[Nusantara] "shkval shkval" : Umat Islam Tiongkok menyetiai Bumi Persada namun tidak selalu dihargai
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 17 11:36:47 2002
"shkval shkval" : Umat Islam Tiongkok menyetiai Bumi
Persada namun tidak selalu dihargai
"Keberadaan Islam di Tiongkok sudah lebih dari seribu
tahun namun masih
ada
sebagian orang Tionghoa yang menganggap saudara
sebangsa mereka yang
beragama Islam, misterius,terbelakang, dan patut
dicurigai untuk alasan
politik tertentu."
Paul Theroux, Riding the Iron Rooster
Sebut saja nama Ma Jiachun--"Pasukan Keluarga
Ma"--dan orang pada
umumnya
akan teringat pada regu lari amat sangat sukses yang
dibina oleh Ma
Junren,
pelatih atletisme yang kondang kuncara. Akan tetapi
bagi banyak orang
Tionghoa dari generasi lama, nama tersebut lebih
mengandung signifikasi
politik. Pada masa konflik dikenal sebagai Era
Panglima Perang yang
membawa
kerugian bagi semua pihak, sebagian besar daerah barat
laut Tiongkok
dikuasai oleh kelompok Wu Ma ("Lima keluarga Ma").
Inilah kelompok yang
menghambat kemajuan pasukan Komunis ke Asia Tengah
pada tahun 1937,
saat TPR
(Tentara Pembebasan Rakyat Komunis) yang sedang
berkembang pesat
menderita
kekalahan paling keji dan bersifat hukuman yan pernah
mereka alami
sejauh
ini.
Satu ciri khas yang membedakan para panglima perang
kelompok Wu Ma yang
menguasai propinsi Gansu, Qinghai, Ningxia, Shaanxi,
Henan dan Xinjiang
dalam kurun waktu antara 1911 dan 1949 dari kelompok
masyarakat
Tionghoa
yang lain yaitu agama Islam yang mereka anut, termasuk
sebagian besar
anggota pasukan mereka. Di daerah Tiongkok yang jauh
dari daerah barat
laut
dimana mayoritas Tionghoa Muslim bermukim seperti
misalnya di Selatan,
terdapat kecenderungan pada sebagian lapisan
masyarakat untuk secara
kolektif menganggap orang-orang Islam diseluruh
Tiongkok itu sebagai
satu
entitas tunggal karena pengetahuan mereka mengenai
umat Islam Tiongkok
yang
kurang. Pada dasarnya anggapan mereka keliru, rezim
Komunis yang kini
berkuasa dari Beijing mengakui sebelas suku bangsa
yang beragama Islam,
hanya satu (etnis Han yang merupakan lebih dari 90%
orang Islam di
Tiongkok
yang menurut sensus tidak resmi yang belum diakui oleh
para penguasa
Komunis
berkisar antara 450 juta) menggunakan bahasa Tionghoa
(umumnya
Mandarin)
sebagai bahasa sehari-hari. Sisanya--orang-orang Hui,
Uighur, Kazakah,
Kyrgyz, Salar,Tajik dan seterusnya--adalah minoritas
etnis menurut
pengelompokan yang jelas seperti halnya orang-orang
Tibet dan Mongol.
Setelah bangsa Mongol menaklukkan kekaisaran Tiongkok
pada abad ke-12,
masyarakat Tiongkok dibagi kedalam beberapa kasta ras
seperti dilakukan
oleh
Belanda di Nusantara beberapa abad kemudian. Kasta
tertinggi adalah
orang-orang Mongol yang membawahi bangsa Han (Tiongkok
Utara) dan
orang-orang asing yang seumumnya Muslim dari Timur
Tengah, Asia Tengah
dan
Iran, dan terakhir kasta terendah adalah orang-orang
Nan Zi (Tiongkok
Selatan) yang kebanyakan menganut kepercayaan yang
merupakan gabungan
antara
unsur Daoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Islam
sudah berpijak di
negeri
Tiongkok sejak masa dinasti Tang namun ketika bangsa
Mongol berkuasa,
kedatangan semakin banyak orang Islam dari arah Barat
serta
pengidentifikasian Islam sebagai agama kaum elit
memicu kegiatan dakwah
yang
lebih intensif sehingga lebih banyak orang Han masuk
Islam ketimbang
sebelumnya.
Tempat terhormat yang disediakan bagi umat Islam yang
sedianya termasuk
siasat devide et impera ala Mongol juga berdampak
kurang baik setelah
bangsa
Mongol diusir dari Tiongkok pada tahun 1368. Walaupun
Tionghoa Muslim
banyak
berjasa dalam perang kemerdekaan Tiongkok saat itu
(bahkan tanpa
jasa-jasa
jenderal Muslim seperti misalnya Mu Ying, Ding Dexing,
Hu Dahai dan Lan
Yu,
termasuk Zhu Yuanzhang sendiri yang lantas dinobatkan
menjadi Kaisar
Ming
Pertama, Dinasti Yuan yang Mongol kemungkinan besar
sudah menguasai
seluruh
dunia!), gerakan anti-asing yang kerap diidentikkan
dengan Islam tidak
terhindarkan; banyak kuburan dan tempat ibadah orang
Islam dirusak
dalam
amukan massa orang Nan Zi, kekerasan terhadap orang
asing dan orang
Tionghoa
yang beragama Islam kadang-kadang terjadi juga.
Akibatnya, pemerintahan
Ming
yang baru merasa terdesak untuk mencari jalan keluar
dari perpecahan
yang
terjadi dengan mengajukan kebijakan asimilasi secara
sukarela kepada
orang-orang Arab, Persia, Turki dan lain-lain agar
berbaur menjadi
orang
Tionghoa (ganti nama, kawin campur, adat istiadat dan
sebagainya...bukan
suatu kebetulan jika dalam rangka pembauran bangsa
ini, Kaisar Yong Le
(Zhu
Yuanzhang) memberi teladan yang baik dengan
memperistri seorang putri
berkebangsaan Turki dari Asia Tengah yang dalam
sejarah dikenal sebagai
Maharani Ma).
Persepsi Paul Theroux mengenai gegar budaya yang
secara khilaf menjadi
terkait dengan agama di Tiongkok sebagai akibat dari
politik adu domba
Mongol ini bisa diperhitungkan sebab banyak orang Nan
Zi setidaknya
terbengang-bengong dan sering curiga terhadap sesama
Tionghoa yang
beragama
Islam, Bagi mereka justru aneh ada orang Tionghoa yang
membaca kitab
suci
dalam bahasa Arab, melakukan salat lima waktu dengan
menghadapi kiblat
serta
ibadah haji, belum lagi kebiasaan lainnya yang bagi
mereka tidak sampai
di
akal termasuk keenggannya untuk memuja para leluhur!
Singkat kata, dari
perspektif Nan Zi atau orang Tiongkok Selatan,
orang-orang Muslim yang
agak
misterius.
Lalu bagaimana posisi umat Islam Tiongkok dalam
konstelasi politik
Tiongkok
saat ini? Islam pertama kali datang ke Tiongkok lebih
dari seribu tahun
yang
lalu, diplomat, cendekiawan, mubaligh, tentara
bayaran, saudagar dan
pendatang lainnya dari arah Barat membanjiri Tiongkok
melalui jalur
darat,
sepanjang Jalan Sutra, dan jalur laut, terutama ke
pesisir timur daya
Tiongkok. Orang-orang Tionghoa Muslim pada umumnya
adalah hasil
asimilasi
antara bangsa Han dan orang-orang Persia, Turki dan
Arab yang
memperkenalkan
Islam kepada mereka, luas jangkauan umat Islam
Tiongkok tersebar dari
Lhasa
ke Harbin. Di provinsi-provinsi utara, terutama di
bagian barat laut
seperti
misalnya di Gansu, Qinghai, Ningxia, Shaanxi, Henan
dan Yunnan yang
menjadi
pengecualian karena terletak di sebelah barat daya,
mereka menjadi
golongan
mayoritas dari jumlah penduduk setempat.
Sebagai produk dari hubungan jarak jauh antara
Tiongkok dan Asia
Tengah/Barat yang bermatra ragam, banyak Tionghoa
Muslim menjadi ulung
dalam
seluk beluk perdagangan, meskipun kafilah domba dan
onta yang dulu
mereka
pergunakan sekarang diganti dengan konvoi truk dan
kendaraan bermotor
lain.
Mereka juga terkenal sebagai pemilik hotel dan
resotran -- tanda qing
zhen
dalam bahasa Mandarin--murni dan benar, ekuivalen dari
istilah Arab
halal--bergelantung diluar ribuan pesanggrahan/tempat
penginapan dan
rumah
makan sepanjang negeri Tiongkok. Sajian restoran milik
Muslim setempat
memang lezat, tingkat kebersihannya boleh dibilang
sempurna apabila
dibandingkan dengan standar lokal pada umumnya--tapi
jangan
terheran-heran
apabila pengunjung yang memesan minuman berkadar
alkohol secara
berlebihan
ditolak!
Nah lain halnya dengan orang-orang Nan Zi yang sampai
belakangan ini
dimana
TKR komunis naik pamor menganggap rendah profesi
ketentaraan karena
secara
turun-temurun karier militer mereka pandang sebagai
mata pencaharian
yang
paling terhina--Tionghoa Muslim sama-sekali tidak
menganggap profesi
ketentaraan tabu, dan secara alami mereka berbakat
menjadi prajurit
tangguh
dan perkasa yang disegani dimana-mana. Hal ini
terungkap secara radikal
dari
pembangkangan-pembangkangan besar yang terjadi pada
abad ke-19
(1859-1879
yang sengaja disebut pemberontakan Islam padahal para
pemberontak bukan
hanya orang Muslim), gejolak anti-bangsa Manchu yang
waktu itu menjajah
Tiongkok merebak sepanjang Tiongkok Utara dan juga di
Yunnan. Para
penguasa
dari dinasti Qing membutuhkan waktu dua dasawarsa
untuk memulihkan
kekuasaan, dan diperkirakan bahwa lebih dari 10 juta
orang tewas dalam
pertempuran yang terjadi, belum lagi korban kebrutalan
yang secara
sepihak
yang dilakukan para penguasa Qing serta
antek-anteknya. Penting untuk
diketahui bahwa pihak Qing yang muncul sebagai
pemenang secara umum
memberi
pengampunan kepada pembangkang dari golongan minoritas
etnis seperti
orang-orang Uighur yang memilih menyerahkan diri:
sikap orang-orang Han
yang
biasanya langsung dihukum mati begitu tertangkap basah
melakukan
pemberontakan justru berbalikan dengan itu. Pada saat
itu--ketika
Kaisar
Qian Long berkuasa--pemerintahan Manchu
bertimbang-timbang untuk
membasmi
seluruh populasi Han Muslim.
WApa alasannya disebalik sikap penguasa Manchu
terhadap para
pemberontak Han
Muslim yang kekejamannya tiada santirannya? Jawabannya
tentu saja
termasuk
faktor bahwa mereka golongan mayoritas, demikian ada
suatu rekayasa
untuk
mempertontonkannya kepada publik sebagai pengkhianat
kepada tatanegara
Tiongkok. Demikian penjelasannya mengapa sebagian
orang Han Muslim
menempati
kedudukan yang kontradiktif dalam masyarakat Tiongkok
kontemporer,
dewasa
ini pada tingkat politik sebagian diantara mereka
diberikan status
minoritas
Hui oleh orang-orang komunis--tetapi menurut banyak
orang Nan Zi atau
Tiongkok Selatan yang sekarang telah menjadi Han,
orang-orang Islam
yang
merupakan hasil asimilasi itu bukan seratus persen
"asing" ataupun
"pribumi
asli". Dan maklum saja, orang-orang Han Muslim dan Hui
menilai sejumlah
hal
dari kacamata yang identik, halmana menimbulkan
teka-teki yang luar
biasa
dan secara politis memang sensitif.
Contohnya, dalam kasus kota pelabuhan di Tiongkok
Timur Daya, sebagian
besar
komunitas Islam dikelilingi daerah permukiman
non-Muslim yang lebih
luas--katakan saja komunitas Islam kota Guangzhou
disekitar mesjid
Huaisheng
di Jalan Guangta yang merupakan salah satu mesjid
tertua di Tiongkok
(dibangun pada abad ke-7 Masehi). Dalam keadaan
sepertinya interaksi
orang-orang Muslim setempat dengan mayoritas orang
Guangdong (Konghu)
yang
non-Muslim lebih bernuansa unsur non-Tionghoa dalam
garis keturunan
serta
adat istiadat mereka ketimbang yang Tionghoa, gejala
tersebut juga
terjadi
dengan pola sebaliknya. Namun ternyata semakin dekat
ke Utara dan arah
Barat
yang justru banyak didiami suku bangsa non-Han,
orang-orang Muslim
lebih
menekankan ketionghoaannya walaupun sadar akan
komponen non-Tionghoa
(Han)
dalam garis keturunan dan adat istiadat mereka,berbeda
dengan bekas
orang
Nan Zi yang sekarang merasa lebih Han dari bangsa Han
sendiri dan
cenderung
pragmatis, orang-orang Han Muslim (termasuk Hui yang
dipersonanongratakan di
negeri sendiri) seperti halnya sesama Han yang
beragama Buddha, mereka
sangat membanggakan kejayaan Tiongkok masa lalu.
Semua ini menyiratkan, semakin jauh keberadaan
Tionghoa Muslim dari
"pusat
perkembangan ekonomi" di pesisir selatan yang sekarang
diperagakan oleh
rezim Komunis sebagai contoh sempurna dari
keberhasilan kemajuan dalam
ekonomi yang telah dicapai oleh sosialisme progresif
yang bahwasanya
suatu
kedok untuk menguras hasil jerih payah rakyat banyak,
semakin
terikatnya
mereka pada bumi persada; mungkin inilah alasan
mengapa cukup banyak
Tionghoa Muslim yang berasal dari daerah selatan yang
kini berkukim di
negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia
sudah berkeberatan
mengidentifikasi diri mereka sebagai Tionghoa,
walhasil satu faktor
yang
mendorong rezim Orba untuk memberlakukan kebijakan
asimilasi
(barangkali
pembaca pernah mendengar sebutan "cina bunglon",
nampaknya mantan RI-1
yang
berkuasa selama 32 tahun memenuhi kriteria untuk
itu)...dan demikian,
kecurigaan/ketakutan/prasangka buruk sebagian Tionghoa
perantauan asal
Tiongkok Selatan terhadap Islam yang
dipecundangi/diperkuat oleh
politik
devide et impera Barat yang berlangsung hingga saat
ini dibawah
panji-panji
globalisme/perang melawan teror dan lain sebagainya?
Ketika masa panglima perang berkecamuk, kelompok Wu Ma
yang ditakuti
orang
memang sempat menundukkan pasukan Komunis TKRI untuk
sementara
waktu--akan
tetapi kearah barat, di provinsi Xinjiang, pasukan Wu
Ma itu melakukan
kampanye yang boleh dikatakan bengis untuk
menanggulangi masalah
separatisme
di wilayah yang acapkali disebut orang Barat Turkestan
Timur, mereka
membawa
bendara Republik Tiongkok ke pegunungan Pamir dan Tian
Shan. Seorang
jenderal beragama Islam dari etnis Han menimbulkan
amarah kelompok
separatis
Xinjiang yang didukung oleh Barat dan Uni Soviet
dengan memasang sebuah
gambar Sun Yat-Sen, bapak pendiri "nasionalisme"
Tionghoa, di mesjid Id
Ga
di kota itu. Singkat kata, Tionghoa Muslim amat sangat
setia kepada
Tiongkok, bahkan lebih setia dari hampir setiap
golongan lainnya, dan
mengingat bahwa Tiongkok dari dulu merupakan negeri
yang multi-agama,
mereka
tidak sudi menerima gagasan negara Islam dalam bentuk
apapun.
Tanpa memperdulikan ideologi yang dianut, baik
pemerintah Kuomintang
maupun
Komunis, menyadari kenyataan ini dan karenanya mereka
lebih suka
memanfaatkan Tionghoa Muslim dari bangsa Han untuk
mengisi kehampaan
teritorial yang ada di daerah imperium Tionghoa yang
nun jauh disana
seperti
Tibet. Xinjiang dan Mongolia Dalam. Sampai saat
ini--Beijing masih
menghadapi ketidakstabilan yang disebabkan oleh
separatisme didukung
oleh
blok Barat di sebagian Xinjiang dan Tibet, untungnya
para penguasa
Komunis
asal Nan Zi yang kadangkala menganaktirikan kompatriot
yang beragama
lain
merasa nyaman dengan sepengetahuan mereka bahwa
Tionghoa Muslim, banyak
diantara mereka yang meniti karier sebagai prajurit
TKR yang terbukti
amat
sangat mampu dan berbakat dalam seni peperangan, akan
menyetiai negeri
Tiongkok sehidup-semati, kendatipun mereka tidak
menaruh janji pada
Partai
Komunis yang mereka anggap ilegal.
Tergantung bagaimana kita menafsirkan sikon yang
sekarang mewarnai
penyikapan kelompok Jiang Zemin dan kawan-kawan,
dimanapun mereka
berada
(bandingkan dengan sikap patriotis Wu Ma yang kurang
lebih sama dengan
semangat para Wali yang melakukan dakwah di bumi
Nusantara pada abad
ke-15-16), rezim Komunis dari Beijing sejauh ini belum
bersedia
menganggap
umat Islam Tiongkok sebagaimana ada dan harusnya.
Memang banyak
penggede
partai yang simpatis kepada mereka karena dilatari
hubungan keluarga,
silaturahmi dan kesadaran politik, akan tetapi Partai
Komunis justru
dibawah
cengkeraman bekas orang Nan Zi yang dulu merusuhi umat
Islam (padahal
Muslim
Tionghoa dan Muslim non-Tionghoa di jaman Mongol yang
merupakan elit!),
sebagaimana terlihat di Asia Tenggara hubungan antara
umat Islam
Tiongkok
dan etnis Nan Zi yang sedianya merupakan Melayu asli
yang belum
tercampur
India-Melanesia tidak selalu rukun. Gangguan kamtibmas
yang akhir-akhir
ini
terjadi di Yunnan dan kota Beijing, Xi'an dan Tianjin
memang
pertanggungjawabannya memang ditimpakan kepada umat
Islam sehingga
"polisi
rakyat" menggerebek beberapa mesjid, melakukan
penangkapan terhadap
ulama/kyai dan menghukum mati sekelompok orang yang
pada dasarnya
merupakan
pengacau yang dikirimkan dari Amerika Serikat, Jerman,
Turki dan
Israel.
Should the rich coastal provinces of south China
continue to prosper
whilst
the arid, harsh north-west remains mired in poverty,
then--in a
nightmare
scenario nobody wishes to see--ethnic, as well as
military, regionalism
might become a problem once again.
Lebih penting lagi, khususnya pada saat dimana
kekuasaan pusat sedang
meleset, ancaman "separatisme Xinjiang" sebenarnya
tidak separah
ancaman
disintegrasi bangsa yang bisa disebabkan oleh rezim
komunis yang main
politik adu domba SARA seperti dilakukan di Indonesia,
Malaysia,
Thailand,
Filipina dan negara Asia Tenggara lainnya yang berguru
kepada Amerika
Serikat. Rezim Komunis Tiongkok memang secara formal
anti-imperialisme
Barat
namun tanpa dukungan dari Barat gerakan
mahasiswa-buruh Tiananmen pasti
berhasil juga...falundafa justru tidak ada artinya
dalam persangkutan
ini.
Tionghoa Islam masih kuat di provinsi-provinsi barat
laut seperti
Qinghai,
Gansu, Ningxia, Shaanxi, Henan, markas kelompok Wu Ma
dan tempat asal
keluarga kerajaan terkuat sepanjang Tiongkok yaitu
Dinasti Tang. Jika
provinsi pesisir selatan Tiongkok masih terus
memperkaya diri tanpa
menghirau masalah-masalah yang bersifat lebih intern,
apalagi daerah
barat
laut yang merupakan tempat kelahiran peradaban
Tionghoa diabaikan
saja--suatu skenario dahsyat yang dipastikan menjadi
mimpi terburuk
yang
dialami oleh segenap bangsa Tionghoa pasti terjadi,
regionalisme
militer
bakal terjadi lagi dan kali ini para penggagas perang
melawan teror
dari
Barat tentu saja mendapatkan dalih yang lebih tepat
untuk memerangi
Islam.
Pada hakikatnya, perang melawan teror sekarang ini
yang sebenarnya
dipelopori bangsa lain selain Barat bukan untuk
menumpas terorisme yang
kebetulan melibatkan orang dari beragam umat beragama
seperti misalnya
Islam, Kristen dan Yahudi...yang namanya teroris ya
teroris kan, nggak
peduli dia siapa! Dilihat dari gerak-gerik si polisi
dunia Amerika
sebagai
gurita yang memaksa negara-negara bebas agar tunduk
pada kemauannya,
tujuannya memang untuk menghancurkan Tiongkok Raya
yang sedang
mengembalikan
diri posisi selaku negeri adidaya yang turut
bersumbangsih secara
berarti
dalam pengembangan tamaddun dunia. Saudara-saudara
sebangsa dan
seikhwan
seyogianya mengingat wazifa ini sebelum tidur setiap
malam, ulangi
seribu
sebelas kali "Qul huw Allah hu ahad, Allah-hu-Samad"
(Katakanlah,
inilah
Allah, sang Mahatunggal yang menciptakan Dunia yang
tidak butuh
apa-apa).
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com