[Nusantara] "Ambon" <sea@sw>: Agama Tanpa "Penganut"
Reijkman Carrountel
reijkman@europe.com
Fri Sep 6 08:43:55 2002
"Ambon" <sea@sw>: Agama Tanpa "Penganut"
5 Sep 2002 22:03:13 +0200
Agama Tanpa "Penganut"
* Memudarnya Prinsip-prinsip Moral dalam Keberagamaan Umat
Oleh Abd A`la
SALAH satu fenomena kontemporer yang dengan mudah dapat dilihat di
sekitar
kita adalah kian memudarnya kemaslahatan atau upaya pengembangan
kesejahteraan dan ketenangan dalam kehidupan umat manusia. Pada saat
yang
sama, kemafsadatan atau kejahatan dalam bentuk perang, kekerasan, atau
ancaman kekerasan, dan lainnya, kian merebak dan menjadi bagian yang
nyaris
lekat dengan sikap dan perilaku manusia.
Dari fenomena yang berkembang dewasa ini, kekerasan tampaknya masih
akan
terus berlanjut. Gerald O Barney dalam Global 2000 Revisited: What
Shall We
Do menyebutkan, meski Perang Dingin telah berakhir, senjata nuklir yang
memiliki kekuatan destruktif 5.000 kali lebih besar dari semua senjata
yang
digunakan dalam Perang Dunia II, kini masih ada di antara kita.
Kenyataaan itu masih ditambah teknologi yang memproduksi senjata
biologis
dan kimia, senjata konvensional, dan bom-bom teroris yang dapat
diperoleh
dengan mudah di sembarang tempat. Semua itu merupakan ancaman kekerasan
amat
mengerikan yang dapat membuat kehidupan masa depan manusia sebagai
neraka.
Ironisnya, penghuni dunia yang 86 persen merupakan umat beragama nyaris
bungkam menghadapi persoalan kemanusiaan itu. Bahkan, sebagian mereka
justru
menjadikan agama sebagai alat untuk menabuh konflik dan melanggengkan
kekerasan. Barney menemukan, belakangan ini ada empat puluh perang
berkecamuk di berbagai belahan dunia dan beberapa kekerasan yang
terinspirasi oleh agama.
Persoalannya menjadi kian runyam saat orang terjebak dalam simplifikasi
masalah dengan menyalahkan agama sebagai penyebab terjadinya kekerasaan
atau
krisis kemanusiaan yang lain. Sebagai contoh, seorang penulis terkenal
tentang pembangunan berkelanjutan-seperti dikutip Barney-menyatakan,
agama
harus mati. Agama merupakan penyebab utama perbagai masalah sosial,
ekonomi,
ekologi, dan merebaknya kekerasan di dunia. Ini sama seperti gugatan
Nietzsche yang mendeklarasikan kematian Tuhan, atau Marx yang
menganggap
agama sebagai candu, merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap peran
agama
dalam kehidupan.
***
ATAS dasar itu, persoalan yang perlu dikritisi adalah mencari kebenaran
tentang hubungan merebaknya kekerasan, atau krisis kemanusiaan yang
lain,
dengan ajaran dan nilai agama. Dari hasil penelusuran itu, penyebab
kekerasan yang sebenarnya, perlu dikuak untuk dicari jalan keluarnya
yang
tepat dan mencerahkan.
Jika kita mau jujur, agama di tingkat nilai dan ajaran sebenarnya tidak
pernah mengajak penganutnya berbuat kekerasan atau kerusakan dalam
kehidupan. Dalam perspektif Islam, agama ini menjelaskan, kehadiran
Muhammad
(SAW) sebagai pembawa Islam adalah sebagai rahmat, berkah bagi sekalian
alam. Misi Islam itu berulang kali diucapkan dan disebarkan ke
mana-mana.
Namun realitasnya, banyak kekerasan terjadi dewasa ini-juga
sebelumnya-yang
justru dilakukan umat yang mengaku dirinya Muslim.
Di sini inti masalahnya jelas bukan terletak pada ajaran Islam, tetapi
pada
pemahaman umat Islam terhadap nilai dan ajaran agama Islam. Mereka
hanya
mengambil aspek-aspek tertentu dari ajaran itu, serta pada saat yang
sama
melupakan aspek ajaran lain yang sebenarnya menjadi inti nilai Islam.
Kondisi seperti itu bisa berkembang karena di satu pihak aspek moral
dipinggirkan dari kerangka ajaran Islam. Di pihak lain, aspek teologi
atau
hukum menjadi satu-satunya sumber rujukan yang harus ditoleh. Ajaran
keimanan, hukum, dan moral, menjadi elemen-elemen yang saling terpisah
atau
direduksi sedemikian rupa sehingga tidak dapat menimbulkan moralitas
yang
kukuh dalam keberagamaan umat.
Kemungkinan lain, mereka mereduksi nilai substansial Islam karena
dilatarbelakangi kepentingan tertentu, seperti politik dan kekuasaan.
Akibatnya, keberagamaan yang muncul ke permukaan adalah keberagamaan
yang
ritualistik, atau eksklusif yang tidak memiliki roh dan semangat moral
keagamaan yang hakiki.
Agama dalam kepenganutan seperti itu tidak akan mampu membimbing
umatnya
kepada kehidupan yang sejuk, tenteram, damai, dan transformatif.
