[Nusantara] Herman Musakabe : Hati Nurani versus Kepentingan Politik

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Sep 19 10:00:52 2002


Herman Musakabe : Hati Nurani versus Kepentingan
Politik

Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia
tampaknya belum
memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir, malahan
kemungkinan akan 
semakin
berlarut-larut. Salah satu penyebabnya adalah proses
regenerasi 
kepemimpinan
di pusat maupun di daerah yang diwarnai saratnya
kepentingan politik
golongan mengalahkan hati nurani yang berpihak kepada
kepentingan 
rakyat
kecil.
Memang harus diakui bahwa antara hati nurani dan
kepentingan politik
seringkali bertolak belakang dan sulit untuk
dipertemukan. Hati nurani
adalah hati yang mendapat cahaya Tuhan. Sedangkan
politik dalam 
praktiknya
sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Tidak jarang 
dalam
memperjuangkan kepentingan politik kelompok atau
golongan digunakan
cara-cara kotor dan licik seperti intimidasi, teror,
tekanan kepada 
lawan
politik atau money politics untuk mencapai tujuannya.
Celakanya, semua cara berpolitik itu terjadi di tengah
bangsa kita 
sedang
mengalami proses demokratisasi dan desentralisasi
kekuasaan untuk 
mengubah
cara-cara lama yang dianggap terlalu otoriter dan
sentralistik. 
Korbannya
adalah rakyat kecil yang hanya bisa menyaksikan
akrobat politik para
pemimpin sementara dambaan akan perbaikan ekonomi,
kesejahteraan dan 
rasa
aman semakin menjauh. Sebagian rakyat yang "buta"
politik malah mulai
membandingkan dengan keadaan masa lalu yang dianggap
lebih stabil dan 
lebih
mudah mencari mata pencarian.
Penyimpangan
Beberapa hal yang dapat kita simak tentang
penyimpangan praktik 
berpolitik
yang berlawanan dengan hati nurani adalah sebagai
berikut. Pertama, 
kalau
pemerintahan Orde Baru terlalu sentralistik, otoriter,
executive heavy 
dan
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dilakukan
terpusat maka 
kini
pendulum kekuasaan bergeser menjadi desentralistik dan
demokrasi yang
cenderung kebablasan, legislatif heavy dan praktik KKN
yang menyebar ke
daerah-daerah.
Kekhawatiran akan munculnya "raja-raja kecil" di
daerah dengan 
berlakunya
otonomi daerah, dalam kenyataannya lebih parah dari
itu. Kini bukan 
hanya
pihak eksekutif yang menangani dan mempengaruhi
pemenang tender
proyek-proyek pembangunan di daerah tetapi juga para
anggota DPRD ikut
bermain. Bahkan masyarakat bisa membaca melalui media
cetak beberapa 
waktu
lalu, beberapa anggota DPRD suatu kabupaten saling
beradu fisik karena
berebut proyek pembangunan.
Gaji para anggota DPRD meningkat jauh lebih tinggi
daripada ketika masa 
Orde
Baru. Beberapa daerah di kawasan timur Indonesia (KTI)
yang miskin 
separo
pendapatan asli daerah (PAD)-nya tersedot untuk
anggaran DPRD setempat,
padahal PAD provinsi dan kabupaten/kota di daerah
tersebut kecil. Hal 
ini
antara lain disebabkan para anggota DPRD
memperhitungkan bahwa mereka 
belum
tentu terpilih lagi pada Pemilu 2004 mendatang dan
kesempatan yang ada
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kedua, rakyat pada umumnya berpendapat bahwa anggota
DPRD, dan juga 
para
anggota DPR, lebih mewakili dan memperjuangkan
kepentingan rakyat. Hal 
ini
dapat dilihat dan dirasakan dari minimnya perhatian
untuk 
mengantisipasi
terulangnya musibah serupa dalam bentuk peraturan
daerah (perda) oleh 
DPRD
setempat. Para wakil rakyat telah kehilangan sense of
crisis dan sense 
of
urgency terhadap hal-hal yang menimpa rakyat kecil.
Kita tidak bisa 
berharap
terlalu banyak akan terjadinya perubahan sikap para
pemimpin dan para 
wakil
rakyat untuk menggunakan hati nuraninya dalam
menyikapi penderitaan 
rakyat
kecil, apalagi tahun 2003 dan 2004 adalah waktu
persiapan dan 
pemenangan
pemilu. Konsentrasi para pemimpin dan wakil rakyat itu
dipastikan akan
tertuju pada pemenangan pemilu yang jauh lebih
diutamakan daripada
kepentingan rakyat. Parpol sering mengatasnamakan
rakyat untuk 
memenangkan
pemilu, sementara kepentingan rakyat yang sesungguhnya
terlupakan 
sesudah
pemilu.
Ketiga, pemilihan kepala daerah lebih cenderung
diwarnai kepentingan 
politik
golongan dan permainan politik uang ketimbang
pemilihan yang murni
berdasarkan hati nurani. Dari kacamata kepemimpinan,
hal ini sangat
mengkhawatirkan. Kalau masa Orde Baru pemilihan kepala
daerah 
didominasi
oleh keputusan Golkar dalam menentukan calon yang akan
dimenangkan, 
maka
sekarang ditentukan oleh kompromi parpol dan
kepentingannya (karena 
tidak
ada pemenang mutlak) dan pundi-pundi uang yang
dimiliki calon. Maka 
jangan
berharap kalau ada calon yang diunggulkan berdasarkan
pilihan hati 
nurani
rakyat akan terpilih sebagai pemenang apabila calon
tersebut tidak 
punya
modal uang.
Pemilihan Presiden 2004 secara langsung tidak akan
memperbaiki kondisi
bangsa yang dilanda krisis ini. Karena siapa pun
presiden terpilih pada
Pemilu 2004 melalui pemilihan secara langsung, tidak
akan bisa berbuat
apa-apa bila tidak lebih dulu melakukan pembenahan
regenerasi 
kepemimpinan
di daerah dan perbaikan kualitas moral para anggota
DPRD. Untuk itu 
perlu
diatur hubungan yang lebih baik dan tegas antara pusat
dan daerah. Di 
satu
sisi pemerintah pusat mulai kehilangan wibawa
sementara di sisi lain
pemerintah daerah dan DPRD cenderung kebablasan
menerapkan otonomi 
daerah
dan kurang berorientasi pada kepentingan rakyat di
daerah.
Proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2002-2007 dengan
terpilihnya 
Sutiyoso
sebagai Gubernur dan Fauzi Bowo sebagai Wagub adalah
potret kondisi 
masa
kini yang bisa ditanggapi dari pelbagai sudut pandang.
Para anggota 
DPRD
dievakuasi dengan helikopter karena gedung DPRD
dikepung massa dan
mahasiswa, seperti situasi perang. Para demonstran
menjebol pagar 
gedung
DPRD dan polisi menembaki mereka dengan water canon,
gas air mata dan 
peluru
karet, sebagian demonstran keracunan makanan.
Seorang pengamat politik ketika diminta komentar di
salah satu televisi
swasta atas kekecewaan massa demonstran, yang sebagian
warga Betawi 
asli,
mengatakan bahwa itulah realitas politik. Karena
Jakarta sebagai 
Ibukota RI,
maka calon-calon yang maju harus bermain politik,
menggalang anggota 
DPRD
dan punya modal uang, plus dukungan restu dari atas.
Kalau warga Betawi 
asli
ingin agar calonnya menang maka ia harus bermain
menurut "aturan main" 
yang
ada karena ini kompetisi bebas. Kita boleh saja setuju
atau tidak 
setuju
atas pandangan pengamat politik itu namun itulah
kenyataan yang 
terjadi.
Jakarta sebagai Ibukota RI merupakan barometer bagi
daerah-daerah, maka 
apa
yang terjadi pada pemilihan Gubernur DKI dapat menjadi
preseden bagi
daerah-daerah lain. Gubernur Sutiyoso harus lebih
wawas diri dan
memperhatikan aspirasi masyarakat serta berusaha
memenuhi harapan 
masyarakat
Jakarta, antara lain menciptakan rasa aman dan lebih
memperhatikan
kepentingan mereka yang tertinggal. Tugasnya semakin
berat.
Kita memang sedang dalam proses belajar berdemokrasi
dan hal itu 
memerlukan
waktu. Pertanyaannya, demokrasi yang mana? Mungkinkah
demokrasi yang 
kita
kembangkan mempertemukan kepentingan politik dengan
hati nurani rakyat 
untuk
mendapat pemimpin berkualitas yang didukung parpol
sekaligus berhati 
nurani?
Wallahu alam.
Penulis adalah mantan Gubernur NTT.

=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com