[Nusantara] Ambon" <sea@>: Bertahan dengan Citra Negatif

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 08:40:54 2002


Ambon" <sea@>: Bertahan dengan Citra Negatif 
5 Sep 2002 21:55:41 +0200 
         
Bertahan dengan Citra Negatif

Meski divonis tiga tahun penjara, Akbar Tandjung ngotot tetap menduduki
kursi ketua DPR. "Belum ada putusan hukum tetap karena masih ada 
banding.
Jadi, tidak ada alasan saya mundur," kata Akbar setelah divonis hakim
Pengadian Negeri Jakarta Pusat dalam perkara penyalahgunaan uang Bulog 
Rabu
lalu di Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta.

Argumen ketua Golkar itu tak salah. Vonis tiga tahun tersebut belum
mengikat. Sebab, KUHP masih memberikan kesempatan pada terpidana untuk
mengajukan banding di pengadilan tinggi dan kasasi ke MA. Tambahan 
lagi,
vonis hakim tersebut tidak serta-merta memerintahkan kejaksaan untuk 
segera
menjebloskan Akbar ke penjara.

Karena itu, berbagai desakan agar Akbar mundur dari posisinya sebagai 
orang
nomor satu di dewan hanyalah imbauan moral. Tidak memiliki kekuatan 
yang
memaksa. Desakan mundur itu hanya menggugah nurani.

Keharusan moral itu berpulang pada penafsiran Akbar mengenai status 
dirinya
setelah mendapatkan predikat terpidana sementara sambil menunggu 
putusan
banding atau bahkan bisa menunggu putusan kasasi MA.

Lalu, bagaimana kita mesti menilai status Akbar sebagai terpidana 
sementara
dan posisinya sebagai ketua dewan?

Jika sudut pandang kita adalah hukum sedangkan faktanya vonis hakim PN
Jakarta Pusat Rabu lalu belum memiliki kekuatan tetap karena masih ada
kesempatan banding dan kasasi, sah-sah saja Akbar bertahan sebagai 
ketua
DPR.

Toh, dalam banding atau kasasi, misalnya, belum tentu Akbar kelak 
diputus
salah. Belum tentu kelak putusan banding Pengadilan Tinggi DKI sama 
dengan
vonis PN Jakarta Pusat. Yakni, Akbar salah dan harus dihukum.

Jika kelak putusan banding atau kasasi menyatakan Akbar tidak bersalah 
dan,
karena itu, dibebaskan dari hukuman penjara, tidaklah pada tempatnya
menyingkirkan dia dari kursi ketua DPR.

Persoalannya ialah status Akbar sebagai orang yang diduga melakukan 
tindak
pidana korupsi tidak hanya menyebar dalam lingkup legal dan formal 
-berdasar
bukti-bukti hukum di pengadilan-, tetapi juga opini publik.

Memang, keabsahan putusan pengadilan tidak boleh didasarkan pada opini.
Putusan pengadilan alias vonis hakim harus berdasar fakta, saksi, dan
bukti-bukti yang terungkap di pengadilan.

Namun, opini tetap saja dapat memvonis seseorang -sekurang-kurangnya 
secara
psikologis- karena opini dapat menodai citra dan martabat. Karena itu,
setelah terbentuk opini publik bahwa seseorang bersalah sehingga harus
dihukum, pada gilirannya akan lahir krisis kepercayaan terhadap orang 
yang
bersangkutan.

Bagi figur publik atau tokoh-tokoh politik, krisis kepercayaan sama 
beratnya
dengan sanksi hukum dari palu hakim. Dengan kata lain, meski seseorang 
tidak
masuk penjara, tapi jika masyarakat tidak lagi percaya dan tidak lagi
memberikan dukungan kepadanya, hal itu sama saja dengan hukuman.
Sekurang-kurangnya, kadar siksaan hukuman itu bersifat psikologis yang
secara mental membuat seseorang merasa terkucil dan dipermalukan.

Dilihat dari sudut pandang yang terakhir ini, sekalipun Akbar ngotot
bertahan sebagai ketua DPR lantaran vonisnya belum memiliki kekuatan 
hukum
tetap, posisi politiknya telah terjepit.

Benar, vonis hakim belum mengikat. Tetapi, opini publik justru 
mengikat.
Yakni, sejak awal perkara itu digelar Akbar telah dianggap salah. 
Akibatnya,
citra ketua DPR ini menjadi buruk. Ini berarti dukungan dan kepercayaan
publik kepada Akbar terus menurun. Dalam perspektif ini, pilihan Akbar
seharusnya adalah mundur. Bukan bertahan di DPR. Bertahan malah makin
menegatifkan citranya.


-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup