[Nusantara] Limas Sutanto : Orang Indonesia Tidak Memikirkan Sesamanya

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 17 03:49:44 2002


Orang Indonesia Tidak Memikirkan Sesamanya
Oleh Limas Sutanto

Saya dipaksa tentara ikut memukuli korban sampai
sekarat, tapi saya 
tidak
mau, wong korban masih saya anggap sebagai sesama
saudara juga-Kasan 
Basri,
28 Agustus 2002, salah satu saksi pembunuhan massal
tahun 1965.
MARI menengok kembali perilaku orang Indonesia tiga
atau empat 
dasawarsa
lampau. Mungkin ini akan bisa menjelaskan fenomena
perilaku tidak cinta
kehidupan, yang justru makin merebak di tengah
kehidupan nyata hamparan
orang Indonesia kini.
Kasan Basri, 28 Agustus 2002, di Jakarta, di ruang
pengaduan Kantor 
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia menjelaskan bagaimana para
korban dibawa 
dari
suatu tempat ke Luweng Tikus oleh truk-truk militer.
Kata Kasan, 
"Korban
menghadap bibir luweng. Kedua jempol korban diikat.
Tentara yang
membelakangi korban memukul leher belakang korban
sampai sekarat. 
Sementara
korban sekarat, kaki tentara mendorong tubuh korban
jatuh ke lubang. 
Begitu
seterusnya." Menurut Kasan, pembantaian itu
berlangsung hampir tiap 
hari
sekitar pukul 13.00 (Kompas, 29/8/2002). Kasan diajak
ikut membantai, 
namun
dia menolak, karena "korban masih saya anggap sebagai
sesama saudara 
juga".
Kasan Basri yang kini berani bersaksi, mungkin
merepresentasi 
bersit-bersit
perilaku orang Indonesia yang masih sudi memikirkan
sesamanya, kendati
terbukti kian langka.
Kini Yayasan Kasut Perdamaian menemukan empat kerangka
manusia dari 
luweng
(lubang) yang biasa disebut Luweng Tikus, di daerah
Blitar, Jawa Timur.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kasut Perdamaian, Ester
Indahyani Jusuf,
mengemukakan sekurangnya ada 41 korban yang terkubur
dalam Luweng 
Tikus.
***
LUWENG Tikus dan kesaksian Kasan Basri mungkin hanya
setitik 
representasi
perilaku orang Indonesia sepanjang sejarah, yang
menegaskan 
ketidakcintaan
serta ketidakpedulian pada kehidupan. Ketidakcintaan
dan 
ketidakpedulian
pada kehidupan yang mengejawantah dalam otomatisme,
kompulsi, dan 
habituasi
orang Indonesia yang tidak pernah memikirkan
sesamanya, sungguh 
mengakar
dalam khazanah mental bawah sadar kolektif, tidak
sekadar merupakan 
fenomena
dadakan yang muncul secara kebetulan. Fenomena "Orang
Indonesia Tidak
Memikirkan Sesamanya", bukanlah peristiwa by accident,
tetapi suatu 
fenomena
psikodinamik sistemik dengan corak laku otomatis,
kompulsif, habitual, 
yang
kadang tersembunyi dalam khazanah ketidaksadaran,
sehingga seolah 
tiada,
namun sesungguhnya benar-benar ada, dan sewaktu-waktu
akan meruyak, 
merebak,
memakan korban lagi, walau hanya karena picuan sepele.
Tidak mengherankan, hamparan individu, yang saat
sendirian tampil 
sebagai
pribadi-pribadi santun, namun saat terhimpun dalam
kelompok massa,
masing-masing kehilangan identitas indivual, menyatu
dalam chaos
ketidaksadaran kolektif yang suatu saat dikuasai
impuls-impuls 
otomatis,
kompulsif, habitual, bertema besar destruksi paripurna
terhadap 
kehidupan.
Tak heran, dua anggota Kepolisian Resor Kuningan,
Bripda Asep Irawan 
dan
Bripda Mayan Radiana tewas terbunuh massa setelah
mereka disangka akan
merampas sepeda motor milik Pulung bin Samu, di Desa
Sindangpanji, 
Kecamatan
Cikijing, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26 Agustus
2002.
Kedua polisi yang mengejar Pulung hingga Desa
Sindangpanji, justru
ditangkap, dianiaya, setelah Pulung meneriaki dua
polisi itu sebagai 
maling.
Dalam kondisi sekarat, Bripda Mayan lalu dibakar
beramai-ramai oleh 
penduduk
(Kompas, 29/08/2002). Lagi-lagi yang kita lihat pada
peristiwa 
mengerikan
ini, hanya setitik representasi dari simpanan program
mental tak sadar
hamparan orang Indonesia yang kaya otomatisme,
kompulsi, dan habituasi
bertema besar: ketidakcintaan pada sesama,
ketidakcintaan pada 
kehidupan,
keengganan memikirkan sesama.
***
TIDAKLAH terlalu sulit untuk memahami, bagaimana
seorang warga 
Indonesia
tidak berpikir untuk tidak membawa berkarung-karung
petasan dalam 
perjalanan
dengan bus umum yang juga ditumpangi berpuluh orang
lain. Tidak pula 
terlalu
sulit untuk memahami bagaimana pemilik sapi perah yang
terjangkit 
anthrax
tidak mau rugi, dan karena itu memotong lalu menjual
daging sapi yang
mengandung basil anthrax ke pasar. Keengganan orang
Indonesia 
memikirkan
sesamanya, sungguh terekam otentik oleh media massa,
juga terefleksi 
oleh
judul-judul besar pemberitaan dan tajuk rencana surat
kabar. Mungkin di
hari-hari mendatang kita masih akan cukup sering
bertemu dengan 
judul-judul
serupa ini, "Bus Terbakar, 12 Orang Tewas"; "Betapa
Kita Tidak 
Menyayangi
Jiwa Kita Sendiri", dan sebagainya.
Pada perspektif ini, tidak terlalu sulit memahami
bagaimana orang 
Indonesia
justru "menghidupi diri" dengan terus memelihara
konflik, perseteruan, 
baku
bunuh, baku meniadakan di Poso, Ambon, Papua, dan
Aceh. Tidak pula 
terlalu
sulit untuk memahami bagaimana bom-bom berulang
meledak dengan memakan
korban manusia maupun harta yang tidak terhitung,
hampir sama sekali 
tanpa
penyelesaian untuk pengakhiran yang signifikan, juga
tanpa
pertanggungjawaban sepadan. Tema besar yang bersarang
dalam khazanah 
jiwa
orang Indonesia masih sama: "Orang Indonesia Tidak
Mencintai Kehidupan.
Orang Indonesia Tidak Memikirkan Sesamanya". Yang
dipikirkan orang 
Indonesia
hanya dirinya sendiri.
Maka tidak mengherankan, penguasa pun amat memikirkan
diri sendiri. 
Wakil
rakyat memikirkan diri sendiri. Politisi pun
memikirkan diri sendiri. 
Hakim,
jaksa, polisi, pengacara pun memikirkan diri sendiri.
Mereka tidak
memikirkan sesama.
Jiwa dirundung malu berat saat menyaksikan foto
Amerika di (Kompas,
27/8/2002). Foto Amerika itu menggambarkan patung
peringatan bagi 
personel
pemadam kebakaran, polisi, dan petugas gawat darurat
yang tewas saat
melaksanakan tugas penyelamatan korban pada 11
September 2001 di New 
York.
Suka tak suka, boleh diakui patung itu menyimbolkan
jiwa manusia yang
terbiasa menghargai kehidupan dan peduli pada sesama
manusia. Padahal, 
pada
halaman yang sama dari surat kabar itu, terpampang
warta tentang 
seorang
polisi di Jakarta, yang hanya karena persoalan sepele
menembak kepala 
dan
mata seorang sopir mikrolet, juga kabar tentang lima
warga Bogor 
terserang
anthrax karena menyantap daging sapi yang kejangkitan
basil anthrax, 
karena
kecerobohan peternak sapi perah yang tetap menjual
daging sapi yang
mengandung basil berbahaya itu ke pasar.
Adakah jalan keluarnya? Ada, tetapi cukup sulit dan
perlu perjuangan 
terus,
karena persoalannya adalah bagaimana mengubah
kandungan ketidaksadaran
kolektif yang telanjur banyak diisi otomatisme,
kompulsi, dan habituasi
anti-kehidupan dan tak peduli sesama. Toh jika kita
lihat saksama dalam
permenungan, akhirnya persoalan boleh mengerucut ke
otoritas yang 
berwenang
membolehkan atau tidak membolehkan suatu perilaku
terjadi di tengah
kehidupan masyarakat dan bangsa sehari-hari. Hamparan
orang Indonesia 
amat
perlu mendapatkan pengalaman pembelajaran baru yang
mengikis 
endapan-endapan
dan kerak-kerak otomatisme, kompulsi, habituasi
antikehidupan dan tak 
peduli
sesama. Yang benar-benar dibutuhkan bukanlah sekadar
nasihat, ucapan,
petuah, basa-basi, imbauan, anjuran, pidato, retorika,
dan berbagai 
omong
kosong lainnya. Yang sungguh dibutuhkan adalah
pengalaman riil nan 
baru.
Maka otoritas yang berwenang untuk membolehkan dan
tidak membolehkan 
suatu
perilaku terjadi, sungguh niscaya mengejawantahkan
peran pro-kehidupan 
dan
pro-sesama. Mereka niscaya lebih dulu menjadi teladan
hidup cinta 
kehidupan
dan peduli sesama, sekaligus mengejawantahkan wewenang
untuk 
membolehkan
atau tidak membolehkan suatu perilaku terjadi dengan
benar-benar
berlandaskan ide cinta kehidupan dan peduli sesama,
bukan 
anti-kehidupan dan
cuma cinta diri sendiri.
Kesepakatan masyarakat normal memungkinkan
penyelenggara negara menjadi
salah satu simpul utama dan terbesar yang memegang
otoritas untuk
membolehkan atau tidak membolehkan suatu perilaku
terjadi di tengah
masyarakat dan bangsa. Keluarga, sekolah, dan lembaga
kemasyarakatan 
lainnya
bisa menjadi simpul-simpul otoritas pula.
Namun, simpul terbesar dan terutama berimpit dengan
penyelenggara 
negara.
Maka beban perubahan terbesar, terutama, dan pertama
sungguh tertumpu 
di
bahu penyelenggara negara, baik di lingkup yudikatif,
legislatif, 
maupun
eksekutif. Dan, perilaku orang Indonesia yang
sedemikian tidak cinta
kehidupan serta sebegitu tidak memikirkan sesamanya,
boleh dilihat 
sebagai
cermin otentik perilaku kontemporer penyelenggara
negara.
LIMAS SUTANTO, Psikiater, tinggal di Malang


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com