereka. Prakktik itu juga
dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan masa depan mereka

Masalah anak-anak yang dilacurkan merupakan masalah yang sampai hari ini
belum terpecahkan. Pemerintah menganggap masalah ini adalah masalah kecil
yang tidak begitu menganggu stabilitas dan atmosfer politik di Indonesia.
Belum ada pemikiran pemerintah untuk menyusun program mengentaskan masalah
ini. Pemerintah masih terlalu sibuk menyelesaikan konflik antar kepentingan
yang sedang bermain. Sayangnya anak-anak terus saja dikirim ke ladang-ladang
pelacuran apakah itu lokalisasi terselubung, hotel, karaoke dan sebagainya.
Artinya korban demi korban terus saja berjatuhan sementara respon atas
masalah ini masih sedikit yang memberikannya. Dalam masalah anak-anak yang
dilacurkan ini banyak pihak yang terlibat dan menerima manfaat atas
berlangsungnya bisnis ilegal ini. Namun bagi anak, hal ini sangat merugikan
khususnya bagi masa depannya.

Anak-anak dijadikan pelacur lebih dikarenakan oleh permintaan pasar yang
meningkat. Tingginya permintaan terhadap anak-anak terutama yang berusia
14-17 tahun karena mereka dianggap "suci" dari berbagai virus dan penyakit.
Seorang mucikari yang berhasil menyediakan seorang gadis muda yang masih
perawan maka dia bisa meraup untung jutaan rupiah untuk satu kali transaksi
dengan seorang pelanggan. Dengan alasan-alasan ini pula maka mucikari dengan
segala upaya berusaha mendapat "rumput muda". Upaya ini biasanya mereka
lakukan secara terorganisir, dengan jalur-jalur yang tertutup-rapi, dan
hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasukinya.

Anak-anak yang di bawah umur lebih mudah dibujuk dan diming-imingi
kesenangan dan pekerjaan, sehingga dengan gampang dijual ke lokasi-lokasi
yang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut
"kolektor" beroperasi di pusat-pusat keramaian seperti mal, plaza bahkan
sampai ke desa-desa. "Kolektor" ini biasanya sudah terlatih mengenali
calon-calon mangsa yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang atau
pekerjaan. "Kolektor" ini sendiri sebenarnya dipekerjakan oleh bos sindikat
(mucikari/germo).

Pada Februari 1999 penulis pernah melakukan investigasi terhadap para
"kolektor" di beberapa plaza dan mal di Medan. Hasilnya para calon korban,
yang biasa mereka sebut ABG (Anak Baru Gede) yang umumnya berasal dari
daerah pinggiran kota dan memiliki latar belakang keluarga menengah ke
bawah. Mereka ini sangat mudah diajak ke tempat-tempat mewah dan jarang
menolak ajakan trsebut. Setelah calon korban menerima ajakan tersebut
"kolektor" membawanya ke tempat mucikari. Di sini "kolektor " akan mendapat
tips yang besarnya sekitar Rp.100.000-Rp.200.000, tergantung pada kecantikan
dan keperawanan si korban.

Dan ternyata begitu banyak dijumpai kasus anak-anak yang dilacurkan di
Sumatera Utara. Anak-anak ini biasanya dikirim ke lokalisasi pelacuran di
Pulau Sicanang, Belawan (Medan) dan Bandar Baru (Deli Serdang), Warung Bebek
(Deli Serdang), hotel-hotel kecil di Medan bahkan sampai ke Pulau Batam
(Riau).

Di Sumatera Utara faktor yang lebih banyak mempengaruhi munculnya anak-anak
yang dilacurkan lebih dominan disebabkan oleh faktor penipuan oleh para
sindikat penjual wanita yang berkedok sebagai perantara pencari kerja. Ini
bisa dibuktikan dengan berbagai dokumen pemberitaan media massa yang
mengungkap pengalaman anak-anak yang berhasil kabur dari "ladang pelacuran".


Insiden

Laporan investigasi wartawan Fokus (Fokus, 9-15 Desember1998) di lokalisasi
Bandar Baru, Deli Serdang, Sumatera Utara menemukan ada sekitar 200-300
perempuan dipekerjakan dalam bisnis seks dan lebih dari setengahnya adalah
anak-anak berusia berkisar 15-17 tahun. Seorang informan, sebut saja Nur (16
tahun) menyatakan bahwa dia dijanjikan akan dipekerjakan di Restoran Padang
Bulan namun kenyataannya dia dijual ke Barak Naga, Bandar Baru. Sementara
untuk kabur sangat sulit, karena ketatnya penjagaan.

Jumlah anak-anak yang ditemukan oleh investigasi wartawan tersebut bukanlah
untuk membesar-besarkan masalah. Fakta adanya anak-anak yang dilacurkan ini
diakui oleh Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara. Tahun 1998 ketika instansi
ini melakukan pendataan terhadap pelacur di Sumatera Utara mereka menemukan
anak-anak berusia di bawah 18 tahun sebanyak 281 orang "bekerja" ditiga
lokalisasi yaitu Bandar Baru (Deli Serdang), Bukit Maraja (P. Siantar), dan
Warung Bebek (Deli Serdang). Jumlah ini belum termasuk yang dijumpai di
diskotik, dan pub yang mencapai 500 orang. Dinas Sosial propinsi Sumatera
Utara mengakui masih banyak anak-anak yang dilacurkan yang belum terdata,
atau cenderung memalsukan umurnya (Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara,
1999)

Anak-anak yang dilacurkan ini masih harus mengalami kekerasan. Kasus
penyekapan dan penjualan 600 anak di bawah umur untuk dijadikan pelacur anak
di Dumai, Riau yang terjadi pada bulan Maret 2000 lalu membuktikan fakta
ini. Sebagian besar anak-anak yang disekap ini berasal dari Medan.
Terangkatnya kasus ini disebabkan oleh tiga orang dari mereka berhasil
diambil oleh keluarganya dengan membayar sejumlah uang untuk kebebasan
mereka, dan selanjutnya keluarga salah seorang dari mereka ini mengadukan
kasus ini ke polisi untuk dapat diusut lebih lanjut (Kompas, 26 Maret 2000).

Kasus yang hampir sama terjadi kembali pada 25 Maret 2000. Dua orang gadis
muda berusia 15 tahun disekap dan nyaris terjual ke tempat pelacuran di
pulau Batam. Penyekapan itu sendiri berlangsung di Medan dan kedua gadis
tersebut berasal Tembung, pinggiran Medan. Untungnya keluarga korban
mengetahui anak gadisnya disekap dan bersama kerabatnya yang polisi
membebaskan kedua anak gadisnya. (Radar Medan, 27 Maret 2000).

Kasus yang menarik untuk diungkapkan kasus yang dialami oleh Fitriani (16
tahun) penduduk Jalan Letda Sujono Medan. Fitri gadis manis yang berkulit
putih menceritakan pengalamannya ketika diajak ke Bandar Baru, kabupaten
Deli Serdang untuk bekerja di rumah makan dengan gaji besar. Dia tidak tahu
kalau Bandar Baru itu adalah lokalisasi pelacuran di Sumatera Utara.

Setelah permisi sama orang tuanya, Fitri pergi bersama tiga orang temannya
yaitu Afrida (15 tahun), Kiki (16 tahun), Florida (16 tahun). Sesampainya di
Bandar Baru Fitri sudah mulai curiga karena dia diinapkan di sebuah rumah
yang didalamnya telah menunggu beberapa perempuan muda. Fitri ingin pulang
tetapi tidak bisa.

Malam itu dia harus merelakan keperawannnya kepada pria turunan dan dibawa
ke Bungalow Kumala Bandar Baru. Selama satu bulan Fitri dipaksa melayani
setiap tamu yang mem-booking-nya. Dan selama satu bulan itu juga dia
berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp. 2 juta.

Terbongkarnya kasus ini, setelah Florida (teman Fitri) hamil yang ingin
makan martabak di Medan. Oleh mucikari Florida diizinkan turun ke Medan.
Namun sampai di Medan dia mengadukan kasus ini ke orang tuanya dan ke
kepolisian.

Orang tua Florida meminta agar germo/mucikari dihukum "Mereka harus dihukum
berat dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku karena sudah merusak
masa depan anak saya", katanya.


Nasib anak-anak yang dilacurkan ini sangat tidak menyenangkan, ini terlihat
dari kasus yang ada di Lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang. Anak-anak yang
menolak perintah germo untuk melayani kebuasan nafsu para hidung belang yang
datang, maka dengan garang germo akan menyiksa mereka malah ada yang sampai
geger otak karena kepalanya dibenturkan ke tembok dan jadi gila ( Wanita
Indonesia, Februari 1998).


Studi Pelacuran Anak

Di Indonesia sendiri studi yang telah dilakukan tentang anak-anak yang
dilacurkan sangat minim sekali. Beberapa penelitian yang berhasil mengungkap
masalah ini misalnya penelitian yang dilakukan oleh Irwanto dkk (1998) di
Desa Bongas. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro
(1989), Hull dkk (1997) dan Wibowo dkk (1989). Dari ketiga penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih banyak
disebabkan oleh motif ekonomi dan budaya. Hull dkk (1997) menambahkan faktor
pendidikan yang rendah, ketidaktaatan terhadap agama Islam. Malah di
Indramayu orang tua ikut serta dalam semua proses ritual, pendidikan dan
persiapan seorang anak menjadi pelacur. Orang tualah yang memberikan
persiapan spriritual-mistis, menghubungkan dengan seorang germo, dan
memastikan bahwa penghasilan anaknya tidak untuk dihambur-hamburkan. Mereka
pula yang selalu mendoakan dan meramu sajian agar anak-anaknya memperoleh
tamu yang banyak.

Bagong Suyanto (1999) juga pernah melakukan penelitian tentang anak-anak
yang dilacurkan di Surabaya. Dari penelitiannya ini ditemukan bahwa penyebab
masuknya anak-anak dalam pentas pelacuran lebih disebabkan karena faktor
penipuan, pemaksaan dan ketidakmengertian mereka, bukan karena kesukarelaan
mereka untuk memilih pekerjaan sebagai pelacur. Mereka tidak pernah
berkeinginan atau bercita-cita untuk menjadi pelacur.

Penelitian lain yang perlu diungkapkan adalah apa yang dilakukan oleh
Muhammad Farid (1999). Walaupun sebenarnya penelitian ini hanyalah sebatas
pada kajian pustaka semata. Dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa kasus
anak-anak yang dilacurkan dari tahun ke tahun menunjukkan gejala
peningkatan. Fakta-fakta dilapangan yang membenarkan argumentasi ini cukup
signifikan. Dia mencontohkan dengan mengutip dari Majalah Gatra tanggal 7
Oktober 1995 ditemukan bahwa ada sekitar 250 anak dari Blitar (Jawa Timur)
diperdagangka ke kompleks lokalisasi di Bukit Maraja, Sumatera Utara. Tahun
berikutnya jumlah ini menjadi sekitar 300 orang. Dalam penelitian ini
diungkapkan beberapa kota yang sering sekali menjadi lokasi pelacuran anak
antara lain adalah Denpasar, Lombok, Pontianak, Medan, dan Batam. Daerah ini
selain merupakan daerah tujuan wisata asing (Denpasar dan Lombok) juga
secara geografis berdekatan dengan negara tetangga (Pontianak, Medan dan
Batam).

Penelitian Farid ini menjadi indikasi yang cukup kuat untuk memberikan
argumentasi bahwa kasus anak-anak yang dilacurkan menjadi kecenderungan yang
perlu segera diwaspadai dan disikapi. Bila tidak, maka Indonesia akan
menjadi jalur perdagangan anak internasional. Bila dikaitkan dengan
penelitian sebelumnya maka ada tiga titik perhatian yang berbeda. Irwanto
(1998), Hull (1997), Wibowo (1989) dan Koentjoro (1989) melihat pada
aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi munculnya pelacuran anak maka
Bagong (1999) cenderung menitikberakan pada faktor-faktor yang menyebabkan
anak-anak direkrut dan kemudian dilacurkan. Disini titik perhatian sudah
mulai terfokus pada perdagangan anak walaupun Bagong sendiri tidak
menyebutkan studinya sebagai studi trafficking. Semenetara itu Farid sudah
memfokuskan pada aspek trafficking atau perdagangan anak, walaupun studi ini
sendiri sangat lemah dengan informasi-informasi kwantitatif.

Penelitian-penelitian yang disebutkan di atas lebih mengarah pada penelitian
eksplorasi atau pendalaman akan fenomena masalah anak-anak yang dilacurkan
atau perdagangan anak. Penelitian tersebut belum diarahkan pada studi
kebijakan yang mengungkapkan respon pemerintah dalam melihat fenomena
perdagangan anak dan upaya-upaya yang sudah ditempuh oleh pemerintah dalam
mengatasi atau mengurangi meluasnya permasalahan perdagangan anak.


