[Nusantara] Hokan@t-onl: Re: Mempercepat Lepas dari Jeratan IMF
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:12:03 2002
Hokan@t-onl: Re: Mempercepat Lepas dari Jeratan IMF
Tulisan dibawah betul tetapi sifatnya terlalu sektoral.
1. Obligasi menjadi masalah sebab diterbitkan tanpa batas, tanpa Anggaran
Belanja Negara (jadi melanggar UUD!).
Yang mengusulkan IMF, jadi cukup patut kalau IMF dituntut menyanggung
sebagian
dari akibat kerugian dari Obligasi.
2. Cadangan devisa bisa jadi cukup, tetapi koordinasi BI dengan bank2 devisa
dalam masalah LC nol kosong. Selama Bank2 Indonesia belum mau profesional
dan
konkret belum punya sistem untuk melayani LC, Indonesia tergantung IMF.
3. RAPBN bukan hanya ketagihan hutang luar negeri baru, tetapi sudah
ketagihan
"default" artinya tiap tahun mampir ke Paris Club untuk minta pengampunan
terhadap pembayaran hutang yang tidak terbayar. Didalam Paris Club IMF
memainkan
peranan cukup penting. Disini Indonesia sangat tergantung dari opini dari
Paris
Club. Dengan kata lain penataan anggaran belanja negara harus merupakan
prioritas utama.
4. Indonesia lebih senang pergi ke Paris Club sebab hutang dalam negeri
biayanya
jauh lebih besar dari pada pinjam diluar (soft loan). Karena meminjamkan
uang
kepada negaranya, warga berduit NKRI simpanannya "bekerja" terus, menumpuk
bunga
dengan meraup bagian terbesar dari APBN. Mereka belanja dengan ria dan
memacu
konsumsi nasional dengan laju dan pertumbuhan sampai GNP 3,5% setahun. Ini
sudah
bukan lagi neoliberal, ini mungkin sudah hyperliberal.
Penguasa2 yang sebagian juga ikut kesenangan menikmati bunga tinggi -
menurut
istilah orang2 kehutanan "addicted to rent" - takut atau tidak mau memutar
roda
ini, padahal kekuasaan ada ditangannya. Tetapi partai2 dan masyarakat juga
belum
berani memberi usul konkret mengatasi masalah ini.
Siapa mau mulai?
salam damai
Hok An
>Media Indonesia
>Kamis, 12 September 2002
>
>Mempercepat Lepas dari Jeratan IMF
>Irvandi Gustari Pemerhati bidang keuangan dan perbankan
>
>KEBERADAAN IMF memang dirasakan semakin mencampuri banyak hal, termasuk
>mikro. Perkembangan terakhir mengenai penataan obligasi pemerintah,
>ternyata
>dicampuri terlalu jauh oleh IMF, sehingga makin memperberat defisit
>anggaran. Rencana reprofiling berupa penjualan ulang jatuh tempo obligasi,
>ternyata dititipkan oleh IMF dengan harus mengubah formula kupon. Ini jelas
>akan menguntungkan bank yang pada akhirnya akan menguntungkan pihak
>investor
>asing pada saat divestasi bank. Hal itu merupakan contoh kecil dari kiprah
>IMF yang selalu berpijak pada alasan tertentu. Padahal, sebenarnya hanya
>untuk kepentingan jangka pendek, dan akan sangat merugikan pada jangka
>panjang.
>Sebenarnya resep generik IMF dalam membenahi krisis perekonomian di
>negara-negara pasiennya, terlihat semakin tidak ampuh. Tiga resep yang
>selalu menjadi andalan IMF, yaitu liberalisasi, privatisasi, dan
>deregulasi,
>hampir bisa dipastikan hanya menambah permasalahan, khususnya rakyat kecil.
>Contohnya saja pencabutan subsidi BBM yang direkomendasi oleh IMF, adalah
>bentuk nyata ketidakberpihakan program-program IMF terhadap rakyat
>Indonesia
>ynag notebene masih banyak yang hidup di bawah batas garis kemiskinan.
>Rekomendasi dari MPR pada Sidang Tahunan MPR 2002, agar Indonesia bisa
>lepas
>dari cengkeraman IMF pada 2003 patut didukung. Memang perlu persiapan
>matang
>untuk lepas dari IMF.
