[Nusantara] Purwadmadi Admadipurwa : 'Malin Kundang' Pendidikan Kita

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Sep 18 06:36:19 2002


Purwadmadi Admadipurwa : 'Malin Kundang' Pendidikan
Kita

Swadaya masyarakat untuk pendidikan telah mati?
Pertanyaan ini patut 
muncul
ketika ada lansiran Menteri Pendidikan Nasional
perihal akan 
dikembangkannya
kekuatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. 
Sehubungan
dengan itu pula, dana utang luar negeri untuk
pendidikan akan 
dihentikan.
Terakhir, ada kabar menggembirakan 'jatah APBN' untuk
pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari total anggaran.

Beberapa waktu sebelumnya, sejumlah pakar pendidikan
dan pelaku 
pendidikan
juga telah mengembangkan wacana dan mulai dilaksanakan
penyelenggaraan
pendidikan yang (1) berbasis pada masyarakat, (2)
berbasis pada sekolah 
dan
(3) berbasis pada kompetensi lulusan. Wacana ini
membawa tiga kategori
penugasan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pertama, bahwa selama ini penyelenggaraan pendidikan
lebih banyak 
dibiayai
pemerintah (dan sebagian besar datang dari dana utang
-- loan) dan 
peran
pembiayaan tersebut akan segera dikembalikan kepada
masyarakat.

Kedua, bahwa selama ini manajemen operasional
pendidikan di 
lembaga-lembaga
pendidikan formal banyak diatur dan dijuklaki oleh
pemerintah (pusat 
dan
daerah) dari sistem manajemen, penempatan SDM
edukatif, kurikulum 
sampai
dengan hal-hal terkecil seperti sekadar untuk prosedur
pembelian kapur
tulis(!). Sudah saatnya, manajemen proses pendidikan
diserahkan kembali
kepada otoritas sekolah (kepala sekolah) dan tentu
saja dengan dukungan
masyarakat penggunanya (stakeholder), baik dalam
proses input (siswa 
baru)
maupun output (lulusan).

Ketiga, bahwa selama ini proses penyelenggaraan
pendidikan mengabaikan
masyarakat yang berkepentingan (stakeholders atau
masyarakat 
terinstitusi).
Atau dengan kata lain, pencetakan SDM melalui sekolah
tidak atau kurang
memperhatikan standar kompetensi yang dibutuhkan dunia
kerja.

Dari ketiga kategori tersebut, apabila disatukan akan
memberi pemahaman
bahwa manajemen input (pemilihan calon siswa),
manajemen proses 
(pelaksanaan
proses belajar mengajar) dan manajemen output
(penyiapan lulusan yang
handal) serta outcome-nya (daya tembus) diarahkan pada
perubahan dari 
campur
tangan pemerintah yang dominan dikurangi menjadi amat
sedikit dan 
bersamaan
dengan itu diperbesar peran sekolah dan masyarakat.
Atau, secara 
kelakar,
proses pergeseran ini sebagai bentuk makin menyusutnya

kebertanggungjawaban
pemerintah terhadap pendidikan.

Secara kebetulan, proses pergeseran ini berbareng
dengan momentum makin
berkurangnya kemampuan anggaran pemerintah secara
keseluruhan serta 
proses
desentralisasi dan dekonsentrasi ekonomi dan politik
dari pusat ke 
daerah-
daerah. Momentum proses pemerintah yang makin miskin
dan kekuasaan yang
makin terbagi-bagi serta menyebar inilah yang
menjadikan ada kesan 
bahwa
ketika 'proyek-proyek' telah punah, 'beban
pembangunan' (pendidikan)
dikembalikan kepada masyarakat (dan sekolah).
Seolah-olah selama ini 
program
pendidikan hanya dipinjam sementara oleh pemerintah
pusat untuk 
diobyekkan,
dicarikan dana (pinjaman) yang melahirkan
proyek-proyek.

Harus diakui, pertumbuhan sekolah, tenaga edukasi,
proses pembelajaran,
angka keterdidikan dalam 25 tahun terakhir berkembang
amat pesat, 
terutama
dalam jumlah dan frekuensi. Namun, kini tiba saatnya,
keberlangsungan
pertumbuhan itu dibingungkan oleh menipisnya keuangan
pemerintah dan 
makin
langkanya tawaran dana pinjaman ataupun hibah (grand).

Celakanya, selama kurun waktu yang sama prestasi
pendidikan kita secara
kualitatif seperti jalan di tempat sehingga yang 25
tahun lalu Malaysia
masih 'mengimpor guru' dari Indonesia, kini prestasi
akademik
lembaga-lembaga pendidikan di sana jauh meninggalkan
sekolah-sekolah 
kita.
Jika pemerintah saja tidak berdaya menjaga
kelangsungan penyelenggaraan
pendidikan secara meyakinkan ke arah depan, bagaimana
mungkin proses
pengejaran ketertinggalan pendidikan itu justeru akan
lebih banyak
'dikembalikan' kepada masyarakat (dan sekolah)?

