[Nusantara] "Ambon" : Tirani Baru Kreasi DPR

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:15:33 2002


"Ambon" : Tirani Baru Kreasi DPR

Media Indonesia
Jumat, 13 September 2002

Tirani Baru Kreasi DPR

SELALU muncul keinginan kuat membelenggu kebebasan pers. Bahkan,
keinginan
itu datang dari Dewan Perwakilan Rakyat. Caranya, masuk terang-terangan
melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang nyaris disahkan
sekalipun mendapat perlawanan keras dari insan pers.
RUU Penyiaran itu telah diprotes bertubi-tubi dengan bermacam-macam
cara.
Ada cara intelektual melalui seminar, talk show, serta cara unjuk rasa
melalui demonstrasi lengkap dengan karikatur dan poster. Tetapi, toh
DPR
terus berjalan dengan kacamata bendinya, bersikeras hendak mengesahkan
RUU
itu menjadi Undang-Undang Penyiaran.
Banyak pasal-pasal pemasungan pers yang sengaja dibuat dalam RUU itu.
Salah
satunya, yang mendapat kecaman keras dari Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia
(IJTI), mengenai tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Adalah KPI ini, misalnya, yang menetapkan standar mutu, isi, dan
klasifikasi
siaran. Bahkan, yang lebih menakutkan, lembaga ini pula yang berwenang
menyusun peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta mengawasi dan
memberikan sanksi atas pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran.
Bukan pula sembarang sanksi. Inilah sanksi yang bisa bikin pingsan,
bahkan
membunuh lembaga penyiaran televisi dan radio. Yaitu, pembekuan
kegiatan
siaran untuk waktu tertentu, tidak adanya pemberian perpanjangan izin
penyelenggaraan penyiaran, dan pencabutan izin penyelenggaraan
penyiaran.
Jadi, di dalam diri KPI bermuara semua kekuasaan. Ia berkuasa di bidang
eksekutif, legislatif, bahkan juga judikatif. Ia yang membuat standar
profesi sesuai keinginannya sekalipun sudah ada etika profesi. Ia pula
yang
membuat hukum sekalipun sudah ada KUHP. Lebih dari itu, ia pula yang
mengadili dan menetapkan hukuman.
Lembaga macam apakah yang memiliki kekuasaan sedemikian besarnya?
Jawabannya, lembaga superpower alias diktator. Inilah diktator baru
terhadap
dunia penyiaran, yang akan membelenggu televisi dan radio. Gambaran
paling
dekat, mirip Departemen Penerangan di zaman otoriter.
Yang mengerikan ialah bahwa lembaga semacam Departemen Penerangan itu
justru
hendak dihidupkan kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan
umum
setelah reformasi. Bahkan, yang bersikeras dengan RUU Penyiaran itu
adalah
angota DPR yang partainya lahir di zaman reformasi. Inilah mereka yang
tanpa
reformasi tidak akan pernah menjadi anggota DPR.
Tetapi, sekarang justru merekalah yang paling kencang ingin
menghidupkan
kembali rezim tirani terhadap pers. Bandingkanlah dengan sikap
pemerintah
yang justru menghendaki DPR menunda pengesahan RUU tersebut.
RUU Penyiaran ini jelas RUU yang sesat. Sesat dalam konteks
kaidah-kaidah
profesionalisme lembaga penyiaran, tetapi terutama sangat sesat dalam
konteks mendasar. Yaitu, kebebasan pers. Maka, jika ia disahkan menjadi
undang-undang, inilah hukum yang sesat dan menjerumuskan secara
mendasar.
Kebebasan pers memang tidak menyenangkan bagi kaum otoriter. Ia juga
tidak
nyaman buat petualang politik. Ia pasti musuh koruptor. Karena itulah,
selalu saja muncul keinginan untuk membelenggu pers.
Pengesahan RUU Penyiaran yang sesat itu sebaiknya ditunda. Jauh lebih
baik
jika dimasukkan saja ke dalam museum yang khusus menyimpan karya kaum
tiran.
Sebab, adalah lebih baik hidup tanpa undang-undang, ketimbang hidup di
bawah
undang-undang sesat dan zalim.



_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com