[Nusantara] Harian Kompas : Bagaimana Menjadi Bangsa yang Terhormat

INFO PRAKTIS-KOMPUTER majalahtips@hotmail.com
Wed Sep 4 09:53:07 2002


Harian Kompas : Bagaimana Menjadi Bangsa yang Terhormat
Date: Mon, 2 Sep 2002 22:28:27 +0200

Kompas
Selasa, 3 September 2002
TAJUK RENCANA

Bagaimana Menjadi Bangsa yang Terhormat

SEMPAT mengundang reaksi dari dalam negeri maupun dari Malaysia ketika
hal
itu dikemukakan oleh Ketua MPR Amien Rais. Diingatkan, agar kita
sebagai
bangsa yang berpenduduk besar, janganlah kelewat membungkuk-bungkuk.
Komentarnya mengacu ke masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan
Malaysia,
tetapi juga dengan masalah-masalah lain, misalnya yang juga pernah
ramai,
yakni dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebenarnya, bukankah topik yang dikemukakan Ketua MPR itu patut kita
renungkan? Jika berdiri di depan kaca, macam apakah wajah dan sosok
kita
dewasa ini? Sekitar 500.000 TKI terlunta-lunta harus keluar dari
Malaysia,
sosoknya sebagai pengungsi tampak mengenaskan di Nunukan. Dalam jumlah
lebih
kecil dan terpencar, sosok ketelantaran terdapat di mana-mana.
Lapangan kerja merupakan tantangan besar. Jumlah penganggur sekitar
40-an
juta orang, dampak sosialnya kejam. Bukan saja kemelaratan, tetapi aksi
kriminal, bahkan kriminalitas yang ganas. Membunuh dan dibunuh,
membakar dan
dibakar, merampok dan dirampok.
Dalam interaksi global yang semakin intensif, lapangan kerja harus juga
berasal dari investasi dari luar. Hadirnya investasi asing di negara
mana
pun, kini sekaligus pertanda kepercayaan, keamanan, stabilitas,
kepastian
hukum, dan kapabilitas.
KITA mulai dengan argumen, kita berada dalam transisi. Transisi dari
otokrasi ke demokrasi. Dengan catatan yang meringankan itu, kita amati
wajah
dan sosok sosial politik kita. Masih mencari format, maka amburadul.
Mencari
keseimbangan, maka barulah kebebasan berteriak yang hadir, belum
kebebasan
yang disertai tanggung jawab, bekerja tekun dan cerdas. Masih urusan
sendiri-sendiri, belum komitmen bersama untuk orang banyak.
Yang memalukan adalah jika kita membandingkan diri dengan keadaan
kemarin,
yang kita gantikan karena otoriter, represi, korup, tidak adil, egois,
dan
rakus, karena KKN. Belum cukup waktu, tentu saja, untuk mewujudkan
perubahan, apalagi perubahan yang melibatkan diri sendiri. Tetapi
adalah
memprihatinkan, tanda-tanda ke sana pun tidak tampak secara meyakinkan.
Pendapat umum kini melihat dan merasakan, korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan, wewenang dan kesempatan bukan berkurang, justru semakin
meluas.
Hal itu, celakanya, juga dikonfirmasi oleh beberapa kali hasil riset
yang
dilakukan orang luar terhadap sejumlah negara. Kita berada di tangga
nomor
tiga dari bawah.
Posisi kita yang masuk terbawah kecuali dalam urusan KKN, juga dalam
urusan
kepastian hukum, termasuk integritas dan kredibilitas lembaga hukum.
Perihal keamanan, terutama yang menyangkut rasa aman, buruklah
keadaannya.
Tentang integritas bangsa, negara dan wilayahnya, beberapa titik lemah
dan
kerawanan bertahan. Solusi masalah Aceh terus dicari. Ancaman
disintegrasi
masih menggantung di atas kepala kita.
KITA, termasuk elite politik, lupa di mana setiap bangsa dan negara
kini
berada. Di tengah kancah, arus, dan interaksi globalisasi. Pernyataan
beberapa elite dan pemimpin acapkali membuat geleng-geleng kepala.
Memberi
kesan, sepertinya kita masih dan bisa hidup sendiri dan cuek terhadap
arus
gelombang global.
Begitu dua warga Amerika Serikat (AS) tewas di Freeport, Papua, semua
stasiun televisi internasional menyiarkannya. Dengan kata lain, muka
dan
sosok kita yang tampak pada cermin nasional, terpantul jelas pula pada
cermin global.
MASALAH, tantangan serta tugas kita dalam kondisi semacam itu, ialah
bagaimana menegakkan wajah dan sosok bangsa. Bagaimana memberikan makna
