[Nusantara] Nur Mahmudi Isma'il: Tragedi WTC dan Politik Mega

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:15:27 2002


Nur Mahmudi Isma'il: Tragedi WTC dan Politik Mega

Presiden George Walker Bush menyatakan bahwa tragedi WTC, 11 September
lalu,
akan mengubah jalannya sejarah. Bush tentu tidak asal ngomong, tapi
sudah
dipikirkan matang-matang. Sebagai negeri adidaya yang dipermalukan oleh
teroris yang menghancurkan simbol-simbol kekuasaan AS -- WTC (keuangan)
dan
Pentagon (militer) -- Paman Sam niscaya akan berusaha sekuat mungkin
"mengubah sejarah" dunia pasca September Hitam (Black September) untuk
mengamankan kedaulatan dan supremasi kekuasaannya. Salah satu negara
yang
hendak diubah sejarahnya -- sebagai salah satu komponen yang menentukan
dalam perubahan sejarah dunia -- adalah Indonesia, negeri yang
berpenduduk
Muslim terbesar di dunia.

Bagi AS, Indonesia adalah negeri yang amat penting ditinjau dari segala
segi. Dari segi kekayaan alam, letak geografis, dan terutama
penduduknya
yang mayoritas beragama Islam. Di mata AS, faktor Islam inilah yang
jadi
perhatian utama, karena agama ini sudah menjadi 'stigma' di mayoritas
penduduk AS sebagai agama yang menyebarkan terorisme. Meski stigma
tersebut
jelas salah dan pemerintah AS berusaha memperbaiki stigma itu, tapi
karena
media massa AS yang dikuasai jaringan Yahudi anti-Islam sudah demikian
mempengaruhi pandangan warga masyarakat AS, perbaikan citra Islam
tersebut
nyaris sia-sia.

Setelah tragedi WTC, misalnya, kebencian terhadap Islam di AS makin
menjadi-jadi sehingga banyak orang Islam -- baik yang sudah jadi warga
negara AS maupun bukan (imigran) --hidup penuh ketakutan karena diteror
di
mana-mana. Sampai hari ini pun, meski pemerintah Bush sudah
berkali-kali
menyatakan bahwa Islam tidak sama dengan teroris, tapi mayoritas
masyarakat
AS masih berpikir stereotip media massa anti-Islam, bahwa Islam identik
dengan teroris.

Dari perspektif di atas AS sebetulnya tidak dapat menghindarkan diri
dari
tuduhan benci Islam karena faktanya memang demikian. Apalagi bila
diingat
kekuasaan media massa di AS yang sangat besar (baca: sebagai pilar
keempat
demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif), yang dapat
mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dan alur politik AS. Bukan
rahasia
lagi di kalangan eksekutif maupun legislatif di AS ada semacam aturan
baku:
"dukung Yahudi dan musuhi Islam" kalau ingin selamat dari hantaman pers
Paman Sam.

Indonesia -- negeri yang pernah dijuluki pers AS sebagai sarang teroris
--
tentu saja mendapat perlakukan 'khusus' AS. Sebagai negara sarang
teroris --
sebutan lain untuk kelompok Islam 'fundamentalis' yang di Indonesia
diindikasikan AS jumlahnya makin banyak -- Indonesia harus 'diubah'
sejarahnya. Jangan sampai orang-orang fundamentalis menjadi eksekutif
yang
sangat menentukan jalannya roda pemerintahan.

Ada beberapa faktor yang perlu kita amati dari perjalanan politik
Megawati
yang terkait dengan politik global AS pasca tragedi WTC. Pertama,
hubungan
Megawati dengan militer. Kedua, politik Megawati terhadap kelompok
Islam
'fundamentalis'. Dan ketiga, respon Megawati terhadap tuntutan IMF.
Ketiga
faktor tersebut, untuk sementara bisa menjadi 'jembatan' untuk memahami
Megawati di balik sikap diamnya.

