[Nusantara] "Ki Denggleng Pagelaran" : Berkisar di PT QISAR#2

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 06:12:15 2002


"Ki Denggleng Pagelaran" : Berkisar di PT QISAR#2 
         
Kompas Kamis, 19 September 2002 Halaman 28

Cerita #6. 

Kasus PT QSAR: Tamparan Pertama Agribisnis?
Oleh : Winarso Drajad Widodo
Dosen dan Sekretaris Laboratorium Produksi Tanaman
Jurusan Budi Daya Pertanian, Faperta - IPB
-------------------------------------------------
Dua berita agrobisnis penting tentang ambruknya PT
Qurnia
Subur Alam Raya (QSAR) yang menenggelamkan sejumlah
besar uang  para investor, menghiasi halaman harian
ini.
Mengingat banyak investor atau mitra usaha amat 'lugu'
yang membayangkan janji keuntungan besar, memang
sangat  memprihatinkan. Rupa-rupanya dunia agribisnis,
khususnya hortikultura, belum banyak dipahami sifat
dan
tingkah lakunya oleh khalayak umum, apalagi yang
berduit.

Pada sisi lain tidak sedikitnya kalangan akademisi
ilmu-
ilmu pertanian terlibat sebagai investor, ambruknya
PT QSAR adalah tamparan berat bagi dunia agribisnis,
khususnya agribisnis hortikultura. Apalagi sistem
pengelolaan PT QSAR sempat menjadi rujukan kalangan
pendidikan tinggi Manajemen Agribisnis terkemuka. Ini
menunjukkan, bahwa cabang ilmu sosial ekonomi dan
manajemen agribisnis masih belum menemukan kekokohan
diri. Kemungkinan yang dapat digagapi adalah bahwa
studi
agribisnis dalam segala aspek yang berurusan dengan
'uang
dan keuntungan' sering kali lepas dari disiplin ilmu
budidaya
tanaman. Memang tinjauan agribisnis sebagai sistem
hingga
dewasa ini masih menempatkan teknik budidaya tanaman
hanya sebagai subsistem yang terkesan sangat kecil
peranannya terhadap urusan finansial dan analisis
'untung -
rugi'. Padahal teknik budidaya merupakan serangkaian
proses
yang mentransformasikan asupan (input) menjadi
keluaran
(output) yang sangat menentukan.

Input dalam agribisnis yang biasa dibahas lebih
diutamakan
pada sarana produksi pertanian yang berupa benih,
pupuk
dan pestisida. Informasi pertanian secara menyeluruh
jarang
dipandang sebagai input. Tak heran bila dalam analisis
usahatani yang dijadikan dasar perhitungan adalah
harga
sarana produksi ditambah biaya tenaga kerja dan
'nilai sewa' lahan dibandingkan dengan harga total
produk
yang dihasilkan. Ukuran produktivitas produk lebih
sering
didasarkan pada angka-angka prediksi yang terlalu
optimistik,
dengan merujuk pustaka-pustaka pertanian populer.
Jarang sekali hasil-hasil penelitian dan kajian ilmiah
mengemuka dalam memprediksikan produktivitas.
Akibatnya informasi pertanian dari segala aspek,
sangat
jarang diambil manfaatnya. Marilah kita tinjau satu
macam
informasi saja yang dilalaikan oleh usaha kemitraan
berbasis
agribisnis dari sudut teknik budidaya tanaman, yaitu
lahan
usaha.
***
Dari pokok pembicaraan tentang lahan usaha agribisnis
berbasis tanaman hortikultura dapat diperoleh beberapa
pembatas perkembangan usaha. Pertama, letak geografi
dan topografi lahan usaha akan sangat menentukan
aksesibilitas. Semakin mudah aksesnya semakin mahal
nilainya. Sebaliknya semakin sulit aksesnya semakin
rendah
nilainya, sehingga harus dibayar dengan kemahalan
biaya
di luar biaya produksi, yaitu transportasi dan waktu.
Sudah
menjadi 'teori pokok' bahwa produk hortikultura adalah
produk pertanian yang dinilai dalam keadaan segar atau
masih hidup. Mutu kesegaran yang berarti nilai
kandungan
air, sangat menentukan harga. Ini berarti semakin
sulit
aksesibilitas lahan usaha dari 'pasar' akan sangat
riskan,
karena akan memerlukan waktu transportasi yang semakin
lama.

Lamanya waktu transportasi berarti menurunkan mutu
produk. Hal ini terjadi karena produk hortikultura
setelah
dipanen masih melangsungkan proses metabolisme pokok
yaitu respirasi. Respirasi berarti pembongkaran bahan
simpanan menjadi energi, air dan gas karbondioksida.
Energi berguna untuk mempertahankan kehidupan
jaringan produk, sedang keluarnya air (transpirasi)
dan
karbondioksida berarti penyusutan bobot produk. Belum
lagi proses pematangan pada produk-produk berbasis
buah tua (mature fruits) seperti tomat dan cabai.
Jadi produk hortikultura setelah dipanen mutunya
akan terus menurun. Yang dapat diupayakan adalah
menghambat laju penurunannya. Untuk menghambat
penurunan mutu produk diperlukan korbanan-korbanan
yang tidak sedikit biayanya. Karena akan mencakup
sarana transportasi yang lancar, fasilitas pendinginan
dan penyimpanan dan berbagai tindakan pasca panen
lainnya. Inilah pembatas pertama yang mungkin sangat
beresiko besar dalam agribisnis hortikultura pada
sektor
produksi dari faktor letak lahan usaha terhadap
'pasar'.
***

Faktor lahan yang juga merupakan pembatas perkembangan
usaha adalah luasannya. Maksudnya suatu usahatani
sulit
diterima akal bila dapat meluas dengan cepat sebanding
dengan bertambahnya nilai investasi yang ditanamkan,
apalagi bila faktor bunga (keuntungan dari penanaman
investasi) juga diperhitungkan dalam pengembangan
usaha tanpa disertai dengan perluasan usaha.
Sayangnya,
lahan usaha tidak dapat begitu saja berkembang dengan
deret hitung sesuai dengan berkembangnya nilai
investasi.

Ketersediaan lahan 'kering' sebagai lahan usaha
hortikultura
sangat penting untuk diperhatikan. Sebagai contoh data
tataguna lahan tahun 2000 di Jawa Barat menunjukkan
bahwa lahan kering untuk pertanaman hanya 801.208
hektar dari lahan pertanian total Jawa Barat 2.088.853
hektar.  Karena konsentrasi lahan usaha PT QSAR di
Kabupaten Sukabumi, maka dapat diperkirakan berapa
kapasitas pengembangannya.

Nilai investasi yang diberitakan tidak jelas nasibnya
adalah
Rp 500 milyar milik 6.000 investor. Bila dimisalkan
jumlah
investor dan nilai investasi yang dipergunakan untuk
agribisnis hortikultura mencapai 30% saja maka akan
melibatkan investasi Rp 150 milyar dari 1800 investor.
Setiap investor menginvestasikan modalnya rata-rata
83,3 juta rupiah. Menuruti proposal PT QSAR untuk
budidaya cabai biaya produksinya Rp 80 juta, maka
nilai
investasi itu mampu membiayai pertanaman cabai paling
tidak seluas 1.800 hektar. Apalagi bila yang digunakan
untuk menghitung biaya produksi cabai adalah hitungan
hasil studi ilmiah yang maksimal hanya senilai Rp 40
juta
per hektar, maka nilai investasi itu akan mampu
membiayai pertanaman cabai
seluas 3.600 hektar. Sungguh suatu
luasan usaha yang sangat besar untuk komoditas
hortikultura, khususnya sayuran. Apalagi bila prediksi
hasilnya sangat optimistik dan dapat dijual dengan
harga
yang sangat tinggi.

Besaran investasi yang tidak jelas nasibnya di atas
bila
dihubungkan dengan umur usaha PT QSAR yang baru
5 tahun (usaha diberitakan beroperasi sejak tahun
1997)
maka laju perkembangannya juga sangat spektakuler.
PT QSAR mampu meraup investasi rata-rata Rp 100
milyar per tahun. Seandainya 30% investasi digunakan
untuk pertanaman cabai - seperti perumpamaan di atas -
maka laju perkembangannya mencapai 1.250 hektar
pertanaman cabai per tahun. Bila laju perluasan usaha
itu dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja, maka memang
dapat dibenarkan bahwa PT QSAR akan memperkerjakan
ribuan tenaga kerja. Akan tetapi faktual
sungguh-sungguh
berlawanan, karena begitu diberitakan bahwa usaha ini
kolaps, betapa cepatnya kantor pusat yang merupakan
lahan etalase usaha ini menjadi sepi. Bukan saja
perangkat manajemennya yang menghilang, tenaga
kerjanya pun seolah-olah ikut lenyap.

Dengan hanya memperhitungkan faktor lahan sebagai
pembatas di atas sudah dapat disimpulkan bahwa usaha
kemitraan agribisnis ala PT QSAR ini mengandung banyak
kejanggalan. Oleh karena para investor sepertinya
tidak
terlibat dalam budidaya komoditasnya, maka
penyimpangan
dan 'unsur gelap' usaha ini semakin kentara. Akan
tetapi
ada benarnya juga komentar Wapres yang intinya
menyatakan agar para pejabat jangan cuci tangan
(dan menyalahkan) atas kelumpuhan PT QSAR
(Kompas, 26/8); karena usaha kemitraan berbasis
agribisnis semacam itu tidak hanya PT QSAR. Beberapa
perusahaan bahkan rajin pasang iklan di media massa
mengundang investor dengan iming-iming impian
keuntungan yang sangat fantastis. Beberapa perusahaan
juga secara terbuka membuka stand pada puncak acara
peringatan Hari Krida Pertanian ke-30 di Istora GBK,
Senayan yang pada tanggal 17 Juli 2002 Menteri
Pertanian
ikut membukanya bersama Menko Ekuin dan Ketua
Umum HKTI dan menyatakan bahwa tahun 2002 telah
dicanangkan sebagai Tahun Hortikultura.

Mudah-mudahan lumpuhnya PT QSAR ini bukan merupakan
tamparan  pertama bagi dunia agrobisnis, tetapi
menjadi
titik awal kewaspadaan bagi semua pihak yang terkait
dengan agribisnis dan pertanian nasional.
--------------------------------------------------


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com