[Nusantara] "rhafauzan" <rhafauzan@y> Wajib Ngobrol [Was: Pemimpin Yang Empatik]

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 06:53:13 2002


"rhafauzan" <rhafauzan@y> Wajib Ngobrol [Was: Pemimpin Yang Empatik] 
5 Sep 2002 05:13:02 -0000 
Wajib Ngobrol [Was: Pemimpin Yang Empatik] 

Kenapa pula harus bergantung pada presiden?
Jika kita merasa terpanggil dan punya kemampuan,
mengapa tidak langsung terjun ke lapangan.
Soal menjadikannya gerakan berskala nasional kan
cuma masalah gaungnya saja.

Sekalipun misalnya pers disini lebih suka pada
berita yang melulu presiden, tetap tidak membuat
kita harus bergantung pada presiden untuk
menciptakan gaung berskala nasional.
Sudah waktunya kita ini membuang jauh budaya
paternalistik.

Jika kita terbiasa bertegur sapa sama tetangga,
sama polisi, supir bus, penjaga toko, pelayan
restoran, tukang cukur, atau tukang parkir,
maka sebenarnya kita tidak lagi memerlukan pers
untuk membuat sesuatu menjadi berskala nasional.

Jika kita ini bagian dari masyarakat yang
berdaya, maka gaung skala nasional sebenarnya bisa
mengalir begitu saja tanpa harus melibatkan sektor
swasta (pers) ataupun sektor publik (presiden).

Tak ada yang sulit dalam bertegur sapa. Pokoknya
yang penting jangan nanya umur, agama atau suku.
Orang ras putih paling suka ngomong soal cuaca.

Ketika mau pulang lembur, orang juga bisa
terperangkap di lobby kantor, kalau pas keluar
dari lift tiba-tiba hujan turun deras. Di negeri
ras putih, dua orang yang terperangkap tadi
biasanya akan saling bertegur sapa. Kadang-kadang
mereka juga bisa  end up dengan sebuah solusi
kolektif atas persoalan yang mereka hadapi.

Obligasi untuk saling bertegur sapa seperti itu
ternyata tidak dimiliki orang kantoran disini.
Kejadian yang paling umum adalah: yang satu mojok
di ujung sono yang satunya lagi di ujung sini.
Kalaupun terdengar suara orang bicara, itu karena
salah satu dari mereka sedang ngobrol sama mobile
phone.

Seorang bernama A'a, bahkan punya pengalaman yang
lebih konyol. Di sebuah mall ada berjejer dua ATM
dari bank yang sama tapi orang hanya mengantri di
satu ATM saja. A'a pun bertanya kepada barisan
orang-orang itu, "apakah mesin yang ini rusak?".
Kedelapan orang yang mengantri cuma celingukan
saling toleh satu sama lain, tak seorangpun yang
menjawab. A'a lalu mencoba ATM yang "diduga
rusak", ternyata ia bisa mengambil uang tanpa
masalah. Lalu ia pamer memasukkan uang ke dompet
di depan delapan orang dan langsung ngacir. Barang
sepuluh langkah ia menoleh kebelakang, delapan
orang masih tetap setia mengantri di satu ATM. A'a
lalu masuk ke salah satu toko. Barang sepuluh
detik ia ngintip keluar, ternyata tiga orang sudah
mulai mengantri di ATM yang diduga rusak.

Hanya gara-gara tidak suka bertegur sapa, orang
bisa rugi waktu, tenaga dan bahkan materi.

Gimana caranya agar "kewajiban" untuk bertegur
sapa itu bisa melekat pada semua orang.

Gimana caranya membuat orang menjadi tidak nyaman
kalau sama-sama berada di satu tempat tapi tidak
mengobrol.

Gimana caranya membuat dua orang yang sedang
menunggu hujan reda bisa punya persamaan nilai
bahwa sebagai makhluk sosial atau sebagai bagian
dari masyarakat mestinya mereka saling bertegur
sapa.

Awalnya memang cuma kewajiban mengobrol, tapi lama
kelamaan muncul kesadaran akan eksistensinya
sebagai bagian masyarakat, bahwa orang wajib
bertegur sapa dengan sesamanya, bahwa orang tidak
bisa bertindak menang sendiri, termasuk tidak bisa
berpangku tangan jika ada sesamanya tertimpa
musibah.

Urusan mengobrol ini kayaknya lumayan penting,
karena jika itu membudaya bisa menumbuhkan trust
diantara masyarakat.
Kebiasaan mengobrol bisa membuat orang selalu
yakin untuk memulai percakapan karena ia punya
trust bahwa lawannya akan merespons dengan
antusiasme yang sama.

Trust yang tumbuh di masyarakat merupakan modal
yang luar biasa besar bagi masyarakat untuk
memberdayakan dirinya. Orang tak lagi saling
curiga satu sama lain, tak ada lagi ibu-ibu
memborong susu di super market hanya gara-gara
rumour tak jelas. Masyarakat bisa "share common
values, beliefs, ethics, and purposes" dan yang
paling utama: masyarakat bisa menyelesaikan
persoalannya sendiri tanpa keterlibatan swasta
atau pemerintah.

Kalau keterlibatan pemerintah bisa dikurangi, maka
institusi pemerintah bisa diciutkan. Sejumlah BUMN
bahkan Departemen bisa di bubarkan atau di
privatisasi, yang pada akhirnya korupsipun jadi
berkurang. Masyarakat berdaya juga punya tingkat
partisipasi yang tinggi terhadap keputusan publik,
akibatnya semua keputusan pemerintah tak ada lagi
yang hanya menguntungkan satu golongan.

Tunas social cohesion sebenarnya lebih banyak di
pedesaan ketimbang di kota besar. Barangkali akan
lebih baik kalau kapital dan fokus pembangunan
infrastruktur lebih banyak diarahkan ke pedesaan.

Jika ukuran kuantitas masyarakatnya terlalu besar
dan sangat heterogen seperti Indonesia, sulit juga
mengharapkan masyarakat bisa share common values.
Barangkali ide federalisme patut juga di explore
lebih jauh.

Akhir kata, solidaritas masyarakat tidak hanya
perlu untuk masalah Nunukan atau musibah lainnya,
tapi juga penting demi masa depan anak cucu.

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup