[Nusantara] "WAHANA" <wahana@cen>: LSM dan Tanggungjawab Publik

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Thu Sep 12 13:49:23 2002


"WAHANA" <wahana@cen>: LSM dan Tanggungjawab Publik 
Sat, 07 Sep 2002 13:36:47 +0700 

Agus Pambagio

LSM dan Tanggung Jawab Publik 

GATRA.com - LEMBAGA swadaya masyarakat (LSM) sempat menjadi tumpuan masyarakat dan disegani banyak kalangan. Banyak sumbangsih LSM dalam perjuangan gerakan sipil di Indonesia, dari sektor ekonomi, sosial, sampai hak-hak asasi manusia (HAM). Masih segar di ingatan kita, bagaimana LSM buruh memperjuangkan hak-hak buruh agar punya posisi tawar lebih baik di mata pemilik perusahaan. Bagaimana LSM HAM berjuang mati-matian dalam mengungkap berbagai kasus kejahatan aparat yang terselubung di republik ini, sampai perjuangan penguatan hak tawar masyarakat di mata eksekutif dan legislatif.

Mereka silih berganti berbicara keras soal pergerakan dan pembelaan hak sipil di setiap kesempatan, melalui gerakan advokasi. Saat itu, sebagian besar peran ini dilakukan kalangan LSM Bingos (Big NGOs), seperti YLBHI, YLKI, Walhi, dan LP3ES, beserta jaringan mereka di seluruh Nusantara dan internasional. Dalam perjalanannya, gerakan advokasi diperkuat dengan litigasi, gerakan boikot, dan bentuk-bentuk tekanan publik lainnya. Gerakan LSM tersebut ternyata banyak membuahkan hasil. Sehingga, pada akhirnya, baik kalangan eksekutif, legislatif, aparat militer, maupun kalangan bisnis memperhitungkan langkah-langkah yang dilakukan para LSM. Memang, tidak semua keinginan gerakan sipil bisa terwujud. Tetapi, setidaknya, ada kemajuan berarti.

Gerakan LSM yang waktu itu boleh dikata masih "murni" ternyata mencapai puncaknya pada pertengahan 1990-an sampai jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Saat itu, gerakan LSM yang bergandengan dengan gerakan mahasiswa, buruh, dan komponen masyarakat lainnya berhasil membuat perubahan besar. Situasi sosial ekonomi dan politik yang tidak menentu membuat LSM menjadi tempat bagi publik untuk menaruh harapan agar kehidupan mereka lebih baik, setelah aparat pemerintah dan legislatif tidak dapat memenuhi keinginan masyarakat. Situasi itu membuat peran LSM menjadi lebih menonjol. Sehingga, banyak badan donor internasional menyalurkan dananya membantu LSM di Indonesia, khususnya saat krisis ekonomi dan Pemilu 1999, melalui berbagai program, seperti good governance, pengentasan kemiskinan, atau social safety net dan pemantauan pemilu. 

Berlimpahnya dana hibah dari para donor, dan tumbuhnya ribuan LSM baru di seluruh Indonesia, rupanya tidak diikuti kesiapan sumber daya yang dapat menyerap dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang berlimpah tersebut secara baik. Filosofi bahwa terjun ke LSM adalah pengabdian, dan "kontrak miskin" alias bukan mengejar materi, menjadi tidak relevan lagi. Akibatnya, banyak kita dengar, saat ini ada beberapa LSM yang belum dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana para donor, atau ada LSM yang dituduh salah mengalokasikan dana yang diterimanya. Ada pula LSM yang pekerjaannya memeras para pelaku bisnis, politikus, atau pejabat. Bahkan, banyak juga kita dengar dan lihat, sejumlah tokoh LSM menjadi "selebriti", bergaji sama tingginya dengan anggota dewan direksi sebuah perusahaan swasta besar. Fenomena ini membuat publik harus menjaga jarak dengan LSM.

Menjadi terkenal dan berpendapatan besar, bagi tokoh atau aktivis LSM, sah-sah saja. Asalkan program yang menjadi tanggung jawabnya bermanfaat bagi masyarakat, dan penggunaan dananya dapat dipertanggungjawabkan kepada pemilik dana (donor). Artinya, dalam hal tanggung jawab penggunaan dana, tidak ada perbedaan antara seorang pemimpin LSM dan pemimpin perusahaan atau pejabat publik, bahkan anggota DPR sekalipun. Tidak ada alasan, karena LSM, lalu mendapat pengecualian tidak perlu melaporkan penggunaan dana secara tertib keuangan. Begitu pula program yang dijalankannya harus sesuai dengan proposal dan anggaran yang disepakati. Sebagai pihak yang bertugas melakukan kontrol sosial, seharusnya LSM dapat lebih bertanggung jawab dalam penggunaan dana publik, agar harapan publik terhadap LSM "murni" bisa kembali.

Terlepas dari banyaknya LSM dari segi jumlah dan kegiatan, tanggung jawab LSM akan perannya dalam memberdayakan publik harus tetap berada di atas segalanya. Gaji besar boleh, asalkan perannya nyata dirasakan publik, dan penggunaan dananya juga dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang patut. Mengejar donor untuk memperoleh proyek sebanyak-banyaknya pun boleh, asalkan dana tersebut juga dapat di pertanggungjawabkan dengan patut. Jika ini semua tidak bisa dilaksanakan, sebaiknya kita kembali ke khitah LSM sebagai tempat mengabdi, bukan tempat mencari proyek atau nafkah. Sehingga, jika program yang dijalankan gagal, beban moral LSM kepada publik tidak begitu besar. Mari kita buktikan, dan selamat berkarya demi pemberdayaan masyarakat sipil!

[Agus Pambagio, Pemerhati konsumen dan kebijakan publik]
[Kolom, GATRA, Nomor 42 Beredar Senin 2 September 2002] 
 Versi untuk cetak 
 Kirimkan berita ini kepada rekan-rekan anda 

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup