[Nusantara] "Haryo" <sadewa48@> BUNG KARNO, KOMODITAS POLITIK DARI PROKLAMASI HINGGA - 4 Sep 2002 01:24:02 +0200

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 03:18:57 2002


"Haryo" <sadewa48@> BUNG KARNO, KOMODITAS POLITIK DARI PROKLAMASI HINGGA - 4 Sep 2002 01:24:02 +0200 
         
          Bung Karno,
          Komoditas Politik dari Proklamasi Hingga Reformasi

           Oleh HD. Haryo Sasongko - Ketua Lembaga Humaniora

                 Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Bung Karno dikenal 
sebagai
          sosok pejuang pemersatu bangsa yang ulet. Dia mendirikan 
Partai
          Nasional Indonesia (PNI), menggali Pancasila sebagai filsafat
          bangsa, melontarkan gagasan nasakom sebagai wadah persatuan
          rakyat yang pluralis, memimpin bangsa ini melawan penjajahan
          Belanda dan Jepang serta mengantar bangsa Indonesia menjadi
          bangsa yang merdeka di mana dia bersama Hatta sebagai
          proklamatornya. Lepas dari segala kekurangan yang ada, Bung
          Karno  adalah Bapak Bangsa..

                Sesudah Proklamasi Kemerdekaan dan Bung Karno tampil
          sebagai Presiden RI pertama,  dia kembali menjadi  simbol
          pemersatu bangsa. Semua partai dalam nasakom (PNI, Partindo, 
NU,
          Perti, PSII, PKI dan lain-lain) serta semua ormas dan orpol 
yang
          ada pada waktu itu, berlomba-lomba menjadikan Bung Karno 
sebagai
          komoditas politik untuk merebut perhatian massa. Tak ada 
parpol
          dan ormas yang tidak memajang nama Bung Karno sebagai label
          "ditanggung halal" untuk dijual kepada konsumen. Dengan 
mengusung
          nama Bung Karno, parpol ormas bisa menepuk dada sebagai 
kekuatan
          yang paling "progresif revolusioner" sekaligus bisa 
menggalang
          massa sampai akar rumput.

                Di masa rezim militer Orde Baru di bawah kepemimpinan 
Pak
          Harto berkuasa sebagai Presiden RI kedua, ternyata Bung Karno
          juga kembali menjadi komoditas politik. Hanya bedanya, kalau 
di
          masa sebelumnya parpol ormas berlomba-lomba mencari muka 
dengan
          mendukung nama Bung Karno, di masa pemerintahan Pak Harto
          sebaliknya, parpol ormas berlomba-lomba menghujat Bung Karno
          untuk membangun kekuatan dan merebut perhatian penguasa 
militer.
          Dengan menghujat Bung Karno, parpol ormas mencari muka 
sebagai
          kekuatan "Pancasilais sejati". Dengan menghujat Bung Karno,
          berarti tidak termasuk Orde Lama yang ketika itu disia-siakan
          sebagai pesakitan politik. Ringkas kata, baik di masa Orde 
Lama
          (Bung Karno) maupun Orde Baru (Pak Harto),  nama besar Bung 
Karno
          menjadi label - baik untuk dipuja atau dihujat - yang dapat
          menjamin parpol ormas bersangkutan menjadi "besar".

               Bagaimana kini, di era reformasi? Ternyata kembali pula 
nama
          Bung Karno diusung sebagai label untuk dijual ke tengah 
rakyat.
          Parpol ormas bermunculan bagaikan jamur tumbuh di musim 
hujan,
          setelah sebelumnya mereka merasa ditindas selama Orde Baru
          berkuasa di mana parpol-parpol yang ada malah dipaksa 
"merger"
          menjadi partai baru yakni PDI dan PPP di samping Golkar (yang
          menyatakan dirinya bukan parpol). Kini, di era reformasi ini,
          sedikitnya sudah ada 196 buah parpol yang terdaftar di 
Departemen
          Kehakiman dan HAM, dengan rincian 148 parpol terdaftar pada
          pemilu 1999, sebanyak 20 parpol terdaftar pada 2000-2001 dan 
28
          parpol lagi terdaftar selama tujuh bulan pertama tahun 2002.

               Dan di antara parpol yang menjamur itu - baik yang lama
          maupun baru -  banyak yang mengusung simbol-simbol Bung 
Karno.
          Kita catat saja antara lain PDI (Budi Hardjono) dan PDI-P
          (Megawati Soekarnoputri),  PNI Massa Marhaen (Bachtar Oscha
          Chalik), PNI Front Marhaenis (Probosutedjo), Partai Nasional
          Demokrat (Edwin Hernawan Sukowati) PNI (Supeni) PNI 
Marhaenisme
          (Helfiadi), Partai Rakyat Marhaen (Soenardi), Partai Pelopor
          (Rachmawati) dan Partai Nasionalis Bung Karno (Eros Djarot).
          Sebelumnya  ada pula PNI 1927, dan Partindo. Belakangan konon
          muncul pula Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rakyat 
(PDIPR).
          Boleh dikata semua parpol tersebut menggunakan gambar banteng
          (dalam berbagai pose)  sebagai simbolnya (kecuali Partai 
Pelopor)
          . Yang tidak menggunakan kata "marhaen" dan juga tanpa gambar
          banteng tetapi menegaskan garis politik partainya sebagai
          pelaksana Trisakti ajaran Bung Karno juga tak kalah banyak,
          seperti PPR (Partai Perjuangan Rakyat) pimpinan Gustaf Dupe, 
PPBI
          (Partai Persatuan Bangsa Indonesia) pimpinan Tjahyadi Nugroho 
dan
          mungkin masih ada lagi lainnya.

                Tentu, bukan soal usung mengusung label Bung Karno itu 
yang
          perlu dipermasalahkan. Sebab, seperti perusahaan jamu atau 
obat
          kuat memerlukan artis terkenal untuk bintang iklannya agar
          dagangannya tampak semarak, maka sah sah saja  bila Bung 
Karno
          selama ini juga dijadikan "bintang" untuk merebut massa di
          panggung politik. Dan tampaknya hingga saat ini Bung Karno 
memang
          tetap lebih unggul dan tetap merupakan favorit bila 
dibandingkan
          semua bintang iklan maupun bintang sinetron atau bintang film
          layar tancap yang diputar di mana-mana.

           Serumpun yang Terpecah
               Namun ada satu hal yang kiranya patut dicermati, yaitu 
bahwa
          parpol sebanyak itu (dan masih banyak lagi lainnya), 
sesungguhnya
          merupakan satu kesatuan dari rumpun nasionalis yang kemudian
          terpecah-pecah. Meskipun tidak diakui, namun dapat dirasakan
          bahwa perpecahan yang terjadi di kubu nasionalis ini adalah
          akibat sakit hati atau kecewa. Dan masing-masing tampaknya 
juga
          mengklaim sebagai yang paling "Soekarnois". Beberapa parpol 
baru
          yang jelas didirikan oleh mereka yang semula aktif di PDI-P
          misalnya, seperti PITA yang dipimpin Dimyati Hartono dan  
PNBK
          yang dipimpin Eros Djarot, tidak bisa tidak pastilah 
kelahirannya
          karena ingin melakukan "pelurusan". Dan "pelurusan" terjadi
          karena mungkin  ada anggapan pada mereka bahwa PDI-P telah
          "bengkok". Sebab logikanya, kalau mereka merasa sejalan,
          aspirasinya tertampung dalam PDI-P, untuk apa meninggalkannya 
dan
          membuat partai baru?      Masalahnya, bukan apakah sudah 
terjadi
          "pembengkokan" sehingga perlu "pelurusan" atau tidak. Sebab 
orang
          bilang, kacamata politik selalu menyajikan gambar sesuai 
dengan
          kehendak si pemakai, bukan "kehendak" obyek yang dilihatnya.
          Merah bisa dibilang hijau dan yang hijau bisa dibilang merah.
          Yang sudah jelas, dengan terus bertambahnya parpol-parpol 
yang
          sama-sama ingin berakar di rumpun nasionalis ini akan
          mengakibatkan kekuatan nasionalis di Indonesia justru
          terpecah-pecah. Dan yang dirugikan tentu saja mereka sendiri.
          Sehingga bukan tidak mungkin, kalau dalam pemilu 1999 untuk
          pertama kalinya Golkar kalah dari PDI-P, maka dalam pemilu 
2004
          mendatang akan terjadi fenomena kebalikannya,  di mana Golkar
          memperoleh peluang untuk kembali meraih kemenangan bukan 
karena
          semakin kuat atau semakin banyak pendukungnya, melainkan 
karena
          saingan yang pernah mengalahkannya yang semakin terpuruk dan
          terpecah-pecah.

                Dan kalau hal ini sampai terjadi, masih layakkah kita 
untuk
          mengatakan bahwa reformasi masih berjalan? Kini pun banyak
          pengamat menganggap reformasi telah mati. Bahkan seperti
          dikatakan oleh Indonesianis dari Northwestern University, 
Prof.
          Jeffrey Winters,  pemerintahan sekarang ini sudah tidak 
reformis
          lagi. Di depan peserta diskusi yang diselenggarakan oleh 
Center
          for Indonesian Reform (CIR) 13 Juli 2002 lalu, Winters bahkan
          tegas-tegas mengatakan reformasi di Indonesia sudah  tidak 
jalan
          dan bahkan sedang kembali ke sikap yang lebih ber-status quo.

                 Ketika menjadi seekor banteng besar, maka banteng itu
          memang bisa merobohkan pohon beringin yang masih kuat. Tetapi
          tentu lain jadinya bila nanti yang muncul bukan banteng kekar
          lagi melainkan kerbau, sapi, bahkan kambing kecil-kecil lagi
          kurus, yang tentu tak bisa merobohkan pohon beringin, 
meskipun
          pohon itu juga sudah keropos akarnya. Di sisi lain, 
berubahnya
          banteng gemuk menjadi sapi, kerbau, atau kambing kurus itu 
juga
          akan menguntungkan partai-partai Islam, meskipun di pihak 
mereka
          juga ada kondisi yang sama, yakni sedang mengalami 
"pembelahan
          sel". Sebab jangan lupa, di samping ada "pembelahan sel" 
mereka
          juga telah membentuk Forum Aliansi dan Silaturakhmi 
Partai-partai
          Islam (Fasoppi)  yang menghimpun 13 partai berbasis massa 
umat
          Islam. Hal ini tidak terjadi pada partai-partai berbasis 
massa
          nasionalis.      Kalau demikian yang terjadi, maka  ini 
berarti
          label Bung Karno bukan lagi berperan  untuk mempersatukan 
rakyat
          - khususnya kelompok nasionalis- sebagaimana dulu ketika
          memperjuangkan kemerdekaan melawan penjajahan dan membangun
          Negara Kesatuan Republik Indonesia - melainkan malah menjadi
          bumerang yang akan memecah belah kekuatan rakyat. Bung Karno,
          figur kharismatik pemersatu bangsa, seolah-olah berubah (atau
          diubah) menjadi figur pemecah-belah bangsa. Tentu ini tidak
          dikehendaki oleh Bung Karno sendiri (andaikata masih hidup), 
dan
          juga tidak diharapkan oleh setiap orang yang ingin meneruskan
          cita-cita Bung Karno dalam menjaga persatuan nasional. 
Termasuk,
          bukan itu pula yang diinginkan oleh para pendiri parpol 
berbasis
          nasionalis.

           Logika Kekuasaan
                 Mungkin semua ini terjadi karena orientasi para 
pendiri
          parpol tersebut bukan memandang jauh ke depan, melainkan  
hanya
          sampai ke urusan rebutan kursi dalam pemilu. Mereka 
menganggap
          pemilu adalah segala-galanya, sebagai satu-satunya jalur 
menuju
          kursi kekuasaan. Berbagai upaya untuk membangun "front" dalam
          bentuk kaukus tampaknya tak akan membawa banyak hasil, selama
          parpol-parpol yang akan "disatukan" justru  menjadikan target
          rebutan kursi sebagai tujuan utamanya. Demikian juga
          parpol-parpol serumpun ini tampaknya akan sulit untuk 
membentuk
          forum konfederasi lintas partai untuk nanti bisa membangun
          electoral threshold dalam menghadapi pemilu 2004. Sebab dalam
          blantika perpolitikan belakangan ini yang marak adalah 
politik
          dagang sapi di mana "garis perjuangan" masing-masing akan
          terkooptasi oleh logika kekuasaan.  Dan ini rupanya telah 
menjadi
          paradigma yang terus dikedepankan oleh mereka yang terlibat 
dalam
          politik praktis atau yang mengaku politikus - termasuk para 
tokoh
          parpol yang terus tumbuh seperti cendawan di musim hujan itu 
-
          dalam rangka "memperjuangkan reformasi".      Reformasi yang
          kebanyakan dilaksanakan oleh politikus kagetan ini - yang 
antara
          lain menghasilkan parpol-parpol baru bagaikan pasar kaget 
juga -
          memang bergulir  dengan menyedihkan. Prosesnya  bukan hanya 
malah
          memperkuat semangat sisa-sisa Orde Baru untuk bangkit kembali
          dengan baju baru, tetapi juga membuat rakyat - yang sudah
          bergembira ria ikut memilih "parpol pro reformasi" pada 
pemilu
          yang lalu - menjadi bingung  dan kecewa dengan arah reformasi
          yang semakin tak jelas mau menuju ke mana. Dan semua ini 
terjadi
          karena kalau dulu yang mengaku Orde Baru hanya Golkar, maka 
kini
          di era reformasi memang tak ada satu pun parpol yang mengaku
          penerus Orde Baru. Namun diam-diam, mereka semua justru
          melestarikan garis politik Orde Baru.

                 Lalu, relevankah bila masih ada parpol memasang label 
Bung
          Karno padahal sepak terjangnya malah berseberangan dengan
          pandangan politik Bung Karno, dan lebih parah lagi, 
mengakibatkan
          rakyat Indonesia terpecah-belah dan terkotak-kotak? Dulu kita
          berlomba paling lantang menyerukan kata "revolusi". Kini kita
          juga kembali sibuk berlomba paling nyaring menyerukan kata
          "reformasi". Sayang bila akhirnya yang tersaji hanya pepesan
          kosong. Karena itu, kiranya kita perlu mengembalikan  
keberadaan
          Bung Karno sebagai bapak bangsa secara layak agar tidak 
dijadikan
          label komoditas politik murahan di pasar parpol kagetan.
          Sebagaimana kita maklum, pasar kaget biasanya memang banyak
          pembeli namun hanya sebentar. Seperti film layar tancap, 
begitu
          datang gerimis langsung bubar. * * *


-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup