[Nusantara] "bonnie" <bonnie@globaxxx>: EKONOMI PASAR DAN NASIONALISME EKONOMI

INFO PRAKTIS-KOMPUTER majalahtips@hotmail.com
Wed Sep 4 09:51:41 2002


"bonnie" <bonnie@globaxxx>: EKONOMI PASAR DAN NASIONALISME EKONOMI
Tue, 03 Sep 2002 08:37:22 +0700

SUARA PEMBARUAN DAILY

Ekonomi Pasar dan Nasionalisme Ekonomi
Oleh Padang Wicaksono

Syahdan, 20 Januari 1949, Presiden Harry S. Truman berpidato di depan rakyat
Amerika yang pada intinya mengakui kemerdekaan negara-negara bekas jajahan
seraya menegaskan berakhirnya era kolonialisme dan imperialisme. Dia pun
berujar: We must embark on a bold new program for making the benefits of our
scientific advances and industrial progress available for the improvement
and growth of underdeveloped areas. The old imperialism, exploitation for
foreign profit, has no place in our plans (Truman, 1949). Dalam pidato itu
tertera dengan jelas kata-kata underdeveloped dan exploitation for foreign
profits, di mana alam bawah sadar Truman sendiri mengakui akan adanya
belahan lain dari bumi ini yang miskin dan nestapa sebagai akibat dari
proses eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l`homme par
l`homme) selama ratusan tahun oleh kolonialisme dan imperialisme.
Dalam kesempatan lain, pada tanggal 9 November 1954, Presiden Sukarno
berpidato di Bandar Udara Palembang, memukau puluhan ribu massa rakyat
jelata sambil berseru: Setiap orang yang mempunyai cita-cita sosial haruslah
teguh bersikap anti-kapitalis, entah kapitalis itu kapitalis Amerika,
kapitalis Eropa, maupun kapitalis negeri kita sendiri (Compton, 1992:hal.
78-79). Si Bung Besar itu menyerang habis-habisan watak imperialis Barat dan
juga para komprador pribumi yang tak segan-segan menjual bangsa dan tanah
airnya demi materi dan lembaran dolar.
Apa makna Pidato Truman dan Sukarno dalam konteks masa kini? Tak dapat
dipungkiri, Truman dan Sukarno telah menjadi juru bicara dari dua belahan
bumi yang berbeda, yakni si kaya dan si miskin. Pidato Truman di tahun 1949
tersebut menandai intervensi Amerika Serikat dalam skala penuh demi hegemoni
dan dominasi atas belahan dunia lain yang kerap disebut underdeveloped
countries. Sementara Sukarno menjadi ikon the new emerging forces yang
menyuarakan perlawanan tidak saja pada kolonialisme dan imperialisme namun
juga pada proses penghisapan sekalipun oleh bangsa sendiri.
"One Market''
Berbicara tentang ekonomi pasar tentu tak terlepas dari pemikiran Adam
Smith. The Wealth of Nations yang ditulis Smith pada tahun 1776 secara
eksplisit telah mendekonstruksikan Etika-Protestan yang secara lugas
menentang self-interest dan penumpukan materi secara tamak (Weber, 1958).
Liberalisme klasik ala Adam Smith ini menjadi landasan bagi 3 saudara
kembar, kapitalisme-kolonialisme-imperialisme, dalam melakukan praktik
penghisapan selama beratus-ratus tahun di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
sebagai implikasi dari penerapan teori ekonomi klasik yang menyatakan bahwa
proses produksi dan akumulasi akan stagnan bila pasar menjadi terbatas
(Dillard, 1979). Bahkan John Stuart Mill sendiri tak segan-segan mendukung
kolonialisme ekonomi dengan tujuan akumulasi kapital (Mill, 1936: hal.
738-739).
Berakhirnya Perang Dunia II telah menyisakan tangis dan nestapa. Namun di
sisi lain menumbuhkan harapan baru akan tatanan dunia yang lebih damai dan
makmur. Terbentuknya GATT pada tahun 1947 menyemaikan harapan akan hubungan
perdagangan yang berbasis pada kesetaraan. Tetapi, adakah seorang kapitalis
kaya raya yang dulunya seorang penakluk tiba-tiba menjadi pemurah dan mau
berbagi mesra dengan si miskin lagi papa yang dulu menjadi jajahannya?
Di kemudian hari, persoalan liberalisasi atau globalisasi tidak sekadar
menjadi perseteruan antara negara kaya dengan negara miskin namun lebih dari
persoalan negara dengan negara. Suatu kekuatan fenomenal yang tak tersentuh
oleh batas-batas kedaulatan suatu negara, yakni perusahaan multinasional
(MNC), sangat berkepentingan atas globalisasi. Pada dasarnya, MNC bukanlah
barang baru sama sekali mengingat fenomena ini tak lebih dari pembaruan
tradisi kapitalisme modern yang merupakan hasil aktivitas berkesinambungan
meliputi akumulasi kapital, penelitian dan pengembangan (R&D), produksi
(Ikeda, 1996: hal. 39).
Nalar keunggulan komparatif David Ricardo mengenai spesialisasi perdagangan
internasional ternyata tidak berlaku bagi hubungan ekonomi negara kaya (baca
negara industri maju) dengan negara miskin. Apakah spesialisasi perdagangan
dalam bentuk ekspor gula mentah Indonesia ke Belanda dan impor produk
farmasi dari Belanda akan me- ningkatkan kemakmuran setara di antara
keduanya?
Ternyata dalam jangka panjang, sebuah negara yang menspesialisasikan dirinya
pada produk yang sophisticated akan menangguk profit yang jauh lebih besar
mengingat kemampuan teknologi dan akumulasi kapital yang telah dimiliki dan
juga setting kondisi sosial-ekonomi yang memang berbeda dengan negara
berkembang seperti Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, negara
pinggiran seperti Indonesia tidak mempunyai posisi tawar-menawar yang cukup
berimbang ketika berhadapan dengan negara maju dalam kancah pasar bebas.
Reorientasi
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan sebuah kesepakatan di antara anak
bangsa untuk merombak tatanan ekonomi warisan kolonial yang telah memberikan
tempat yang luas bagi dominasi asing dan segelintir elite pribumi.
Kemerdekaan itu sendiri merupakan alat untuk pencapaian kemakmuran dan
demokrasi ekonomi bagi seluruh komponen bangsa.
Kalau sekadar ingin menjadi negara eksportir terkemuka lalu untuk apa
Indonesia Merdeka? Bukankah ketika negeri kita masih bernama Dutch East
India sudah menjadi eksportir bahan mentah primer terkemuka di awal abad
ke-20? (Paauw, 1963). Kalau sekadar ingin meminang investasi asing, untuk
apa pula kita merdeka jika The Dutch East India Company (VOC) yang pernah
ada pada abad ke-17 sedikit banyak telah berperan dalam mendirikan sejumlah
infrastruktur penting yang bahkan bermanfaat hingga kini seperti pelabuhan,
jaringan rel kereta api, dan jalan raya sekalipun diiringi dengan
eksploitasi habis-habisan atas kekayaan alam Indonesia (Braudel, 1982: hal.
34).
Bukankah Unilever Indonesia dan BAT telah ada jauh sebelum RI merdeka?
Proses produksi yang bertujuan mencari nilai tambah di Hindia Belanda
tersebut tidak membawa manfaat yang banyak bagi penduduk negara jajahan oleh
karena profit transfer dan surplus yang mengalir ke negara asal penjajah
jauh lebih besar daripada peningkatan pendapatan masyarakat kelas bawah yang
dijadikan sebagai basis tenaga kerja murah (Arief, 1986).
Dalam konteks kekinian, sekalipun telah merdeka, industrialisasi dan proses
pembangunan Indonesia yang bertumpu pada dominasi investasi asing sambil
berkolaborasi dengan segelintir pengusaha kelas kakap telah meneruskan
struktur ekonomi warisan kolonial tersebut. Kebijakan industri substitusi
impor mengalami kegagalan oleh karena dalam perjalanannya, praktik-praktik
koalisi segi empat (elite politik yang korup-pengusaha kroni-investasi
asing-kelas menengah lokal) telah menunggangi proses industrialisasi dengan
jalan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa direinvestasikan pada
pengembangan teknologi dan keterkaitan sektor-sektor produktif dalam negeri.
Dalam struktur ekonomi seperti di atas, tidak terjadi hubungan yang erat
antara surplus ekonomi dan tingkat pertumbuhan pendapatan kekuatan produktif
dalam negeri sebagaimana yang telah dialami oleh negara-negara industri maju
pada awal masa industrialisasi. Proses akumulasi kapital di negara-negara
industri maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa telah memberikan
manfaat yang besar bagi partisipasi ekonomi masyarakat. Sementara proses
yang sama tidak terjadi pada Indonesia.
Pada milenium ke-3 ini, bangsa kita hendaknya jangan main-main dengan
terminologi ekonomi pasar, liberalisasi, ataupun globalisasi. Jika mantan
Presiden Prancis Charles de Gaulle dan penulis besar Prancis Jean-Jacques
Servan-Schreiber saja pernah menyerukan pada bangsanya agar membendung
serbuan modal asing pada dekade 1960-an padahal nota bene Prancis adalah
dedengkot imperialisme dan kolonialisme, maka sungguh heran bila sebuah
negeri yang miskin dan tak berdaya seperti Indonesia sungguh sangat gembira
menyambut era pasar bebas yang sebentar lagi akan tiba.
Hati-hati pula dengan terminologi nasionalisme ekonomi, ekonomi kerakyatan,
atau kemandirian ekonomi. Sejarah telah mencatat, terminologi indah ini tak
kalah ganasnya dalam mengeksploitasi penderitaan rakyat sebagai akibat
manipulasi elite-politik dan kapitalis-semu dalam memanfaatkan sentimen
antiasing yang berlebihan. Kebijakan Mobil Nasional Timor dan Industri
Pesawat Terbang Nusantara adalah salah satu contoh- nya.
Jika bangsa kita tidak ingin terantuk untuk yang kesekian kalinya, sudah
menjadi kewajiban bagi kita semua untuk merenung dan wawas diri apakah
kebijakan ekonomi nasional saat ini sudah sejalan dengan cita-cita
kemerdekaan. Hanya waktulah yang bisa menjawab.

Penulis sedang studi pada Department of Economic Science Graduate School of
Economics Saitama University Japan.


_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com