>Bila dikaji lebih mendalam, sebenarnya Indonesia sama sekali tidak
>memerlukan pinjaman IMF karena pinjaman itu hanya bersifat cadangan kedua
>(second lyer defense). Artinya, pinjaman IMF itu baru dapat digunakan jika
>Indonesia telah menghabiskan cadangan devisa yang ada sekitar US$30 miliar
>(saat ini). Sebenarnya cadangan kedua tersebut juga nyaris tak berguna,
>sebab Indonesia sendiri menganut sistem flexile exchange rates. Dalam
>sistem
>ini tidak diperlukan cadangan devisa yang terlalu besar, sebab nilai tukar
>akan menyesuaikan diri sesuai kondisi neraca pembayaran. Jadi, pinjaman IMF
>itu pada dasarnya juga tidak dapat digunakan, tetapi Indonesia tetap harus
>membayar bunganya.
>Permasalahan yang terjadi di Asia, sebenarnya sangat berbeda jika
>dibandingkan dengan krisis di negara-negara lainnya, seperti di
>negara-negara Amerika Latin yang mengalami krisis pada 1980-an. Karena
>kebanyakan dari negara itu mengalami persoalan yang terkait dengan defisit
>anggaran negara yang kemudian menimbulkan ketidakseimbangan neraca
>pembayaran, sedangkan kebanyakan negara di Asia tidak mengalami defisit
>anggaran negara. Namun, IMF telah berbuat kesalahan, menerapkan pola yang
>sama dengan di negara-negara Amerika Latin, yaitu melakukan pengetatan
>moneter melalui peningkatan suku bunga. Akhirnya menimbulkan masalah baru,
>yaitu rusaknya sektor riil dan memunculkan masalah sosial seperti
>meningkatnya pengangguran dan kejahatan.
>***
>Bila dicermati secara detail, penundaan berkali-kali pencairan pinjaman
>oleh
>IMF justru hal itu memperburuk tingkat kepercayaan asing terhadap
>Indonesia.
>Bahkan, nilai rupiah pun langsung anjlok. Di samping itu, dengan alasan
>bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa memenuhi komitmen LoI adalah 'lagu
>lama'. Apalagi, kenyataannya jumlah pinjaman yang dicairkan selalu lebih
>kecil dari yang disepakati. Lagi-lagi memperlihatkan IMF tidak komit dan
>seakan-akan berada di atas angin. Pinjaman yang disetujui 5 November 1997
>sebesar US$11,05 miliar ternyata yang cair hanya US$4,86 miliar. Lalu yang
>disetujui 25 Agustus 1998 sebesar US$7,13 miliar cair hanya US$5,03 miliar.
>Terakhir yang disetujui pada 4 Februari 2002 sebesar US$4,82 miliar, yang
>cair baru US$0,35 miliar.
>Memang dari pihak pemerintah Indonesia, bukannya tidak pernah mengevaluasi
>tentang perlu tidaknya IMF, tetapi justru dari hasil evaluasi ditegaskan
>bahaya besar bila IMF tidak diperpanjang kontraknya, terutama berisiko
>terhadap kreditor lain, cadangan devisa, nilai tukar rupiah, dan terhadap
>APBN serta cadangan devisa.
>Risiko terhadap debitur lain sebenarnya pemerintah mengkhawatirkan akan
>terganggunya kelanjutan pinjaman dan hibah dari kelompok kriditor CGI, Bank
>Dunia, ADB. Namun, kekhawatiran untuk hal ini terlalu berlebihan, bila kita
>ingat sewaktu IMF menekan Indonesia dengan tidak bersedia mengucurkan
>pinjaman US$400 juta pada triwulan I 2001, justru pada waktu bersamaan
>Jepang menyatakan kesediaan memberikan pinjaman US$806,1 juta. Juga ADB
>pada
>bulan yang sama menyatakan kesediaan untuk pemulihan ekonomi memberi
>pinjaman US$400 juta. Dengan demikian, kekhawatiran pemerintah, masih
>perlunya dukungan IMF berkaitan dengan kepercayaan asing, sangat
>berlebihan.
>Toh dari pihak kreditor asing, ternyata lebih menekankan pada performa
>kerja
>secara fundamental dari perekonomian Indonesia.
>Lalu, bila IMF 'diceral' risiko terhadap APBN sebenarnya bisa diminimalkan.
>Kaitan secara langsung APBN terhadap pinjaman IMF tidak ada. Dugaan APBN
>akan mengalami peningkatan defisit dalam jumlah besar, dan berdampak
>melonjaknya tingkat inflasi, dalam kaitan langsung adalah tidak tepat.
>Risiko lain bila pisah dengan IMF adalah kaitannya dengan cadangan devisa.
>Dikhawatirkan IMF akan ngambek, lalu dana IMF akan dibekukan dan harus
>sesegera mungkin dikembalikan, tentu akan memangkas cadangan devisa
>Indonesia dalama jumlah yang sangat besar. Kekhawatiran seperti ini pun
>dapat ditepis, dan pemerintah Indonesia wajib menolak secara tegas. Toh,
>dana IMF yang sudah masuk, terkait dengan komitmen lama dan telah
>dikompensasikan secara paksa oleh IMF pada program-programnya sendiri yang
>kurang populer. Bila perlu, pemerintah Indonesia dapat mengajukan tuntutan
>atas kerugian karena mengikuti arahan IMF secara paksa. Kalaupun IMF memang
>ingin membekukan dananya, yang jumlah pinjaman Indonesia kepada IMF kurang
>lebih US$10 miliar, sebenarnya tidak perlu khawatir. Sebab, saat ini
>cadangan devisa nasional kurang lebih US$30 miliar, bila dikurangi dengan
>dana IMF yang harus dikembalikan US$10 miliar, cadangan devisa masih
>tersisa
>US$20 miliar. Dengan sistem free float, jumlah cadangan tersebut tidak
>dapat
>dikatakan membahayakan, dan diperkirakan akan dapat membiayai kebutuhan
>impor sekitar tujuh bulan.
>Selanjutnya, pandangan bila memutuskan hubungan dengan IMF akan berisiko
>pada nilai tukar rupiah, memang ada benarnya. IMF akan mengeluarkan
>'pernyataan-pernyataan' yang kurang menguntungkan Indonesia, sehingga
>timbul
>'sentimen negatif' terhadap rupiah. Tapi, karena pihak asing juga punya
>kepentingan di Indonesia, reaksi terhadap rupiah hanyalah bersifat
>sementara.
>***
>Untuk menghadapi berakhirnya kontrak dengan IMF pada November 2002 ini,
>kita
>harus berpikir secara arif. Sebab, desakan untuk 'pisah' dengan IMF tidak
>akan dapat diwujudkan segampang itu karena bagaimanapun dalam Paris Club
>disebutkan bahwa penundaan pembayaran/pelunasan utang yang diberikan oleh
>negara donor dengan catatan Indonesia masih harus bekerja sama dengan IMF.
>Untuk itu, sebaiknya disikapi antara lain, pertama, pada dasarnya Indonesia
>memang 'tidak membutuhkan' pinjaman IMF yang terkait dengan kesejahteraan
>rakyat secara langsung.
>Kedua, perlu koordinasi terpadu agar pihak asing yakin bahwa Indonesia
>memiliki kemampuan tanpa IMF. Sepantasnya sejak saat ini, dilakukan
>'koordinasi lobbying' oleh pemerintah, sehingga program kampanye tersebut
>dapat berjalan sampai dengan 2003 (November), hingga dengan Indonesia
>benar-benar 'pisah' dengan IMF. Ketiga, bila memang diniatkan dari sekarang
>bahwa Indonesia akan 'putus' dengan IMF pada 2003, harus dicanangkan
>program
>koordinasi secara menyeluruh oleh pemerintah, sehingga semua pihak, baik
>swasta maupun pemerintah bahu-membahu mencapai tujuan tersebut.
>Keempat, buktikan dan bukan sekadar janji kepada pihak asing bahwa good
>corporate governance akan berjalan baik di Indonesia walaupun tanpa
>diawasai
>oleh pihak lain (IMF). Ini harus menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua
>untuk mewujudkannya, termasuk dalam hal kepastian hukum yang selama ini
>memang sudah porak-poranda serta masalah korupsi yang sudah menjalar ke
>semua lapisan.
>Malaysia telah membuktikan bahwa tanpa IMF ternyata bisa keluar dari
>krisis.
>Dengan demikian, untuk sampai pada November 2003 memang masih panjang,
>tetapi jangan berulang seperti yang terjadi saat ini. Begitu IMF akan
>berakhir di Indonesia pada November 2002, barulah pada Juni muncul desakan
>untuk 'pisah' dengan lembaga dana moneter internasional tersebut. Kita
>memang tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, tapi mari kita tekadkan bersama
>bahwa Indonesia benar-benar tidak ingin dicampuri IMF lagi.***
>
_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail.
http://www.hotmail.com