[Nusantara] "Hudojo" <25@tisca: Kolom Ibrahim Isa. Taktik-kah?
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Sep 6 03:23:04 2002
"Hudojo" <25@tisca: Kolom Ibrahim Isa. Taktik-kah?
4 Sep 2002 14:57:22 +0200
TAKTIK-KAH? -
STRATEGI-KAH?- ,
ATAUKAH . . . .PRAGMATISME POLITIK?
Menurut pendapat saya, jawaban yang tepat pada persoalan yang diajukan
dalam
posting Kolom Ibrahim Isa , yaitu persoalan tentang kebijakkan yang
dilakukan oleh PDI-P dalam persoalan menetapkan Sutiyoso sebagai
gupernur
Jakarta adalah merupakan suatu langkah PRAGMATISME POLITIK.
Adapun alasan saya adalah sebagai berikut. : Pandangan pragmatisme
menurut
pengertian dan penangkapan saya adalah suatu pandangan untuk memecahkan
persoalan -persoalan politik yang hanya bertitik tolak pada pengalaman
politik praktis yang hanya terdorong oleh keinginan yang keras,
sehingga
tidak melihat adanya sebab-sebab dan sarat-sarat yang ada kaitannya
dengan
situasi politik dan keadaan mmasyarakat pada saat itu dan terutama
pandangan
pragmatisme selalu menentang teori, kritik dan ideologi. Pandangan yang
demikian pada umumnya hanya mencermati kebenaran yang spotong-sepotong
dan
dianggapnya sebagai suatu kebenaran yang umum.
Politik pragmatisme yang dijalankan oleh PDI-P antara lain tercermin
dalam
bidang apa yang dilakukan dalam langkah mundurnya yang katanya sebagai
taktik untuk kemudian melankah maju lebih jauh. (mundur satu langkah
untuk
maju dua langkah). Kalau memang taktik semacam ini yang dimaksud itu
namanya
pemundurun strtegis. Sedangkan pemilihan Sutiyoso sebagai gupernur
Jakarta
tidak dilandasi dengan adanya persiapan pemunduran strategis. Pemilihan
sutiyosa hanya didasari oleh karena Sutiyoso dianggap mempunyai
pengalaman
untuk mengamankan kota Jakarta, sehingga bisa diandalkan untuk
mengamankan
pemilu 2004. Kalau alasan ini yang diperguakan untuk memilih Sutiyoso,
maka
pemunduran yang dilakukan oleh PDI-P itu namanya mundur teratur, karena
dirinya merasa tidak akan bisa untuk mengamankan kota Jakarta dan juga
untuk
mengamankan kekuasaannya dari gangguan-gangguan termasuk gangguan dari
Golkar dimana Sutiyoso juga anggota Golkar yang sekaligus militer.
Dengan cara seperti itu jelas dapat dipastikan bahwa PDI-P sama sekali
tidak
mempunyai cadangan strategis untuk menghadapi kekuatan orde baru,
sehingga
achirnya PDI-P telah menjadi tawanan politik gokkar.
Pikiran pragmatis pada umumnya menganut pada logika subyektif,
menegasi
kebenaran objetif dan nilai kebenaran obyektif. Hal semacam ini nampak
dalam kutipan yang saya ambil dati postingnya saudara Ibrahim Isa
seperti
kutipan dibawah ini...
(Kutipan) : ........., karena Jendral Sutiyoso, sebagai mantan Panglima
TNI
di Jakarta,
adalah orang yang seharusnya dituntut di pengadilan, karena tuduhan
menggunakan
kekerasan senjata terhadap massa PDI dan pendukung-pendukungnya,
sampai
jatuh tidak
sedikit korban, pada kasus penggerebegan dan pendudukan Kantor PDI
Mega
dalam tahun
1996. Sutiyoso punya latar belakang sebagai tokoh militer yang
melakukan
penindasan
terhadap hak-hak Demokrasi. Selain itu selama jabatannya sebagai
gubernur
Jakarta
(1997-2002), sejak masih berkuasanya Suharto, Sutiyoso bukanlah
gubernur
yang
memberikan perhatian dan kepeduliannya pada rakyat kecil di wilayah
Jakarta-Raya.
Kebalikannya, ia paling sering berkonfrontasi dengan para Wong Cilik
Jakarta.
"Prestasinya" hanya "dikenal" dan "dirasakan" oleh para elite,
sedangkan
di
kalangan rakyat namanya dikaitkan (bukan tanpa alasan) -- dengan
masalah
penggusuran
dan pelarangan beroperasi terhadap abang-abang becak.(kutipan
selesai).
Kanyataan ini nampaknya telah diabaikan olah sekelompok elit PDI-P.
Kutipan : Resmi ataupun tidak resmi, Sutiyoso, kecuali militer juga
adalah
orang Golkar. Juga dikalkulasikan, bila, katakanlah, muncul gubernur
baru,
meskipun orang itu adalah calon dari PDI-P, PDI-P akan menghadapi
situasi
dimana "gubernurnya" itu belum berpengalaman, belum punya
relasi-relasi,
bleum punya sistim dan struktur kekuasaan yang diperlukan untuk bisa
dengan
baik mengurus Jakarta menghadapi pemilu. Apalagi bila diingat, pemilu
2004
cuma tinggal dua tahun lagi. Dan siapa bisa menjamin, . . . . bahwa
sang
gubernur baru itu akan lebih patuh, lebih mudah dikontrol dan
diawasi,
terbanding Sutiyoso. Mungkin juga, - - - gubernur baru dari PDI-P itu,
tidak tahan menghadapi rayuan "money politics". Sehingga nantinya sang
gubernur baru bisa-bisa akan menjadi tawanan dari Golkar, yang punya
dana
tidak terbatas itu. Atau menjadi tawanan fihak-fihak yang punya duit,
yang
ada konflik dengan PDI-P. Lagipula, begitu ditimbang-timbang, dengan
mendukung Sutiyoso, paling tidak, telah tambah satu angka plus lagi
untuk
PDI-P, vis-à-vis anggaran-politik TNI dan Golkar, dalam skala lokal
maupun
nasional. Dengan demikian 'sekali merangkuh dayung dua-tiga pula
terlampaui" , seperti kata pepatah. Bagi PDI-P adalah penting untuk
mengamankan koalisi PDI-P pertama-tama dengan TNI, kemudian, dengan
Golkar.
Ini memang bisa dikatakan TAKTIK atau apa sajalah, tetapi hakikatnya
adalah
PRAGMATISME YANG SETULEN-TULENNYA. Seperti yang dikemukakan oleh Kwik
Kian
Gie, yang kira-kira maksudnya: BEGITULAH CARANYA KALAU ORANG MAU
BERPOLITIK. ITULAH YANG NAMANYA POLITIK! (kutipan selesai)
Dari kutipan-kutipan diatas jelas telah ditunjukkan ciri-ciri bahwa
PDI-P
bukanlah parti yang reformis sejati seperti yang dulu pernah
diharapkan
oleh wong cilik, karena disini reformasi telah dijiwai dengan
pragmatisme
dan dimodali dengan logika yang subyektif dari para pnpinan PDI-P,
sehingga
program perjuangannya campuraduk dan subyektif yang hanya mengikuti
kemauan
selera para elit politiknya.termasuk ketua umumnya. Contoh kongkrit
pencalonan Sutiyoso sebagai gupernur Jakarta adalah bukti nyata bahwa
PDI-P
telah keluar dari cita-cita Reformasi dan telah meninggalkan wong
cilik.
Salam perjuangan.
Hudojo.
_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail.
http://www.hotmail.com