kepada bangsa kita yang berpenduduk 210 juta jiwa, memiliki sejarah
pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. Bahkan, menjadi salah satu
penegak
dan pemimpin pergerakan dan perjuangan bangsa-bangsa lain.
Kita mendekatinya dengan penuh pengertian. Baiklah, perlu waktu, karena
membuat perubahan besar tidak seperti membalikkan tangan. Kita terima,
semua
itu salahnya masa kemarin, yang tidak mempersiapkan lapisan pemimpin
dan
tidak membolehkan tampilnya kader-kader pemimpin.
Semua itu, gara-gara krisis ekonomi, yang di Indonesia menjadi krisis
laten
karena dasarnya lemah, korup, kolusi, nepotis, dan keropos.
Bukankah masuk akal, mereka yang lama dipinggirkan dan secara politik
sempat
diasingkan, tetapi begitu memperoleh kesempatan dan berkuasa, lantas
kemaruk. Lahap makan seperti lazimnya orang baru sembuh dari sakit
lama.
Setelah semua alasan dan pertimbangan kita iyakan, toh akhirnya kita
sampai
pada pertanyaan, kapan pembangunan kembali wajah dan sosok dimulai.
Menunggu
pemilihan umum tahun 2004. Menanti Undang-Undang Kepartaian dan Pemilu
yang
baru.
MEMANG berat dan serba salah, jika kita tidak sanggup memotong tumit
Achilles alias membuat keputusan dan kemauan melangkah secara drastis.
Keluar dari politik uang, bagaimana caranya. Keluar dari jerat budaya
dan
struktur feodal, bagaimana caranya.
Hidup sederhana, mengandalkan penghasilan resmi yang halal, bagaimana
caranya. Berarti memutus kebiasaan lama serta mampu melawan ganasnya
konsumerisme. Bagaimana keluar dari gejala, justru kini di zaman
reformasi
prorakyat, setia kawan dan rasa sepenanggungan dengan rakyat bertambah
gersang.
Apakah tantangan berlomba dan bersaing dengan negara-negara lain,
bahkan
yang sewilayah, masih membangkitkan motivasi?
ORANG berlomba membuat partai baru. Partai-partai lama berkonsolidasi.
Para
pemimpin membuat ancang-ancang menyongsong pemilihan umum tahun 2004.
Silakan, silakan! Asal disadari, ditangkap tantangan yang dihadapi.
Politik
ialah pelayanan dan pengorbanan.
Menjadi pemimpin politik apalagi dalam zaman reformasi, artinya siap
melayani, siap sepenanggungan dan setia kawan dengan rakyat, siap
berkorban.
Silakan. Memang dicari dan didambakan.
Peran Masyarakat Memang Penting untuk Memperkuat ASEAN
KEINGINAN mempererat hubungan dan kerja sama di kalangan masyarakat
Asia
Tenggara tampak jelas pada pertemuan Majelis Rakyat ASEAN (APA =
ASEAN's
People Assembly) di Sanur, Bali. Pertemuan tiga hari yang ditutup hari
Minggu 1 September itu banyak membicarakan persoalan masyarakat alas
rumput
di kawasan ASEAN.
Hasil konkret pertemuan Bali antara lain meminta pemerintah ASEAN lebih
memperhatikan pengembangan demokrasi, perlindungan hak asasi,
pengembangan
media massa, menangani persoalan jender, dan masalah penyakit AIDS/
HIV.
Lebih jauh peserta pertemuan merekomendasikan program aksi, yang harus
disusun bersama antara APA dengan Sekretariat ASEAN. Dengan cara ini,
partisipasi dan representasi masyarakat dalam pengembangan ASEAN
menjadi
semakin nyata dan kuat di masa-masa mendatang.
Selama ini, partisipasi langsung masyarakat dalam urusan ASEAN
tergolong
kecil dan terbatas. Padahal, idealnya, peran pemerintah dan masyarakat
harus
berjalan secara paralel, lebih-lebih di era yang semakin menekankan
peran
civil society, masyarakat warga.
Semakin menjadi gejala umum di mana-mana, dominasi peran pemerintah
mengalami pergeseran akibat menguatnya peran civil society. Peran dan
fungsi
pemerintahan mengecil karena sebagian tugasnya diambil alih masyarakat.
HASIL pertemuan APA di Bali semakin memberi dorongan kuat kepada
masyarakat
Asia Tenggara untuk lebih aktif berperan dalam urusan ASEAN. Langkah
yang
ditempuh APA tentu saja menarik jika diletakkan dalam sejarah panjang
pergulatan ASEAN.
Sejak berdiri tahun 1967, ASEAN lebih berfokus pada persoalan ideologi.
Seluruh anggota ASEAN menentang komunisme. Setelah Perang Dingin
berakhir
akhir dasawarsa 1980-an, ASEAN membuka diri pada seluruh negara Asia
Tenggara. Bahkan, negara-negara Indocina (Vietnam, Laos, dan Kamboja)
yang
semula berseberangan secara ideologis dengan ASEAN, akhirnya bergabung
dalam
organisasi regional Asia Tenggara itu.
Isu ideologis memang terdesak jauh ke belakang bersama berakhirnya
Perang
Dingin. Sebagai penggantinya, ASEAN berkonsentrasi pada kerja sama
ekonomi
dan perdagangan. Mulai tahun depan, ASEAN melaksanakan kawasan
perdagangan
bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area). Sedangkan mobilitas manusia
antarnegara
telah dilonggarkan seperti sistem visa bebas selama tiga bulan.
SUDAH terbentuk pula semacam perasaan kebersamaan sebagai anggota
ASEAN.
Meski demikian, ASEAN sampai saat ini masih didominasi oleh urusan
kerja
sama antara negara dan pemerintahan.
ASEAN menjadi forum efektif untuk meningkatkan saling pengertian di
kalangan
pemerintahan negara-negara ASEAN.
Berbagai persoalan keamanan dan ancaman konflik di kawasan Asia
Tenggara
bisa diselesaikan dan diredam melalui ASEAN. Sedangkan di panggung
internasional, negara-negara ASEAN pun kelihatan kompak. Maka ASEAN
pernah
dipuji karena sangat solid.
Belakangan memang mulai timbul kritikan, mengapa negara-negara ASEAN
kedodoran dalam mengatasi krisis moneter tahun 1997-1998. Setiap negara
seperti bergulat sendiri. Kekompakan ASEAN sama sekali tidak tercermin
dalam
upaya mengatasi krisis moneter secara bersama-sama.
Muncul pula gugatan ketika ASEAN kelihatan tidak kompak dalam
menghadapi isu
terorisme regional dan global. Ketegangan, misalnya, sempat terjadi
antara
Singapura dan Indonesia setelah Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew
mencurigai Indonesia sebagai sarang terorisme.
Masalah kekompakan ASEAN juga timbul dalam urusan tenaga kerja
Indonesia
(TKI) dan Filipina di Malaysia. Tindakan deportasi TKI ilegal dan
pendatang
haram dari Filipina menimbulkan ketegangan. Silang pendapat dan saling
mengecam menimbulkan ketegangan. Banyak orang mulai mempertanyakan
fungsi
mediasi ASEAN, yang terkenal efektif di masa lalu.
KEADAAN rupanya sudah banyak berubah. Konsentrasi negara-negara ASEAN
cenderung ke dalam negeri, bahkan cenderung melihat ke dalam saja,
inward
looking. Pergulatan keras dalam negeri oleh krisis ekonomi dan politik
membuat perhatian terhadap isu regional dan internasional terabaikan.
Seluruh perhatian tercurah pada urusan diri dan kelompok, tanpa membuka
mata
terhadap persoalan nasional, regional, dan internasional.
Padahal, kepentingan diri dan kelompok akan terlibas jika tidak
memperhatikan persoalan nasional, regional, dan internasional. Di
tengah era
globalisasi, hampir tidak ada persoalan yang bisa berdiri sendiri lagi.
Tarik-menarik dan kait-mengait akan selalu terjadi akibat dunia yang
semakin
terintegrasi dalam satu sistem.
MAKNA pertemuan APA di Bali bisa diletakkan dalam kebutuhan dan
kepentingan
integrasi kepentingan negara-negara ASEAN. Fungsi ASEAN akan semakin
tinggi
jika kerja sama di tingkat pemerintahan dan elite berjalan secara
paralel
dengan kerja sama di kalangan masyarakat alas rumput.
Bahkan, eksistensi ASEAN di masa depan akan semakin ditentukan oleh
kekompakan di kalangan masyarakat Asia Tenggara sendiri. Sekadar
perbandingan, Uni Eropa menjadi kuat tidak semata-mata karena integrasi
ekonomi, tetapi lebih karena integrasi masyarakatnya.
Jalan bagi ASEAN menuju model Uni Eropa sangat panjang dan mungkin saja
tidak akan sampai. Tetapi, keinginan untuk mendekatkan diri antara
masyarakat Asia Tenggara sudah mulai kelihatan. Suatu isyarat positif
dan
penting bagi kerja sama di masa mendatang.



_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com