Hubungan Megawati dengan militer terasa sangat unik dan sekaligus aneh.
Di
era Orde Baru Megawati adalah korban militer. Peristiwa berdarah 27
Juli
1996 di kantor PDI yang menimbulkan korban tewas dan hilang puluhan,
bahkan
ratusan warga PDI pendukung Mega, seperti dijelaskan wartawan senior
Rosihan
Anwar dalam tulisannya di Kompas 27 Juli lalu, adalah jelas-jelas
perbuatan
militer.

Siapa tokoh-tokoh militer di balik peristiwa itu, kalau kita jeli
melihat
sejarah dan struktur militer, jelas sekali orangnya dan bisa dibaca
sekarang
ini. Orang-orang militer yang berperan dalam peristiwa 27 Juli masih
ada.
Tapi apa yang dilakukan Mega? Mega justru diam dan tidak mau meneruskan
peristiwa itu ke pengadilan, khususnya yang mengaitkan petinggi
militer.
Yang menarik Wapres Hamzah Haz juga mendukung politik Mega tersebut.
Bahkan
Mega dan Hamzah, bagaikan koor mendukung Sutiyoso (yang saat peristiwa
27
Juli berlangsung, sebagai Pangdam Jaya) untuk menjadi Gubernur DKI.

Membaca peristiwa tersebut, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama,
Mega
memang sedang mencari simpati militer untuk mendukung kekuasaannya.
Yang
kedua, Mega ditekan AS untuk mendukung militer karena hanya militerlah
yang
mampu menghadapi teroris.

Apabila kemungkinan pertama yang terjadi, maka sebenarnya Megawati
telah
melakukan character assassination terhadap korps militer. Megawati
seharusnya memposisikan militer sebagai alat negara untuk
mempertahankan
kedaulatan negara dengan tugas-tugas yang terhormat dan berwibawa.
Bukan
malah memberikan permen kekuasaan eksekutif -- yang seharusnya dijabat
oleh
sipil-yang justru melecehkan korps militer.

Padahal nyata-nyata dalam banyak kesempatan telah dicetuskan keinginan
militer untuk meninggalkan kekuasaan, lepas dari arena politik praktis
dan
memposisikan diri sebagai militer profesional. Bahkan telah dikukuhkan
dalam
persetujuannya melakukan amandemen UUD'45 termasuk siap tidak duduk di
DPR
lagi mulai 2004 mendatang -- lebih cepat dari komitmen pada 1999 yang
lalu.
Sebuah hal yang aneh, seorang presiden yang memegang kendali kekuasaan
eksekutif pemerintahan sipil justru malah tidak menginginkan militer
menjadi
profesional.

Kemungkinan kedua yang mungkin saja terjadi dan pas dengan skenario AS
karena terbukti Hamzah Haz pun mendukung langkah Mega. Padahal, secara
politis, Hamzah yang menjadi ketua PPP tidak punya 'hubungan khusus dan
aneh' dengan militer dalam perjalanan politiknya.

AS tampaknya sedang berupaya sekeras mungkin untuk mencegah munculnya
'benih-benih terorisme' di Indonesia dengan memperkuat posisi militer,
khususnya di tingkat eksekutif. Kebijakan AS terhadap Indonesia ini
tentu
saja bertentangan dengan arah sipilisasi kekuasaan di Indonesia di era
reformasi. Bahkan bertentangan dengan cita-cita Amerika sendiri yang
mengharapkan kokohnya penerapan demokrasi di setiap negara dalam setiap
bidang kehidupan. Nah, dalam kaitan inilah Mega 'dipakai AS' untuk
memperkuat posisi militer di wilayah yang sangat subur terorisme
seperti
Jakarta.

