[Nusantara] Abdurrahman Wahid : Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 17 12:48:46 2002


Abdurrahman Wahid : Islam, Ideologi dan Etos Kerja di
Indonesia 
  

Oleh Abdurrahman Wahid

Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di
Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa,
bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari
pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh
pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak
beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?

Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara
Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar,
sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut
menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan
ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber
rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin,
sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-Hadrami.

Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting
bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu
pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin
untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai
conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas
eksistensi negara tersebut, dan dengan demikian
memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin
dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam
membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk
negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara
dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses
sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum
muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada
ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang
bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang
berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin
dengan orientasi keagamaan cukup kuat, seperti yang
kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri
kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan itu
saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti
yang masih terjadi di negeri-negeri lain hingga saat
ini.

Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai
rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam
hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun
bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam
dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara
tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih
memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan kaum
muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai
agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam
kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya,
sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan
mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima
oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan
pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain,
tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara
kita di negeri ini.

Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan
hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang
lebih baik, dari hanya sekedar kebebasan melaksanakan
ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti yang selama
ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan
sadar harus dilakukan upaya untuk mencari tali
pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum muslimin
negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh
berbagai kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya
masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang
akan dipaparkan selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah
merupakan sebuah upaya lanjutan belaka, dan sama
sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban
yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia akan
mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari
jawaban final di kemudian hari

Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah
rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh
Ali Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia
menyatakan bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi
kehidupan bernegara, yaitu keadilan ('adalah),
persamaan (musawah) demokrasi (syura). Apabila suatu
negara telah memiliki ketiga sendi kehidupan itu,
dengan sendirinya ia dapat diterima keabsahannya oleh
Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi sangat
keras dari semua kalangan, baik ulama maupun
cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan
aktivis gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan
Al-Azhar, tempat ia mengajar sekian tahun lamanya, dan
bukunya dibakar serta dilarang beredar.

Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak
lain, karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari
Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan
yang terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk
hukum agama (fiqh). Dari fiqih itu lalu dikembangkan
wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan sebutan
Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama lain,
yaitu Syari'ah. Ali Abdurraziq melihat negara sebagai
instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan
demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan
negara sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin
tentang negara dan konstitusi.

Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh
tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum
nasional negara itu. Islam dilepaskan dari fungsi
normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka,
yaitu sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak
memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang
bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara
secara keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan
Ali Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu
merupakan bukti masih kuatnya pandangan yang
berkebalikan dari pandangannya itu. Masih cukup besar
jumlah kaum muslimin yang menentang pandangan sekuler
tentang hubungan agama dan negara. Juga terbukti masih
kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum Islam ini
dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.


Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung,
lebih lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq
menuliskan karyanya. Di luar Indonesia, kita lihat
betapa saat ini para aktivis gerakan Islam menuntut
pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan melarang
Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang
oleh pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena
tidak memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh
banyak kalangan (termasuk penguasa salah satu negara
bagian), keputusan itu dianggap melanggar ketentuan
agama yang tidak memberlakukan persyaratan apapun bagi
perkawinan dengan istri kedua.

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara
menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah
mencapai kemajuan pesat dalam pemikiran keagaman
maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila telah
didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu
menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi
aqidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi
sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan
dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak
diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama
di negara ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi
dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk
pertama adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika
sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua
adalah partikel-partikel dirinya yang dapat
diundangkan melalui proses konsensus (Undang-undang
seperti Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7/1989).

Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur
kehidupan warga negara, melalui filter berupa Hukum
Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa
terhindar dari orientasi sekuler, seperti yang
dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali
Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak
sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki
pelaksana ajaran Islam secara utuh sebagai produk
legislatif formal, atau dengan istilah lain yang
menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam
kehidupan bernegara. Bagi pandangan seperti itu,
memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya
sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang
dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.

Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah
dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat
menerima kehadiran Pancasila dalam konteks yang
diuraikan di atas. Pancasila masih harus diuji, apakah
mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan
dan kebangsaan yang dituntut Islam, antara lain
seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis,
menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang
dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila
harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi
kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas,
menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan
berserikat. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam
kepada ideologi kita, Pancasila. Kunci itu diperoleh
dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam
kepada warga masyarakat: jaminan dasar akan
keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga,
harta milik pribadi dan keselamatan profesi.

Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan
acuan yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah
yang terbatas, bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu
kedaulatan hukum atas lembaga pemerintahan maupun
kemasyarakatan, serta atas individu maupun kelompok
warga negara, harus dijaga sekuat mungkin. Penjagaan
kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan, apabila
kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar
dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat
merupakan kunci yang mutlak harus diberikan Islam
kepada ideologi negara dan bangsa kita.

Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan
penumbuhan etos kerja yang benar, yang akan membawa
kepada wawasan ideologi seperti dikemukakan di atas.
Etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan
pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan
bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan
transformasi sosial yang diperlukan untuk melintasi
garis kemiskinan menuju kepada kemakmuran di masa
depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan
dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika
masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi
kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan
yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement).
Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu
semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung
masyarakat modern. Semangat menjunjung tinggi
profesionalisme adalah titik kepentingan dari
transformasi sosial yang disebutkan di atas. Islam
menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan
di sini. Karena itu Islam mau tidak mau harus
mengembangkan dalam dirinya etos-etos kehidupan yang
berwatak transformis.


Penulis adalah ketua Dewan Syura PKB 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com