Keberagamaan ini pada gilirannya hanya mementingkan "keselamatan"
individu
dan kelompok sendiri. Bahkan, pada tingkat lebih parah, "keselamatan"
yang
menjadi titik perhatian adalah keselamatan akhirat yang mengabaikan
sama
sekali realitas kehidupan dunia. Untuk itu, pola yang dikembangkan
ditekankan pada sekadar hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta
melalui intensifikasi pelaksanaan ritual dan ajaran-ajaran formal agama
semata.
Aspek ritual tentu merupakan keniscayaan bagi tiap penganut agama.
Namun,
keterperangkapan pada ritualisme, serta pengabaian pada nilai-nilai
yang ada
di balik ritual itu, merupakan persoalan yang perlu dikritisi dan
digugat.
Islam mengajarkan, kepatuhan seseorang dalam melakukan ibadah ritual
tidak
akan pernah berdampak nyata serta positif terhadap peningkatan keimanan
dan
keberagamaan seseorang tanpa disertai pelaksanaan nilai-nilai moral
yang
terkandung dalam pesan ibadah tersebut.
Sejauh ini moralitas Islam telah memudar dari pola keberagamaan umat.
Ajaran
mengenai keterkaitan akidah, ritual, dan hukum pada satu sisi, dan
moral
pada sisi lain-sampai batas-batas tertentu-telah menjadi debu-debu
sejarah
yang tidak pernah disentuh secara serius oleh sebagian (besar) umat
Islam.
Islam hanya dipahami sebagai keimanan dan pelaksanaan ritual atau dan
semacamnya.
Umat lalu terjebak simbol-simbol agama dan formalisasi dalam segala
bentuknya. Karena itu, banyak umat Islam yang melakukan shalat, zakat,
dan
haji, tetapi mereka adalah koruptor, suka membodohi masyarakat, atau
melakukan perbuatan keji yang lain.
Mereka beranggapan, dengan melakukan ibadah secara intens, dosa-dosa
sosial
akan diampuni Tuhan. Mereka tidak menyadari, dosa-dosa sosial tidak
akan
pernah terampuni tanpa melakukan pertobatan yang bersifat sosial pula.
Demikian pula, mereka melakukan kekerasan dan perang kepada umat dari
agama
lain karena meyakini, hal itu merupakan bagian keimanan mereka. Mereka
lupa,
keimanan dalam Islam adalah keimanan yang terkait erat dengan moral,
semisal
keadilan, dan pluralisme.
***
PAPARAN sebelum ini merujuk satu konklusi yang tegas, moral merupakan
salah
satu elemen pokok agama yang tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur
agama
yang lain. Dalam pandangan Islam, mengabaikan aspek moral hampir dapat
dikatakan sebagai pengingkaran agama secara keseluruhan. Al Quran dalam
Surat 107 (al-Ma`un) tegas menunjukkan adanya keterkaitan dan
interdependensi itu.
Berkaitan dengan aspek moral itu, al-Jabiri (2001) menyebutkan, dasar
asasi
moral Islam adalah al-maslahah. Nilai ini merupakan representasi
al-ihsan
(performance of good deeds) yang dapat mewujudkan the legitimate
pleasure
bagi jiwa dan raga manusia, serta mewujudkan al-amal al-shaleh yang
dapat
bermanfaat besar bagi manusia (dan kehidupan).
Dengan demikian, al-maslahat al-am (kepentingan dan kesejahteraan umum)
menjadi tolok ukur bagi sikap dan perilaku yang harus dilakukan umat
Islam.
Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesejahteraan, ketenangan, dan
kedamaian, adalah moralitas yang harus dijunjung. Sedangkan segala
sesuatu
yang akan merugikan, merusak, atau sekadar mengabaikan kepentingan umum
merupakan sesuatu yang tidak bermoral yang harus dihindari.
Dalam konteks itu, tugas berat yang perlu dilakukan terletak dalam
upaya
meyakinkan dan melakukan penyadaran terhadap umat tentang keterkaitan
keimanan dan moral, sekaligus mengembangkan pemahaman bahwa Islam
sebagai
agama terdiri dari dua unsur: aspek normatif dan historis. Nilai-nilai
Al
Quran dan living Sunnah bersifat normatif dan absolut, sedangkan
perjalanan
Islam berbentuk pemahaman umatnya dari masa ke masa bersifat historis
dan
nisbi.
Tugas para intelektual Islam untuk meyakinkan umat bahwa masalah moral
merupakan nilai ajaran yang bersifat normatif, sedangkan
pandangan-pandangan
yang berkembang saat ini, termasuk pengentalan simbol yang tanpa
semangat
moral, adalah bersifat historis yang perlu dikritisi, diapresiasi, dan
direkonstruksi berdasarkan cahaya nilai-nilai normatif agama yang
otentik.
Tanpa ada kesadaran untuk menuju pola pemahaman dan keberagamaan
seperti
itu, Islam akan menjadi agama yang tanpa "penganut". Dalam arti, Islam
tidak
dianut umatnya sebagaimana tuntutan ajaran agama Islam itu sendiri.
Maka,
ketika Islam mengajarkan tentang penyebaran rahmat, umat justru
melakukan
perusakan dan kekerasan di muka Bumi. Itulah yang banyak terjadi dewasa
ini.
Abd A'la Alumnus Program Doktor IAIN Jakarta, tinggal di Pesantren
Annuqayah
Latee, Sumenep
--
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup