[Nusantara] Arie Siswanto: Korupsi dan Suap dalam Bingkai Hukum Internasional

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:13:16 2002


Arie Siswanto: Korupsi dan Suap dalam Bingkai Hukum Internasional


Akhir Agustus ini, Transparency International kembali mengumumkan
pemeringkatan 102 negara dalam indeks korupsi. Seperti biasa, Indonesia
berada dalam kelompok sepuluh besar negara-negara paling korup di
dunia.
Rekor stabil itulah yang mungkin membuat banyak pihak merasa tidak
nyaman.
Pada awal tahun ini, misalnya, sebuah LSM yang dikenal dengan nama Opus
Supremus mengeluarkan gagasan yang secara sekilas tampak inovatif.
Ketika
itu, LSM yang dimotori oleh Ivanov Velinov itu menyatakan telah siap
mengajukan 13 orang koruptor Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den
Haag, Belanda. Belum lagi gagasan itu usai dibicarakan, akhir bulan
berikutnya Opus Supremus kembali menegaskan maksudnya untuk meminta
judicial
opinion dari Mahkamah International di Den Haag atas kasus korupsi yang
dilakukan beberapa koruptor Indonesia.
Memang belum jelas perihal mahkamah internasional mana yang diacu oleh
LSM
itu, karena saat ini di Den Haag terdapat dua mahkamah internasional.
Yang
pertama adalah ICJ (International Court of Justice) yang merupakan
salah
satu organ PBB. Mahkamah internasional kedua adalah ICTY (International
Criminal Tribunal for ex-Yugoslavia), yang merupakan mahkamah
internasional
ad hoc bagi pelanggaran HAM di bekas wilayah Yugoslavia.
Sayangnya, kedua mahkamah itu bukan institusi yang tepat untuk
mengajukan
kasus-kasus korupsi yang sedang "dibangun" oleh Opus Supremus. ICTY
yang
bersifat ad hoc jelas hanya dimaksudkan untuk menangani pelanggaran HAM
di
bekas wilayah Yugoslavia. Sementara itu, sesuai dengan statutanya,
hanya
negaralah, -bukan pihak privat-, yang bisa berperkara di depan ICJ
(Article
33 paragraph (1) Statute of the ICJ). Dengan demikian, gagasan
progresif
untuk menggunakan forum judisial internasional untuk mengadili para
koruptor
itu ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.
Meskipun gagasan di atas diperdebatkan sifat operasionalnya, semangat
yang
memunculkan gagasan itu patut ditanggapi secara positif. Di saat
perangkat
hukum domestik tidak akomodatif bagi penanganan kasus-kasus korupsi dan
suap, perangkat hukum internasional memang lantas tampak sebagai suatu
alternatif.
Hanya saja, persoalannya sampai sejauh mana sebenarnya perangkat hukum
internasional memiliki concern terhadap kasus-kasus korupsi dan suap?
Apakah
kasus-kasus korupsi dan suap dibiarkan berada dalam lingkup hukum
domestik
setiap negara ataukah ada norma-norma internasional yang bisa dipakai
sebagai acuan untuk memberantas kejahatan itu? Tulisan berikut
dimaksudkan
untuk mengemukakan perspektif hukum internasional tentang kejahatan
korupsi
dan suap.
Kasus Watergate
Persentuhan antara kejahatan korupsi serta suap dengan norma-norma
hukum
internasional dimulai awal 1970-an ketika penyelidikan kasus Watergate
di
Amerika Serikat telah menumbuhkan keprihatinan yang luas tentang
tingkah
laku elite bisnis dan politik negara itu. Perkembangan penyelidikan
kasus
Watergate itu kemudian memunculkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan
besar
bisa membawa pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan politik
domestik
maupun politik luar negeri Amerika Serikat.
Dalam kerangka penyelidikan itu, Archibald Cox, Jaksa Khusus Kasus
Watergate
menemukan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat
ternyata
tidak hanya memberi sumbangan ilegal bagi proses politik dalam negeri,
melainkan juga menyediakan dana bagi pemerintah negara asing dan partai
politik di negara lain. Dengan perkataan lain, perusahaan-perusahaan
multinasional dengan kekuatan finansialnya merupakan entitas-entitas
yang
bisa mempengaruhi proses dan hasil dinamika politik di berbagai negara.
Dengan dasar informasi yang didapat oleh Cox, pada 1975 Securities and
Exchange Commission menyelidiki sendiri lima perusahaan besar Amerika,
yakni
Gulf Oil Corporation, Phillips Petroleum Company, Northrop Corporation,
Ashland Oil, dan United Brands Corporation.
Apa yang terjadi di AS itu lantas juga diikuti oleh negara-negara lain.
Belanda, Jepang, Kosta Rika, dan Italia, kemudian juga mulai
menyelidiki
aliran-aliran dana perusahaan-perusahaan besar yang kadang menyangkut
figur-figur politik atau pejabat-pejabat pemerintah. Penyelidikan yang
dilakukan oleh Belanda, misalnya, mengarah pada keluarga kerajaan.
Dalam
suatu dengar pendapat, pihak Lockheed mengaku bahwa perusahaan itu
telah
memberikan uang 1,1 juta dolar kepada "seorang pejabat pemerintah
tingkat
tinggi di Belanda".
Dalam perkembangan berikutnya, mengingat kasus-kasus suap, korupsi dan
penyalahgunaan uang bisa memiliki karakter transnasional, PBB mulai
meletakkan persoalan itu di dalam agendanya. Pada 1975, beberapa
negara, di
antaranya Amerika Serikat dan Libya, mengusulkan dibuatnya resolusi
Majelis
Umum PBB tentang korupsi.
Hasil nyata dari pembicaraan tentang tindakan korup dan suap tampak
dari
dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3514 yang diterima pada
15
Desember 1975. Resolusi itu dibuat ketika pertentangan antara
negara-negara
maju dan negara-negara dunia ketiga tentang Tata Ekonomi Internasional
Baru
sedang menghangat, sehingga redaksi resolusi itu juga mencerminkan
kondisi
tersebut.
Pada Maret 1976 International Chamber of Commerce yang berkedudukan di
Paris
mengumumkan pembentukan komisi yang dimaksudkan untuk menelaah fenomena
pemberian uang secara tidak patut di dalam transaksi dagang
internasional.
Komisi yang diketuai oleh ahli hukum internasional Inggris,
Lord Shawcross kemudian mengeluarkan laporan yang berjudul Extortion
and
Bribery in Business Transactions yang antara lain menegaskan perlunya
kasus-kasus suap dan korupsi yang bersifat transnasional ditangani pada
tiga
level: perjanjian internasional, hukum nasional, dan pelaku usaha.
Sayangnya
laporan itu tidak dilanjutkan karena dianggap kontroversial.
Pada tahun itu juga PBB, khususnya melalui ECOSOCS dan UN Commission on
Transnational Corporations, terus memusatkan perhatian pada masalah
korupsi
dan suap dalam lingkup internasional. Meskipun demikian, upaya PBB di
dalam
menyusun instrumen tentang korupsi dan suap itu ternyata terjebak dalam
pertentangan dikotomis antara Barat vs Timur dan Utara vs Selatan pada
1970-an.
Hasil kerja PBB yang layak dicatat adalah "The UN Declaration Against
Corruption and Bribery in International Commercial Transaction" yang
diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1996. Meskipun tidak mengikat
secara
hukum, deklarasi itu mencerminkan perhatian masyarakat internasional
terhadap perlunya mengambil tindakan di berbagai fora guna memberantas
korupsi dan suap, -khususnya dalam transaksi komersial internasional-,
serta
sekaligus menyatakannya sebagai tindakan kriminal.
Hambatan
Dari uraian di atas tampak bahwa sebenarnya sudah mulai tersusun desain
hukum internasional yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi dan
suap,
khususnya yang memiliki sifat transnasional. Namun demikian upaya-upaya
itu
masih menemui hambatan-hambatan pada tiga level yang dikemukakan Lord
Shawcross.
Pertama, pada level perjanjian internasional kendala yang dihadapi
adalah
persoalan enforcement. Meski tidak disangkal bahwa perjanjian
international
(termasuk perjanjian antarnegara mengenai pemberantasan korupsi)
merupakan
produk hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum
(legally-binding),
keefektifan senantiasa menjadi persoalan.
Umumnya orang mengaitkan tidak efektifnya pelaksanaan perjanjian
internasional dengan ketiadaan organ supranasional yang bisa memaksa
negara-negara untuk menaati perjanjian internasional yang mereka buat.
Persoalan kedua terletak pada level hukum nasional. Dalam konteks hukum
internasional, hukum nasional bisa dipandang sebagai produk hukum yang
secara langsung akan "menjembatani" hak dan kewajiban hukum
internasional
dengan subjek-subjek hukum yang ada dalam lingkup hukum na- sional.
Konkretnya, ketika suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional, melalui hukum nasionalnya negara itu wajib menjamin dan
mengatur sedemikian rupa agar ketentuan-ketentuan hukum internasional
dapat
diterapkan.
Ketika suatu negara menjadi pihak dalam perjanjian internasional
tentang
pemberantasan korupsi, misalnya, kewajiban yang mengikuti adalah negara
itu
harus menyusun hukum nasional untuk mengakomodasi penerapan perjanjian
internasional yang bersangkutan dalam konteks kedaulatannya. Yang cukup
sering terjadi adalah negara-negara meratifikasi perjanjian
internasional
tertentu (dan demikian memperoleh "credit-point" di mata
internasional),
namun tidak berkehendak untuk membuat hukum nasional yang penad.
Kebijakan
"window dressing" yang bersifat basa-basi itu lantas membuat suatu
perjanjian internasional, betapa pun idealnya, menjadi tidak dapat
diterapkan.
Persoalan ketiga menyangkut pelaku usaha. Dalam konteks korupsi dan
suap,
terkadang pelaku usaha memandang kedua tindakan itu sekadar sebagai
aturan
main yang harus diikuti supaya usaha mereka bisa berjalan lancar.
Dengan
karakteristik hubungan yang bersifat "simbiosis-mutualistik" di mana
kelancaran aktivitas harus ditukar dengan sejumlah biaya, dunia usaha
(dan
juga kebanyakan anggota masyarakat) bisa melestarikan praktik-praktik
suap
dan kolusi.
Adalah keliru kalau kita menganggap wajar bahwa korupsi dan suap tidak
dapat
diberantas karena belum ada instrumen hukum internasional yang kuat.
Tanpa
menunggu instrumen itu pun, banyak pembenahan yang bisa dilakukan pada
level
hukum nasional dan pelaku usaha supaya sedikit demi sedikit negara itu
bisa
merangkak keluar dari sindrom "negara terkorup".
Penulis adalah pengajar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum UKSW
Salatiga.


_________________________________________________________________
MSN Photos is the easiest way to share and print your photos: 
http://photos.msn.com/support/worldwide.aspx