[Nusantara] Hendardi : Di Balik Vonis Akbar Tandjung

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 17 03:49:56 2002


Di Balik Vonis Akbar Tandjung
Oleh Hendardi

Vonis ringan tiga tahun tanpa perintah segera masuk
penjara untuk Akbar
Tandjung dalam kasus dana nonbujeter Bulog sama sekali
tidak 
mengejutkan.
Itu produk kompromi politik yang mudah diprediksi jauh
hari sejak 
Pansus
Bulog gagal dibentuk. Ketika lebih 90 persen anggota
DPR dari FPDIP 
yang
semula galak mendorong pembentukan pansus berubah
sikap menjadi abstain
dalam voting pembentukan pansus, ketika itu pula
sesungguhnya deal 
politik
penyelesaian kasus Akbar sudah tercapai.

Kompromi politik penyelesaian kasus Akbar oleh elite
politik, terutama 
dari
FPDIP sebagai fraksi terbesar di DPR dan Golkar,
tampaknya cukup alot. 
Hal
itu ditunjukkan dengan terus diulur-ulurnya waktu
pengambilan keputusan
pembentukan Pansus Bulog. Akhirnya hasil putusan itu
mengecewakan dan
menghina kecerdasan publik. Deal politik itu kemudian
menjadi jelas 
dengan
hasil vonis, yaitu mengorbankan Akbar dengan menghukum
secara terbatas,
tetapi membiarkannya tetap memimpin Golkar dan DPR.
Juga, yang 
terpenting,
Golkar tak diutak-atik. Di sini harapan publik agar
ada pengusutan 
terhadap
kemungkinan aliran dana Rp 40 miliar ke Golkar sudah
dikubur lewat deal
politik.

Sasaran umum yang hendak dicapai dalam skenario
penyelesaian kasus ini
dengan menghukum terbatas Akbar justru untuk
menghentikan kelanjutan
pengungkapan dan pengusutan aliran dana nonbujeter
Bulog tersebut. 
Skenario
itu juga untuk suatu kepentingan yang lebih besar.
Keuntungan PDIP dari 
deal
politik ini menjelang dan setelah 2004 adalah
menjadikan Akbar dan 
Golkar
semacam "sandera politik" yang dapat terus
dikendalikan. Dengan 
demikian,
PDIP tetap membiarkan Akbar memimpin DPR.

Hanya, kalkulasi politik PDIP ini bisa jebol karena
Akbar dikenal 
sebagai
politikus licin dan piawai dalam parlemen selama
puluhan tahun. 
Keuntungan
politik Golkar dengan skenario ini adalah
terselamatkan dari 
kemungkinan
sanksi hukum dan politik menyangkut adanya aliran dana
ilegal yang
ditengarai kuat terjadi.

Jika dalam waktu segera Kejaksaan Agung tidak
menggunakan kasus Akbar
sebagai pintu masuk untuk mengusut tuntas dan
mengungkap lebih jauh 
aliran
dana nonbujeter Bulog, menjadi jelas tujuan skenario
menghukum terbatas
Akbar tersebut. Yakni, menutup kasus ini bagi
kepentingan bargaining
kekuasaan elite politik, namun sama sekali bukan untuk
kepentingan 
keadilan
publik. Karena itu, deal politik harus dikategorikan
sebagai konspirasi
jahat.

Bagaimanapun, Akbar sudah berstatus terpidana.
Seseorang dengan status
terpidana dalam perspektif hukum sudah harus dibatasi
hak-haknya. 
Penetapan
status itu justru bertujuan membatasi hak-haknya.
Secara hukum dia 
tidak
seperti orang lain yang tidak dikenai status
terpidana. Justru kalau
perbedaan perlakuan tidak diberikan, lantas apa
perbedaan orang dalam 
status
terpidana dengan orang bebas pada umumnya?

Bahwa Akbar ngotot merasa tidak bersalah dan mau terus
duduk memimpin
DPR -juga Golkar- dan PDIP juga berkepentingan agar
Akbar tetap 
memimpin
DPR, hal itu hanya menyangkut kepentingan politik
mereka dalam 
kekuasaan.
Publik harus tetap mendesak Akbar agar mundur dari
ketua DPR untuk
menegakkan kredibilitas DPR. Ini tuntutan etis
terhadap seorang pejabat
publik. Rakyat tidak boleh diwakili pemimpin lembaga
perwakilan rakyat 
yang
sudah terpidana. Bila setiap terpidana bisa ikut
memimpin institusi 
penting
negeri ini, lengkaplah negeri ini menjadi Republik
Maling.

DPR seharusnya juga menunjukkan sikap moral dengan
terus mendesak Akbar
untuk mengundurkan diri atau nonaktif sementara dari
jabatan ketua DPR.
Kejelasan sikap moral dan DPR sangat penting nilainya
untuk menjaga
kredibilitas lembaga perwakilan ini. Sukar dibayangkan
bahwa DPR mampu
menegakkan kredibilitas sebagai lembaga kontrol yang
juga turut 
bertanggung
jawab terhadap terciptanya good and clean governance
jika tidak mampu
mengontrol dan membersihkan dirinya sendiri.

Di pihak lain, sikap moral yang puritan sangat
diperlukan dan harus 
dapat
ditunjukkan oleh setiap pejabat penyelenggara negara
di tengah-tengah
masalah korupsi yang sangat akut di negara kita. Sikap
ngotot Akbar 
yang
tidak ingin melepaskan jabatan ketua DPR, kendati
hanya untuk sementara
sampai putusan hukum berkekuatan tetap dijatuhkan,
merupakan contoh 
moral
yang buruk dari perilaku pejabat penyelenggara negara.
Preseden yang 
patut
dan terpuji pernah ditunjukkan Jaksa Agung (mantan)
Andi Ghalib dan 
direksi
PT KAI (Kareta Api Indonesia) yang memilih nonaktif
atau mengundurkan 
diri
dari jabatannya. Ironisnya, preseden terpuji kedua
pejabat negara ini 
gagal
memancarkan hikmah pencerahan bagi Akbar.

Mestinya, Akbar lebih berkonsentrasi untuk membuktikan
secara hukum 
bahwa
dirinya tidak bersalah pada tingkat pengadilan
selanjutnya ketimbang
bersilat lidah melontarkan wacana yang tidak
konstruktif dengan
mengembangkan isu adanya character assassination
terhadap dirinya. 
Dalam
perspektif hukum, sangkaan dan pidana korupsi Rp 40
miliar merupakan
individual responsibility Akbar sebagai pejabat
negara. Namun, 
pengembangan
wacana yang menyesatkan itu sebagai usaha defensif
segera dibaca 
sebagai
upaya politisasi untuk memindahkan konflik dari
wilayah hukum ke 
wilayah
politik. Dengan kata lain, hantu character
assassination diciptakan 
guna
mentransfer konflik dari urusan personal menjadi
konflik politik dengan
melibatkan publik. Itu sepenuhnya merupakan tindakan
yang tidak 
bertanggung
jawab.***
Hendardi, ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan
Hak Asasi Manusia
Indonesia).




=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com