[Nusantara] Suka Hardjana : Yang Besar

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Sep 18 06:36:04 2002


Suka Hardjana : Yang Besar

Waduh, celaka. Cemar kita," keluh orang yang duduk di
sampingku sambil membaca koran di sebuah ruang tunggu.
"Emangnya, kena apa?" tanya seorang perempuan yang
duduk di sebelahnya. Rupanya orang itu sedang membaca
sebuah berita tentang dijatuhkannya hukuman tiga tahun
penjara oleh seorang hakim kepada seorang ketua
perlemen sebuah negara besar-atau tepatnya sebuah
negara yang sering menganggap dirinya besar. Lantas,
ketika peristiwa-peristiwa kecil lainnya yang tak
berarti di ruang tunggu itu hendak saya catat-seperti
lagaknya seorang wartawan amatiran yang selalu ingin
mencatat semua peristiwa sekecil apa pun-akhirnya saya
malah jadi bingung sendiri. Hal penting mana yang
perlu dicatat? Apa benar ada yang penting?

Apa semua peristiwa di ruang tunggu itu mesti dicatat,
atau tentang orang laki-laki si pembaca koran itu saja
yang perlu dicatat? Atau tentang perempuan di
sebelahnya saja yang-walaupun kelihatannya tak tahu
persoalan, tetapi toh nampak seksi dan bikin gerah
siapa saja yang meliriknya. Tentang sebuah negara
besar-atau tepatnya sebuah negara yang sering
menganggap dirinya besar-jelas tidak ada yang menarik
untuk dicatat. Soalnya, omong kosong itu dalam ilmu
jurnalistik dikategorikan sebagai berita isapan
jempol. Ibarat pepesan kosong. Dan mengisap jempol
diri sendiri itu konon bisa bikin sakit perut. Perut
bisa menggelembung, tapi kosong. Isinya angin, karena
terlalu banyak menyimpan kabar-kabur. Kalau anginnya
keluar bisa menimbulkan bau tak sedap. Itu sudah
banyak terbukti. 

Membicarakan negara kecil sekecil Singapura, Monaco,
Fiji, Luxemburg, atau Republik Aruba nun jauh di sana
mungkin bisa lebih menarik. Yang jelas mereka bisa
hidup mandiri, dan tidak pernah bengis seperti
negara-negara yang suka mengaku besar. Coba lihat itu
si besar Amerika. Beraninya cuma sama negara kecil,
atau yang dianggap lebih kecil dari dirinya. Taunya
kalah di Vietnam yang tadinya dianggap sepele. Kini
main gagah di mana-mana. Mau bikin hajat perang lagi
di Irak. Bikin was-was banyak orang. Tapi sama negara
besar lainnya tak pernah berani perang. Gayanya
seperti koboi di gambar hidup. Bikin damai dengan
kekuatan tembakan mesiu pembunuh. Celakanya, kelakuan
begitu malah sering jadi contoh dan ditiru banyak
orang. Kuno banget, jagoan kekerasan kok ditiru. 

Pendeknya, yang besar-besar itu sekarang tidak menarik
lagi. Yang besar suka bohong dan mengecoh yang kecil.
Yang besar, yang lebih kuat, suka memeras, menekan,
dan mengelabui yang lebih kecil. Oleh si kecil, yang
besar dianggap mau menang sendiri dan mau cari untung
saja. Contohnya banyak. Sudah diketahui dan bukan
rahasia lagi, para konglomerat dan orang-orang kaya
hidup enak dan untung dari keringat dan sedekah orang
kecil. Multikorporasi juga begitu. Mereka menjadi
besar karena mampu menyedot yang lebih kecil-sampai
sekarat, bangkrut atau mati. Negara-negara besar juga
begitu. Mereka menarik riba dari negara-negara kecil
yang tak berdaya.

Negara besar, kongsi besar, partai besar, agama
besar-sama saja. Yang besar menyedot yang kecil. Apa
lagi orang. Coba bayangkan kalau ada pejabat negara
yang disebut penguasa tunggal daerah berpenghasilan
2,4 milyar per tahun atau 200 juta per bulan,
sementara rakyat miskin yang dikelolanya masih banyak
yang berpendapatan kurang dari 2,4 juta per tahun atau
200 ribu saja per bulan. Seribu dibanding satu. Ajaib,
seperti dongeng seribu satu malam. Apa itu
proporsional? Dari mana perbandingan jomplang itu bisa
dihitung? Ketika proporsi sudah terlalu tak seimbang,
maka tidak ada lagi yang perlu dihitung. Yang berlaku
kemudian adalah hukum kapilaritas,di mana daya hisap
yang lebih besar akan memenangi kapasitas daya serap
yang lebih kecil. Sebelum ke laut, sungai-sungai kecil
bermuara di sungai yang lebih besar, kata pepatah.
Dengan kata lain, yang besar menyedot yang kecil.
Hukum penghisapan, namanya.

Tentu saja hukum sedot-menyedot itu alami dan
manusiawi saja adanya. Dari dulu memang sudah begitu
ceritanya. Yang tidak manusiawi adalah bila permainan
sedot-menyedot itu dilakukan tanpa aturan, tidak
seimbang, dan menimbulkan ketidakadilan: yang besar
semakin menggelembung-yang kecil semakin kempes kering
kerontang. Di negeri sendiri tak bisa makan-lari kerja
ke negeri tetangga dikejar-kejar, dipenjara, dan
digebuk rotan karena dituduh membahayakan dan
melanggar permainan sedot-menyedot kehidupan.
Celakanya, tragis kehidupan rakyat kecil itu malah
dijadikan obyek peruntungan komoditi oleh orang lain.
Ini cerita jauh lebih miris dari hikayat ketua
parlemen kena 'gebuk' tiga tahun penjara yang belum
pasti. Mau bilang apa? Kan, banyak orang besar kena
perkara begituan? * 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com