[Nusantara] Revrisond Baswir : Mafia Berkeley

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:14:35 2002


Revrisond Baswir : Mafia Berkeley
September 10, 2002 12:12 AM

HATTA HIDUP SE ABAD LAGI
Oleh: Revrisond Baswir
Pengajar FE UGM, Yogyakarta


Dua buah buku diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada. Buku pertama, 
ditulis oleh James Petras dan Henry Veltmeyer, berjudul Membuka Topeng 
Globalisasi: Imperialisme di Abad ke 21 (Globalisation Unmasked: Imperialism 
in the 21st Century).

Dari judul buku yang terbit tahun 2001 itu, dapat diketahui bahwa kedua 
penulisnya bermaksud mengkritisi fenomena globalisasi yang saat ini sedang 
menjadi mitos di seluruh dunia. Bahkan, jika diperhatikan anak judul buku 
tersebut, tidak terlalu sulit untuk diterka bahwa Petras dan Veltmeyer 
memang mengambil posisi sebagai penentang globalisasi dan lebih suka 
menyebut fenomena itu sebagai imperialisme.

Dan memang demikian adanya. Sebagaimana mereka tulis dalam kata pengantar 
buku tersebut, "Secara ideologis, di balik ungkapan globalisasi sesungguhnya 
terkandung sebuah proyeksi kelas tertentu. Sebab itu, alih-alih menjelaskan 
apa yang sedang terjadi di seluruh dunia, penggunaan ungkapan globalisasi 
sesungguhnya tidak lebih dari sebuah upaya pengaburan, yaitu sebuah upaya 
untuk meletakkan landasan ideologis bagi kepentingan ekonomi suatu kelas 
atas tertentu dari kaum kapitalis transnasional."

Dalam rangka kepentingan tersebut, menurut Petras dan Veltmeyer, "Orde 
ekonomi dunia yang ada sekarang ini sedang menjalani sebuah proses penataan 
ulang, yaitu untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi merajalelanya 
keserakahan, kepentingan kelas, dan penciptaan keuntungan."

Buku yang diterbitkan Fernwood Publishing, Kanada itu, selanjutnya membahas 
secara terinci berbagai kepalsuan, retorika, dan kejahatan yang dilakukan 
dalam rangka globalisasi. Tiga bab pertama berbicara mengenai dimensi 
ideologi dan retorika globalisasi. Bab 4, merupakan upaya empiris kedua 
penulis--dalam studi kasus Amerika Latin, untuk membuktikan hakekat 
globalisasi sebagai imperialisme. Sedangkan bab 5 dan 6 berbicara secara 
khusus mengenai kejahatan privatisasi dan dimensi politik kapitalisme 
neoliberal.

Selanjutnya, bab 7 dan 8, menganalisis secara kritis berbagai aspek 
kerjasama pembangunan internasional serta peranan organisasi non pemerintah 
(ornop) di dalamnya. Akhirnya, bab 9 dan 10, sekali lagi merupakan upaya 
empiris kedua penulis, untuk mengungkapkan sepak terjang pemerintah AS 
sebagai kekuatan imperialisme terbesar di dunia.

Dari pemikiran yang tertuang dalam buku setebal 183 halaman tersebut, tidak 
terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa Petras dan Veltmeyer adalah penerus 
tradisi sosialisme. Upaya mereka menelanjangi globalisasi sejalan dengan 
tradisi yang dibangun Marx ketika menulis Das Capital untuk menelanjangi 
kapitalisme. Sedangkan penggunaan ungkapan imperialisme jelas sejalan 
dengani tradisi yang dibangun Lenin dalam menjelaskan kecenderungan 
ekspansionis yang menyertai kapitalisme.

Kesimpulan itu dipertegas oleh bab penutup buku tersebut. Dalam bab yang 
berjudul Sosialisme dalam sebuah Era Imperialisme (Socialism in an Age of 
Imperialism) itu, Petras dan Veltmeyer menyimpulkan bahwa 'globalisasi' yang 
ditandai oleh terjadinya kesenjangan dunia dan transfer kekayaan dari 
seluruh dunia ke imperium Euro-Amerika tersebut, sesungguhnya menawarkan 
sebuah kondisi objektif bagi berlangsungnya transformasi sosial menuju 
sosialisme. Kendalanya, menurut mereka, tidak terletak pada absennya kondisi 
objektif, melainkan pada langkanya kondisi subjektif, yaitu pada lemahnya 
kritik dan oposisi terhadap imperialisme.

Persis pada titik itu, buku kedua yang ditulis oleh J.W. Smith, maju ke muka 
dengan judul Demokrasi Ekonomi: Perjuangan Politik Untuk Abad ke 21 
(Economic Democracy: The Political Struggle for the 21st Century). Dalam 
buku yang terbit tahun 2000 tersebut, Smith tidak hanya mempertegas sikap 
Petras dan Veltmeyer untuk menyebut globalisasi sebagai imperialisme, ia 
bahkan maju lebih jauh dengan membeberkan berbagai tindakan yang dilakukan 
AS untuk mengukuhkan dirinya sebagai pusat imperialisme dunia.

Sebagaimana dikemukakannya dalam kata pengantar buku tersebut, "Dengan 
beroperasinya angkatan bersenjata AS pada sekitar 100 negara di dunia, walau 
pun secara teoritis perang dingin telah berakhir, sangat sulit bagi AS untuk 
membantah bahwa ia adalah sebuah imperium atau, bersama-sama dengan rekan 
militer dan rekan dagangnya, telah membentuk sebuah aliansi imperium di 
dunia. Buktinya sangat telanjang. AS yang semula hanya sebuah imperium 
kolonial kecil, kini-bersama-sama dengan rekan pusat permodalannya, telah 
menjelma menjadi sebuah imperium terbesar dan paling berpengaruh dalam 
sejarah."

Buku yang diterbitkan oleh M. E. Sharpe, Inc., New York tersebut, 
selanjutnya mengupas secara terinci berbagai kejahatan yang dilakukan AS 
dalam mengukuhkan posisinya sebagai imperialis. Bab 1 hingga 9, berbicara 
mengenai berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah AS. Sedangkan bab 10 
hingga 19, berbicara mengenai peranan lembaga-lembaga keuangan dan 
perdagangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia, GATT, NAFTA, dan WTO, 
dalam memaksakan kehendak AS ke seluruh penjuru dunia. Selanjutnya, bab 20 
hingga 28, memaparkan secara terinci beberapa agenda yang perlu 
diperjuangkan untuk mengubah perekonomian dunia menjadi sebuah perekonomian 
yang demokratis.

Mencermati pemikiran yang tertuang dalam buku setebal 380 halaman tersebut, 
dapat disaksikan bahwa secara ideologis, Smith memiliki posisi yang sama 
dengan Petras dan Veltmeyer. Perbedaan Smith dengan kedua rekannya terletak 
pada latar belakang pendidikan mereka. Petras dan Veltmeyer adalah guru 
besar sosiologi, sedangkan Smith adalah penyandang PhD ekonomi. Dengan latar 
belakang pendidikan seperti itu, walau pun secara esensi mereka menawarkan 
agenda yang sama, Petras dan Veltmeyer menyebut agenda mereka sebagai 
sosialisme baru. Sedangkan Smith menyebut agenda yang ditawarkannya sebagai 
demokrasi ekonomi.

Kedua buku yang terbit pada permulaan milenium ketiga tersebut, jelas sangat 
penting artinya dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta yang jatuh 
pada tanggal 12 Agustus 2002 lalu. Hatta, sebagaimana Soekarno dan Sjahrir, 
adalah penerus tradisi sosialisme yang sangat terkemuka di Indonesia. Walau 
pun Hatta tidak turut melahirkan Marhaenisme yang dicetuskan Soekarno, dan 
tidak tercatat sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang 
didirikan Sjahrir, komitmennya terhadap demokrasi ekonomi tidak pernah surut 
sepanjang hayatnya.

Bung Hatta tidak hanya telah berbicara mengenai arti penting demokrasi 
ekonomi ketika ia menulis pamphlet untuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI 
Baru), pada tahun 1932. Tetapi, bersama-sama dengan para penyusun konstitusi 
lainnya, Bung Hatta telah turut pula berjuang untuk mencantumkan demokrasi 
ekonomi dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana tercantum 
dalam penjelasan pasal tersebut, "Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi 
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau 
penilikan anggota-anggota masyarakat. "

Sikap serupa dilanjutkan secara konsisten oleh Bung Hatta setelah ia 
meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada tahun 1956. Sebagaimana 
dikemukakannya dalam artikel Demokrasi Kita yang terbit tahun 1960, 
"Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. 
Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau 
tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab 
itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh 
lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia."

Kehadiran buku Petras dan Veltmeyer, serta buku Smith tadi, setidak-tidaknya 
mengungkapkan kepada kita bahwa pemikiran Bung Hatta masih tetap hidup 
hingga 100 tahun setelah ia dilahirkan. Dengan demikian, betapa kelirunya 
bila ada yang beranggapan bahwa pemikiran Bung Hatta sudah ketinggalan 
zaman. Bahkan, dengan dicanangkannya demokrasi ekonomi sebagai agenda 
perjuangan politik abad ke 21 oleh Smith, saya tidak memiliki keraguan 
sedikitpun untuk mengatakan bahwa pemikiran Bung Hatta masih akan terus 
hidup hingga seabad lagi.

_________________________________________________________________
MSN Photos is the easiest way to share and print your photos: 
http://photos.msn.com/support/worldwide.aspx