[Nusantara] "Nadirsyah Hosen" : Jimly soal komisi konstitusi

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 03:22:03 2002


"Nadirsyah Hosen" : Jimly soal komisi konstitusi 
4 Sep 2002 14:30:57 +1000 

Rabu, 4 September 2002 

Komisi Konstitusi Sebaiknya Hanya Jadi Komisi Teknis

Jakarta, Kompas - Komisi Konstitusi-yang merupakan amanat Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi-sebaiknya menjadi komisi teknis untuk
mengonsolidasikan naskah perubahan pertama hingga keempat
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Jadi bayangan saya, Komisi Konstitusi adalah komisi teknis, tetapi
ini tidak populer di kalangan teman-teman lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Ini soal-soal teknis, tetapi teknis di UUD adalah prinsipiil,"
kata ahli hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Jimly
Asshiddiqie di DPR, Selasa (3/9).

Jimly telah menyelesaikan buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat yang diterbitkan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UI Agustus 2002. Menurut rencana, besok Badan Pekerja
MPR akan mengadakan rapat pleno, di antaranya untuk mulai membahas
Komisi Konstitusi ini. Menurut Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2002 itu
Badan Pekerja (BP) MPR akan merumuskan susunan, kedudukan, kewenangan,
dan keanggotaan Komisi Konstitusi.

Jimly mengusulkan, dalam kewenangannya tetap dicantumkan Komisi
Konstitusi melakukan drafting UUD. Dalam hal itulah Komisi Konstitusi
bisa merancangkan penambahan dan pengurangan pasal, termasuk perubahan
nomor. Akan tetapi, teks final tetap disahkan MPR, karena penambahan
dan pengurangan, perbaikan, wewenangnya tetap ada pada MPR. Komisi
Konstitusi tidak punya wewenang politik untuk memberlakukan UUD,
karena yang memberlakukan tetap MPR.

"Komisi Konstitusi lebih baik teknis, tidak perlu digambarkan dengan
terlalu banyak orang. Terlalu rumit. Kita seakan-akan harus membentuk
lembaga politik lagi yang belum tentu legitimasinya lebih kuat dari
MPR yang memang hasil pemilu," katanya.

Jimly menilai, UUD 1945 dalam Satu Naskah yang dikeluarkan Sekretariat
Jenderal (Setjen) MPR baru-baru ini tidak resmi, karena yang resmi
tetap adalah naskah perubahan pertama hingga keempat yang
terpisah-pisah. Ketika digabungkan, ternyata banyak yang tidak
sistematis.

Ia mencontohkan Pasal 27 Ayat (3) hasil perubahan kedua yang berbunyi,
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara. Pasal tersebut substansinya mirip dengan Pasal 30 Ayat (1)
hasil perubahan kedua yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. "Maksud
saya, keempat naskah ini digabung, nomornya baru, pasal-pasal yang
berulang dibuang, yang kurang dimasukkan," katanya. (BUR) 

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup