[Nusantara] "Kisondong Mandali" <kisondongmandali@y: uwatan

Ra Penak edipur@hotmail.com
Sun Sep 8 12:13:29 2002


"Kisondong Mandali" <kisondongmandali@y: uwatan
Sun 09/08

RUWATAN

Beberapa waktu yang lalu pernah ditayangkan televisi
tentang pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan
dengan tujuan meruwat dengan lingkup luas.  Seperti
meruwat bumi dan negara Indonesia.  Dalang yang
melaksanakan cukup terkenal dan dihadiri oleh banyak
petinggi negara.  Sungguh fantastis dan barangkali
sangat membanggakan warga bangsa Indonesia etnis Jawa.


Budaya Jawa memang begitu rumit dan multi dimensi.
Maka kadang membuat orang Jawa sendiri tidak mengerti
akan makna dan tujuannya.  Pagelaran wayang kulit
salah satu budaya Jawa yang multi dimensi, multi
interpretasi, dan banyak tidak dimengerti kalangan
awam (termasuk penulis).

Pengertian saya terhadap pagelaran wayang kulit yang
diselenggarakan meruwat adalah untuk meruwat
orang-orang yang tergolong sukerta. Yaitu orang-orang
yang ditentukan boleh menjadi mangsanya Bethara Kala.
Karena arti Bethara adalah penguasa dan Kala adalah
waktu/masa, maka yang dimaksud mangsanya Betahara Kala
adalah orang-orang oleh suatu situasi dan kondisi
bawaannya berpeluang mendapatkan kendala-kendala dalam
menjalani masa hidup di dunia.  Ruwatan pada umumnya
dilakukan terhadap orang-orang dalam situasi dan
kondisi ikatan persaudaraan seayah-ibu menjadi
sukerta.  Misalnya anak tunggal laki atau perempuan,
dua bersaudara laki perempuan atau laki-laki/perempuan
semua, tiga atau lebih bersaudara yang perempuan atau
laki-lakinya hanya satu, dlsb.

Lakon yang digelar untuk ruwatan adalah Sudamala, yang
ceritanya adalah diruwatnya Bethari Durga oleh Sadewa
(bungsu Pandawa).  Bethari Durga adalah wujud buruk
dari Dewi Uma (isteri Bethara Guru) yang welas asih.
Dewi Uma berubah buruk menjadi Bethari Durga
disebabkan terlalu kuatnya membela anak kandungnya
(Dewa Serani) yang anak tunggal sehingga berwatak
manja dan angkara murka. Pembelaan Dewi Uma terhadap
anak tunggalnya sedemikian rupa kuat sampai  kemudian
berani menentang Bethara Guru, suaminya yang juga
penguasa jagad. Cerita ini mengandung nilai ajaran
yang begitu indah ketika dibumikan.

Adalah sudah menjadi naluri seorang wanita sebagai ibu
mencintai anaknya (apalagi tunggal) sehingga mau
membela/mendukung keinginan anaknya tersebut
sampai-sampai merubah wataknya yang welas asih menjadi
serakah.  Dan demikian rumitnya pula posisi laki-laki
sebagai suami dan ayah (Bethara Guru) yang juga
mengemban amanah kekuasaan sebagai tokoh panutan
(pemimpin) masyarakat.  Keputusan yang diambil dalam
kasus yang demikian akan berpengaruh terhadap citra
dan legalitasnya sebagai suami/ayah yang berlawanan
dengan citra dan legalitasnya sebagai pengemban amanah
kekuasaan (pemimpin/panutan).  Dalam cerita ini solusi
yang diajarkan adalah untuk memilih berpihak untuk
mengamankan citra/legalitasnya sebagai pengemban
amanah kekuasaan (pemimpin/panutan) sebagaimana
keputusan Bethara Guru.  Akibatnya memang mengganggu
keharmonisan rumah tangga Bethara Guru.  Untuk suatu
kurun waktu tertentu harus berpisah batin dan fisik
dengan isteri dan anaknya.  Dewi Uma dan Dewa Serani
anaknya bersikukuh (secara emosi) kepada
kepentingannya yang penuh keserakahan dan angkara
murka dengan diilustrasikan berubah wujud sebagai
Bethari Durga dan Bethara Kala.  Sedang Bethara Guru
memilih mempertahankan citra dan legalitasnya sebagai
pemegang amanah kekuasaan yang harus menjaga
keharmonisan  jagad meskipun harus menanggung resiko
berpisah dengan isteri dan anak.

Keburukan Bethari Durga dan Bethara Kala bersifat
sementara karena kondisional saja.  Pada saatnya semua
sifat jahatnya akan luruh ketika bertemu Sadewa yang
dijadikan simbol kepandaian dan kebijakan
(intelektual).  Maka ajaran yang terkandung adalah
keintelektualan akan mampu meluruhkan/mengalahkan
semua watak buruk manusia.  Dalam hal ini
didiskripsikan bahwa Urip Sejati (kesejatian manusia)
telah diberi perangkat bawaan sejak diciptakan Tuhan.
Perangkat bawaan tersebut berupa kemampuan membedakan
yang positif (benar, baik, luhur) dan negatif (salah,
buruk, asor).  Manusia diberi kemerdekaan memilih
namun sifatnya situasional, sedang fitrahnya adalah
yang positif. Bila yang menguat adalah yang negatif
maka hal itu bersifat sementara dan bisa dikembalikan
kepada yang positif lewat pendidikan dan pencerahan.

Maka pokok pengertian ruwat adalah bentuk
pendidikan/pencerahan terhadap orang-orang yang oleh
suatu situasi dan kondisinya yang khusus berpeluang
memiliki watak buruk (sukerta).  Dengan prosesi
ruwatan yang dikemas demikian sakral maka dimaksudkan
agar yang diruwat selalu ingat akan pokok ajaran yang
biasanya disampaikan Ki Dalang saat menggelar
ceritanya.

Ada ruwatan lain yang dinamakan sesaji sambekala wuku,
hari dan pasaran.  Menururt keyakinan Jawa secara
generik setiap orang punya sambekala (kelemahan,
weaknes) karena pengaruh kedudukan benda-benda langit
(hitungan neptu) saat dilahirkan.  Sambekala tersebut
merupakan bawaan yang berasal dari pengaruh aurora
alam semesta saat orang tersebut lahir.  Maka juga
dianggap tempelan sementara dari pengaruh alam yang
bisa diluruhkan dengan sesaji sambekala tersebut.
Dengan peluruhan tersebut maka akan diminimalkan unsur
pengaruh kosmis alam dan akan menjadikan kekuatan
hidup sejati (sejatining urip) dari Tuhan bisa
dioperasionalkan dengan maksimal.  Pancaran kekuatan
hidup sejati yang dibangkitkan lewat ritual ruwatan
itulah yang sebenarnya mampu menghilangkan sambekala.

Prosesi sakral dengan pagelaran wayang kulit yang lain
saya belum pernah mengetahui.  Setahu saya pagelaran
wayang kulit yang lain adalah tontonan atau hiburan
yang biasanya berkaitan dengan kegembiraan.  Misalnya
untuk syukuran setelah selesai bersih desa,
pernikahan, khitanan, ngluwari ujar, dan kegembiraan
lain yang sejenis.  Namun, barangkali pendapat saya
ini karena pengetahuan saya tentang pagelaran wayang
yang kurang memadai saja.

Melihat pagelaran wayang kulit untuk ruwatan
sebagaimana ditayangkan televisi, saya menangkap kesan
lebih menonjol sebagai hiburan.  Kesakralan sebagai
dimaksud untuk ruwatan tidak jelas tertampilkan.
Apalagi untuk meruwat sukertanya bangsa dan negara
Indonesia yang sedemikian besar ini.  Pertanyaan lain
adakah Bethara Kala punya mangsa berupa bumi atau
negara ? Wong ceritanya saja Bethara Kala itu
bertempat tinggal di bumi kok memakan bumi dan negara
itu logikanya bagaimana ?

Saya termasuk yang bisa memahami bahwa ada unsur
mistis, magis, dan kosmis setiap pagelaran wayang
kulit.  Namun saya tidak percaya kalau pagelaran
wayang kulit mampu dijadikan suatu prosesi sakral
ritual Jawa untuk mengatasi problem yang dihadapi
Indonesia. Memang ada doa-doa dan mantera dari Ki
Dalang, namun doa dan mantera itu berkenaan dengan
keselamatan pagelaran wayang itu sendiri.  Untuk
ruwatan menghilangkan sukerta ada juga doa dan mantera
Ki Dalang yang diperuntukkan bagi yang diruwat (orang
dalam jumlah terbatas).  Maka saya tidak mengerti
kalau untuk meruwat Indonesia (200 juta orang lebih)
apakah doa dan mantera Ki Dalang (seorang diri)
memadai ?

Nuansa mistis, magis, dan kosmis pagelaran wayang
kulit berpengaruh kepada penonton dan sudah pasti
penonton yang punya akar budaya Jawa.  Sedang
Indonesia multi etnis yang tidak semua paham budaya
Jawa.  Maka saya kurang yakin kalau nuansa mistis,
magis, dan kosmis pagelaran wayang yang dimaksud untuk
meruwat Indonesia mampu mempengaruhi batin seluruh
warga bangsa Indonesia.

Krisis yang dihadapi Indonesia sudah merasuki berbagai
aspek kehidupan.  Bahkan ada yang kemudian
menyimpulkan bahwa krisis yang dihadapi sudah pada
tingkat akhlak dan moral bangsa.  Kalau indikasi ini
memang benar, maka dibutuhkan upaya ruwatan akbar yang
memadai.  Kebinekaan Indonesia menjadikan upaya-upaya
parsial yang hanya dikenal dan dipahami dari salah
satu unsur Indonesia tidak akan memadai.  Maka
dibutuhkan sesuatu kegiatan semacam ruwatan yang
universal sifatnya.  Atau setidaknya bisa diterima
oleh kebinekaan Indonesia.  Cara modern dan empiris
barangkali berupa penyadaran masal tentang makna
menjadi Indonesia.  Itupun masih langkah awal yang
harus dilanjutkan dengan upaya-upaya mempengaruhi
seluruh warga bangsa untuk bangga menjadi dan memiliki
Indonesia itu sendiri.  Persoalannya menjadi rumit
ketika krisis akhlak dan moral sudah merata pada warga
bangsa sendiri.  Maka untuk itu barangkali dibutuhkan
kekuatan maha-supranatural untuk bisa mempengaruhi
seluruh hati nurani warga bangsa Indonesia.
Barangkali saja maksud diselenggarakan pagelaran
wayang untuk meruwat bangsa dan negara dan ditayangkan
televisi adalah menggerakkan secara supranatural
kesadaran batin etnis Jawa.  Asumsinya, etnis Jawa
mayoritas dan sudah menyebar ke berbagai pelosok
Indonesia.  Namun kiranya menjadi kurang memadai
karena masih terbatas kepada yang paham dan gemar
dengan pagelaran wayang kulit saja.  Meski begitu
patut disampaikan rasa hormat yang tulus kepada yang
menggagas pagelaran wayang untuk meruwat Indonesia
tersebut.  Setidaknya ada juga warga bangsa kita yang
peduli dengan kondisi negara dan bangsa yang sedang
terpuruk ini..

Sebenarnya ada juga produk budaya Jawa yang mengandung
kekuatan supranatural untuk tujuan mendapatkan
ketenteraman dan kedamaian masyarakat. Yaitu pembacaan
tradisi kidungan dan menggemakan suara gamelan dengan
gending-gending pilihan yang pas dengan tujuan itu.
Unsur magis dan mistis dari irama tembang kidungan dan
gending-gending khusus gamelan diyakini memiliki
kekuatan supranatural yang mampu menenteramkan batin
orang yang mendengar.  Ketenteraman batin yang terus
menerus direkayasa akan menghasilkan kesadaran kosmis
yang pijakannya adalah keber-Tuhan-an, bersaudara
dengan seluruh isi alam semesta, dan moralitas tinggi
untuk menjaga kerukunan  dalam bermasyarakat
(bebrayan-jw).

Kekuatan supranatural irama tembang Jawa
(Dhandhanggula, Kinanthi, Pangkur, dlsb) adalah
semacan kekuatan mantra.  Sedang kekuatan supranatural
irama suara gamelan bisa beresonansi dengan yang gaib,
khususnya di Jawa. Banyak orang Jawa yang pernah
mendengar suara gamelan siluman (gaib) di waktu malam.
Dengan demikian suara gamelan gaib bisa diterima
telinga nyata, maka sebaliknya suara gamelan nyata
akan didengar pula oleh yang gaib.  Karena itu suara
gamelan memiliki kekuatan kesemestaan melingkupi jagad
manusia, jagad lelembut, dan jagad kadewatan (dewa).
Dengan logika sederhana, suara gamelan bisa dijadikan
sarana berkomunikasi dengan yang gaib.  Maka apa
salahnya kalau lewat suara gamelan kita minta saudara
kita yang gaib (menurut keyakinan Jawa) untuk ikut
membantu menyadarkan seluruh warga bangsa kita.  Namun
teknis pelaksanaannya kita serahkan kepada para ahli
gamelan yang cukup banyak.  Baik itu gamelan Jawa,
Bali, Sunda, Madura, dan mungkin etnis-etnis lain yang
sesuai dengan budaya masing-masing.  Kalau toh wacana
ini dianggap mimpi dan omong kosong, setidaknya
merupakan salah satu tindakan nyata mewujutkan
cita-cita berkepribadian dalam kebudayaan bukan ?

Ruwatan memang tradisi budaya khas Jawa. Intinya
adalah suatu upaya orang Jawa dalam mengontrol
perjalanan hidupnya untuk selalu selamat dari segala
aral dan kendala.  Ruwatan bertujuan untuk meluruhkan
sifat buruk dan memperteguh sifat baik pada orang yang
diruwat. Dengan diruwat maka diharapkan bisa luruh
karakter buruk seseorang dan tumbuh karakter baiknya.
Dengan demikian ruwatan juga bisa dipandang sebagai
upaya pencerahan menumbuhkan kesadaran kosmis
seseorang. Yaitu sadar bahwa hidup memang memerlukan
hubungan yang selaras dengan Sesembahan (Tuhan), alam
semesta, dan titah (mahluk) Tuhan yang lain. Manusia
yang sadar kosmis adalah manusia yang berpribadi
luhur. Kepribadian yang luhur itulah sebenarnya yang
kini dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.

Bagi mereka yang tidak berkenan dengan prosesi ruwatan
dan lebih cenderung memilih menjalankan ritual
agamanya, hendaknya jangan buru-buru menganggap
ruwatan barang haram.  Karena ruwatan meski mistis,
magis, dan kosmis bukan ritual agama dan tidak ada
hubungannya dengan kehidupan akherat nanti. Ruwatan
adalah upaya manusia Jawa secara spirituil khas Jawa
demi keselamatan dan keselarasan hidupnya di dunia.
Segala sesaji, iringan pagelaran wayang, doa, mantera,
maupun suara gamelan adalah ekspresi budaya Jawa yang
mengutamakan keseimbangan kosmis.  Sesantinya “melu
memayu hayuning bawana” atau memberi kontribusi untuk
terwujutnya rahmat (hayu) bagi seluruh alam.

Barangkali menurut tuntunan Jawa untuk mencapai surga
nanti harus melalui jalan ikut memberi kontribusi
terwujutnya hayu (rahmat) bagi seluruh alam.
Kontribusi tersebut diantaranya diekspresikan lewat
laku budaya. Laku budaya di masyarakat Jawa adalah
“Kalangwan” (mempersembahkan keindahan, Prof.
Zoetmullder)

Ketika Jawa menjadi Indonesia, maka kontribusi
budayanya yang berakar kuat untuk ikut “memayu
hayuning bawana” melalui kegiatan mempersembahan
keindahan kiranya masih relevan.  Apalagi kalau kita
mampu mengemas persembahan keindahan tersebut
mengandung makna untuk kejayaan Indonesia.
Sebagaimana dicontohkan oleh almarhum Ismail Marzuki
(bukan etnis Jawa) dengan ciptaan lagu-lagunya yang
penuh pujaan kepada Indonesia.

Demikian semoga bermanfaat.  Mohon maaf kalau ada yang
kurang sependapat.

Ki Sondong Mandali





Rindik ASU digitik


_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail. 
http://www.hotmail.com