Dari logika ini, kita bisa memahami kenapa Mega bersikeras mencalonkan
Sutiyoso. Dalam kaitan ini, Mega mendapat dua keuntungan politik.
Pertama
mendapat dukungan militer dan kedua mendapat dukungan AS. Wajar, sejak
itu,
AS mengumumkan dibukanya kembali kran bantuan untuk militer Indonesia
yang
sejak peristiwa Dili Berdarah dibekukan.

Apabila kemungkinan kedua tersebut yang terjadi maka akan muncul sebuah
pertanyaan besar dalam benak kita, Layakkah kita hidup sebagai sebuah
bangsa
dan negara yang berdaulat, jika kebijakan yang dikeluarkan berada dalam
tekanan negara lain? Atau pertanyaan berikutnya, Layakkah sebagai
sebuah
negara yang berdaulat, Indonesia dipimpin oleh seseorang yang menjual
kepentingan bangsanya demi negara lain? Ingat pemberantasan teroris
tidak
dapat dilakukan dengan pelecehan terhadap militer melalui pemberian
permen
kekuasaan eksekutif, melainkan memberikan tugas dan amanah yang
terhormat
dan berwibawa dalam menjaga keamanan, kepastian hukum dan kedaulatan
negara
kesatuan Republik Indonesia dengan penyediaan dana, sarana dan
prasarana
yang memadai. Sehingga kasus gejolak separatis di Aceh dan Papua serta
gejolak konflik SARA dan separatis di Ambon segera dapat diselesaikan.

Yang kedua, hubungan Megawati dengan Islam 'fundamentalis'. Meski
sebutan
fundamentalisme pada Islam di Indonesia 'tidak jelas jluntrungannya'
karena
Islam di Indonesia mempunyai karakter berbeda dengan Islam di Timur
Tengah
dan AS, tapi Mega -- sebagai kepala negara Indonesia -- harus menerima
kenyataan yang didikte AS tersebut. Dalam kaitan ini, sikap Mega dan
Hamzah
agak bertolak belakang. Mega yang kekuatannya berbasis pada PDIP, tidak
mendapatkan kesulitan untuk menyesuaikan dengan kemauan AS pasca WTC
tadi.
Namun Hamzah menemukan kesulitan karena basis kekuatannya adalah
kalangan
muslim. Dalam kaitan ini, ada tarik menarik tidak sehat antara Mega dan
Hamzah. Hal itu, misalnya, ditunjukkan dalam kasus penahanan Ja'far
Umar
Thalib.

Mega sangat mendukungnya, sementara Hamzah -- meski secara hierarkis
menyetujui Mega -- tapi di balik itu, tidak sejalan dengan kebijakan
Mega.
Terbukti Hamzah berkunjung ke tempat penahanan Ja'far. Hamzah
berkunjung ke
Ja'far yang saat itu jadi tahanan Polri pasti dilatarbelakangi strategi
politiknya. Yaitu untuk mendapat simpati kaum muslimin. Dalam
perspektif
ini, politik Mega dan Hamzah memang berseberangan.

Tapi Hamzah sebagai politisi mampu menyembunyikan perbedaan tersebut di
pentas publik. Namun, bagi AS sikap Hamzah tersebut jelas kurang
kompatibel
dengan kebijakan AS. Karena itu, bisa dipastikan, dalam Pemilu 2004,
Mega
akan lebih mendapat dukungan AS ketimbang Hamzah untuk menjadi presiden
RI
ke-6. Konsekwensi ini penting sekali artinya bagi Mega dalam
memperpanjang
kekuasaannya.

Perlu diketahui, bahwa tidaklah tepat mengkotak-kotakkan kaum muslimin
dengan berbagai tuduhan dan kategori. Muslimin Indonesia semakin dewasa
dan
tidak mudah dikotak-kotakkan karena madzhab maupun pemisahan garis
keras
atau lunak. Muslimin Indonesia menghendaki terjadinya good governance,
economic recovery, kepastian hukum, supremasi hukum, keadilan,
persamaan
hak, serta penghormatan terhadap martabat bangsa dan negara. Dengan
system
pemilihan presiden langsung (amandemen UUD'45) pada 2004 mendatang,
bagi
siapa saja yang macung presiden, perlu melakukan strategi yang
profesional,
tidak dengan cara-cara diatas termasuk Megawati dan Hamzah.

Ketiga, ketaatan Megawati terhadap IMF sebagai simbol 'kekuasaan AS' di
Indonesia juga cukup meyakinkan. Meski banyak pihak mengkritiknya
termasuk
Kwik Kian Gie, tapi Mega (tentu melalui Menko Ekuin) tetap
memperpanjang
kontrak dengan IMF. IMF -- seperti disebutkan Samir Amin -- adalah
jaring-jaring AS untuk mengikat suatu negara dalam lingkaran
pengaruhnya.
Berhasil atau tidak hasil-hasil kerja IMF tidak penting, kata Samir.

Yang penting, keberadaan IMF itu makin menjerat suatu negara ke dalam
lingkaran pengaruh AS. Dalam kaitan inilah Indonsia sudah menjadi
'satelit'
AS dan sulit lepas. Dengan strategi semacam ini, AS gampang mendikte
Indonsia. Sejak tragedi WTC, AS tampaknya makin keras menggunakan
instrumen
politik dan ekonominya untuk mengikat Indonesia. Dan Mega pun, sering
didatangi para petinggi AS untuk urusan tersebut.

Padahal saat ini, Megawati harus berpikir untuk melepaskan diri dari
jeratan
IMF dan kekuatan asing lainnya menuju kemandirian bangsa --menjadi
cita-cita
salah seorang Proklamator Republik Indonesia yang juga Bapak dari
Megawati.
Sebuah contoh sederhana bahwa pemerintahan ini tidak serius untuk
menjadikan
Indonesia sebagai sebuah bangsa Mandiri adalah APBN dengan program
defisit.
Mengapa tidak membuat program-progam pembangunan sesuai dengan
pendapatan
yang diperoleh? Sehingga tidak menimbulkan defisit yang membuka peluang
untuk hutang dengan negara lain.

Pemerintahan Megawati seharusnya berpikir bahwa dana pembangunan
tersebut
tidak hanya berasal dari APBN. Banyak dana masyarakat yang tersimpan
'di
balik bantal' yang bisa dipakai untuk menggerakkan ekonomi negara
termasuk
dana investor luar negeri. Buktinya selama krisis ekonomi berlangsung,
geliat ekonomi masyarakat lah yang menyelamatkan negara ini, bukan
hutang
luar negeri?

Masyarakat termasuk investor luar negeri hanya butuh jaminan keamanan
dan
kepastian hukum dari pemerintah untuk mengeluarkan dana-dana yang
'dorman'
tersebut. Nah, kenapa pemerintah harus mengambil langkah untuk
berhutang
dengan pembuatan APBN yang defisit?, padahal masyarakat mampu
me-recovery
perekonomian negara jika ada keseriusan dari pemerintah.

Dari fakta-fakta seperti di atas, Indonesia di bawah rejim Mega akan
semakin
terjerat dengan AS. Kini kita bisa memprediksi, apa yang akan dilakukan
Mega
terhadap kelompok Islam yang disebut garis keras tadi. Jika pemerintah
baru
saja mengadili para demonstran yang menginjak dan membakar gambar Mega,
peristiwa itu bisa dianggap sebagai 'benih' untuk menangkap dan
mengadili
para demonstran yang akan datang. Dan harap dicatat: selama ini pihak
yang
paling banyak mendemo Mega adalah kelompok Islam. Jadi, kaum muslimin
yang
mayoritas hidup di Indonesia harus siap untuk 'kembali' tertekan di
bawah
rejim Mega yang didikte Paman Sam pasca tragedi WTC.
Presiden Pertama Partai Keadilan


_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com