Problem Kultur
Bulan November tahun lalu seorang kawan sempat
mendapat tugas melakukan
sebuah evaluasi dan monitoring program Depdiknas di
sebuah daerah yang
tergolong terpencil. Kepala sekolah mengeluhkan
minimnya partisipasi
masyarakat. Padahal, orangtua siswa banyak yang mampu
secara ekonomi.
Bahkan, untuk menyarankan siswa agar memiliki buku
pelajaran tertentu 
saja
guru tidak berani karena khawatir diprotes orangtua
siswa. Ketika saya 
baca
riwayat sekolah, sekolah negeri itu tahun 1970-an
dirintis oleh putra 
daerah
setempat dan mendapat dukungan masyarakat. Mula-mula
siswa belajar di 
rumah
penduduk tanpa harus menyewa. Setelah siswa banyak dan
kelas paralel, 
sulit
mendapatkan tempat yang memadai. Guru dibayar oleh
sumbangan masyarakat 
dan
orangtua siswa.

Masyarakat kemudian meminta pemerintah untuk
'menegerikan' sekolah 
tersebut.
Berhasil, sekolah diambilih pemerintah, dibangunkan
gedung sekolah, 
didrop
guru-guru, peralatan dan kebutuhan lainnya. Lahan yang
cukup luas 
disediakan
oleh masyarakat, bahkan diberikan cuma-cuma menjadi
milik sekolah 
(negara?).
Jadilah sekolah negeri yang untuk penyelenggaraan
pendidikannya telah 
diatur
menurut ketentuan perundangan yang ada.

Sejak itu, partisipasi masyarakat mulai surut dan
satu-satunya 
partisipasi
yang dibuka adalah kesediaan membayar SPP dan
Sumbangan BP3. Dengan 
kata
lain, masyarakat menjadi terbiasa melaksanakan
kewajiban hanya dalam
membayar SPP-BP3 dan selain itu adalah kewajiban
pemerintah untuk
menyelesaikannya. Sampai-sampai kesan umum yang
muncul, jika ada 
undangan
rapat BP3 dari sekolah untuk orangtua siswa, yang
muncul di benak para
orangtua siswa adalah pasti akan ditarik iuran. Wajah
BP3 adalah wajah
tukang tarik uang.

Kalau kita tengok ke tahun 60-an, banyak benar
partisipasi masyarakat 
untuk
pendidikan. Banyak sekolah rakyat yang diselenggarakan
di rumah 
penduduk.
Bahkan ketika Lebaran yang lalu saya pulang kampung,
masih ingat dulu 
di
depan rumah Bapak ada sebatang pohon kelapa tua. Pohon
itu direlakan
ditebang dan dijadikan kerangka sebuah sekolah dasar.
Tiga puluh tahun
kemudian, gedung sekolah itu masih berdiri dan masih
menggunakan kayu 
yang
sama. Kalau gedung sekolah tertiup angin puyuh,
masyarakat sekitar pula 
yang
merasa bertanggungn jawab memperbaikinya, ada atau
tidak anaknya yang
sekolah di situ. Dapur seorang guru tidak pernah sepi
dari bahan 
sayuran
karena tetangga ringan hati memberi.

Tapi, tidaklah mungkin mengembalikan ke suasana yang
seperti itu. Jaman
telah berubah, esensi partipasi masyarakat terhadap
pendidikan pun 
harus
berubah. Namun, sekali-sekali tidak bisa berharap,
bahwa perubahan itu 
hanya
menyangkut soal menggeruk dana masyarakat untuk
membiayai 
penyelenggaraan
pendidikan. Jika makna mengembalikan kekuatan
masyarakat untuk
penyelenggaraan dunia pendidikan hanya dibatasi soal
proses pengerukan 
dana
masyarakat, maka bisa menjadi amat keliru. Proses
pengembalian itu 
merupakan
proses sosial dan budaya yang butuh waktu panjang
untuk mewujudkannya.

Bagaimana mungkin terjadi, suatu sekolah yang tumbuh
dari swadaya 
masyarakat
justru berubah menjadi sekolah yang terasing dari
masyarakat yang
melahirkannya? Pemerintah periode lalu tampaknya telah
tumbuh menjadi 
suatu
sistem penyelenggaraan kekuasaan yang mengedepankan
kultur dan filosofi
kepemimpinan yang amat kental dengan budaya birokrasi
raja/ kerajan 
yang
berbau feodal. Seorang pemimpin sebagai refleksi atas
pemerintah adalah
penguasa yang harus menjaga dan memelihara drajat,
praja, wibawa, 
satriya.

Menjadi pemimpin harus sembada, artinya memenuhi semua
kebutuhan dari 
yang
diperintahkannya. Kalau dia menyuruh seseorang
melakukan sesuatu, maka 
semua
kebutuhannya dicukupi. Kalau dia (pemerintah)
memerintahkan rakyatnya
membangun, maka pemerintah harus konsekuen menyediakan
dananya. Usaha
pemerintah mencari dana sebanyak-banyaknya untuk dan
demi pembangunan, 
dari
utang sekalipun, adalah spirit suatu kekuasaan yang
ingin menjaga
sifat-sifat kesembadaannya. Pemerintah menjadi
bersifat mengecilkan 
arti
kekuatan masyarakat karena mereka hanya dianggap
sebagai obyek 
pembangunan.

Oleh sebab sifat keras pemerintah untuk konsekuen
memenuhi kebutuhan
masyarakatnya melalui pembangunan (baca: proyek),
telah berhasil 
melahirkan
generasi yang hanya siap meminta dan menyerahkan
problem kepentingan 
umum
kepada pemerintah. Sebagai kasus mutakhir, pemerintah
DKI merasa berhak 
atas
retribusi sampah karena merasa mampu mengelola sampah
kota. Ketika 
timbul
masalah sampah, masyarakat secara penuh mengembalikan
persoalannya 
kepada
pemerintah. Masyarakat telah berhasil dihilangkan
partisipatifnya 
justeru
oleh proses pembangunan dan pemberdayaan yang
dilaksanakan pemerintah 
utuk
mereka. Akan halnya dalam dunia pendididikan,
partisipasi masyarakat 
cukup
lama dibatasi dan seolah-olah mereka dianggap puas
terima jadi. Tapi 
apakah
demikian halnya?

Sikap Pemerintah
Jadi, menggeser ke arah peningkatan partisipasi
masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan harus dimulai dari
bagaimana pemerintah 
bersikap
terhadap proses pembangunan. Jika pembangunan
pendidikan hanya 
diletakkan
dalam wacana proyek, maka partisipasi itu tidak akan
pernah berkembang. 
Di
samping itu, pemerintah harus menghilangkan kesan,
bahwa hak 
partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan hanya sebatas pada soal
pembiayaan.

Kesan yang selama ini muncul, upaya 'mengembalikan'
pendidikan kepada
masyarakat lebih didorong karena minimnya anggaran
pemerintah (proyek).
Kalau anggaran tetap tersedia banyak, proyek- proyek
dengan dana besar 
masih
bisa diciptakan banyak yang menduga, 'pengembalian'
penyelenggaraan
pendidikan kepada masyarakat mustahil dilaksanakan,
bahkan diwacanakan 
pun
mungkin tidak.

Sangat sayang, apabila pemahaman pendidikan berbasis
masyarakat itu 
hanya
dimaknai sebagai penyelenggaraan pendidikan yang
didanai masyarakat. 
Cara
pandang ini hanya makin menegaskan, seakan-akan
pemerintah adalah
satu-satunya pihak yang berjasa dalam pembiayaan
(formal). 
Sampai-sampai
penyelenggara pendidikan oleh swasta pun dicampuri
pemerintah dengan
menciptakan proyek guru/dosen negeri yang
diperbantukan ke sekolah
swasta/PTS termasuk ke PTS yang sebenarnya secara
finansial telah mampu
menggaji dosen sendiri.

Pada sisi manajemen dan akademik, penciptaan lembaga
akreditas, ujian
negara, kopertis dan sebagainya lebih mencerminkan
hegemoni negara
(pemerintah) atas peran swasta. Sehingga, penghapusan
ujian negara,
penyamaan perlakuan PTS dengan PTN oleh pemerintah
pada akhir-akhir ini 
baru
dipandang sebagai langkah di masa pemerintah mengalami
kesulitan 
pendanaan
dan persaingan dengan kekuatan swasta dan penetrasi
gobal. Dengan kata 
lain,
manajemen publik pemerintah masih sangat lemah.

Jangan-jangan, sistem penyelenggaraan pendidikan
(formal) selama ini 
hanya
bagaikan hilangnya si anak ayam dari induknya:
tercerabutnya pendidikan 
dari
akar kekuatan masyarakat pendukungnya. Ketika kini ada
upaya hendak
mengembalikannya kepada masyarakat, janganlah seperti
Si Malin Kundang 
yang
hendak pulang ke haribaan ibundanya. Bukan pangkuan
ibu yang didapat,
melainkan menjelma jadi batu karang. Kalau demikian
halnya, apalah 
artinya
peningkatan anggaran pendidikan kalau hanya disikapi
lewat perspektif
proyek.

Penulis, Dosen Politeknik PPKP Yogyakarta


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com