Kekerasan dan Implikasinya

Anak-anak yang dilacurkan dimanapun berada baik yang berada di lokalisasi
maupun di non lokalisasi acap kali menerima perlakuan-perlakuan yang tidak
wajar. Perlakuan tidak wajar tersebut pada umumnya diberikan oleh orang
dewasa. Hal ini terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap
objek. Perlakuan yang tidak wajar tersebut biasanya terjadi dalam bentuk
kekerasan maupun pelecehan seksual.

Bahwa kekerasan terhadap anak bertolak dari timpangnya hubungan sosial atau
relasi sosial antara anak-anak dan orang dewasa, yang berakar pada budaya.
Yang paling dominan adalah cara pandang orang dewasa terhadap anak, terutama
sebagai objek yang lemah, Mereka --- anak-anak--- adalah orang-orang lemah
yang bisa diperlakukan seenaknya.

Umumnya korban kekerasan seksual terhadap anak yang dilacurkan ini tidak
hanya akan menderita akibat trauma fisik (misalnya cidera tubuh), namun
terutama sekali akan menderita stres mental yang amat berat bahkan seumur
hidup, yaitu apa yang dinamakan stres pasca trauma, sebab pada dasarnya
kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik.

Bila dikaitkan dengan anak-anak yang dilacurkan maka penyebab kekerasan
adalah status sosial, sistem kerja yang unik yang tidak tergantung pada
ketentuan yang umum tetapi tergantung pada germo dan perilaku
pelanggan-pelanggan yang tidak waras. Bahkan dikarenakan mereka termasuk
jenis kerja yang tidak diakui pemerintah, maka segala kekerasan yang mereka
alami dianggap sebagai resiko yang hanya ditanggung oleh mereka sebagai
konsekwensi dari hasil yang mereka lakukan.

Selain trauma psikis sebagai dampak kekerasan seksual, juga peluang
tertularnya HIV/AIDS sangat besar bagi anak-anak yang dilacurkan. Mereka
umumnya kurang paham akan arti pentingnya seks sehat. Para pelangganpun
merasa yakin si anak adalah suci dari berbagai penyakit, dan tidak merasa
penting untuk menggunakan kondom. Padahal peluang tertularnya HIV/AIDS
terhadap anak-anak yang dilacurkan cukup besar, hal ini disebabkan karena
mereka berada dalam posisi yang lemah, dan pasrah menerima keadaan yang
tidak memihak ini.

Sampai saat ini memang belum diketahui data mengenai jumlah anak-anak yang
dilacurkan tertular HIV/AIDS namun bila melihat resiko yang akan dideritanya
maka cukup beralasan kalau keberadaan mereka dalam bisnis seks segera
dihapuskan. Bila dibandingkan dengan negara-negara barat, orang dewasa yang
melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur (meskipun atas dasar suka
sama suka) dianggap melakukan tindak kriminal (melanggar hukum) dan dapat
dijatuhi hukuman berat.

Indonesia tidak mengenal hukum seperti ini, karenanya praktik seperti ini
dapat berlangsung secara leluasa, dan sejauh ini belum terdengar tindakan
bagi hukum para pelakunya. Perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilacurkan
di Indonesia juga sangat lemah. Indonesia hanya memiliki KUHP warisan
Belanda. Peraturan lainnya yang bisa menjerat para sindikat tidak ada sama
sekali. KUHP sendiri dalam memberikan sanksi pidana kepada para pelaku atau
sindikat anak-anak yang dilacurkan sangat lemah dan tidak berpihak pada
korban. KUHP juga sudah sangat ketinggalan dalam memberikan batasan umur
anak, yaitu di bawah 15 tahun, sementara kecenderungan internasional adalah
di bawah 18 tahun.

Disamping itu lemahnya penegakan hukum terhadap penjualan anak -anak dalam
sindikat bisnis pelacuran lebih disebabkan adanya faktor kolusi antara
mucikari/germo dengan aparat keamanan. Kolusi ini sudah berlangsung cukup
lama sehingga untuk dapat menanggulanginya diperlukan kerjasama dengan
berbagai pihak untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah. Dukungan
internasional dalam rangka menekan pemerintah Indonesia sangat efektif dalam
memberantas sindikat penjualan anak-anak dalam bisnis pelacuran.


*) Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
(PKPA) : Alamat : Jln. Mustafa No. 30 Medan (20238), Sumatera Utara, email :
pkpa@medan.wasantara.net.id

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup